Opini
Mutilasi Sadis: Potret Buram Pacaran dan Hubungan Bebas dalam Sekularisme
Oleh: Weny Zulaiha Nasution, S.Kep., Ners
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Mutilasi sadis yang menimpa seorang perempuan bernama Tiara Angelina Saraswati (25) yang jasadnya ditemukan di Mojokerto telah menggemparkan publik. Polisi mengungkapkan bahwa kekasih sekaligus rekan kos korban, Alvi Maulana (24), tega menghabisi nyawa Tiara di kamar kos kawasan Lidah Wetan, Surabaya pada Minggu, 31 Agustus 2025 sekitar pukul 02.00 WIB.
Menurut keterangan Kapolres Mojokerto, AKBP Ihram Kustrato mengatakan bahwa pelaku men*s*k leher korban dari belakang dengan pisau dapur hingga tewas. Setelah korban tewas, tubuhnya diseret ke kamar mandi kos dan dimutilasi menggunakan pisau untuk memisahkan daging dan tulang serta menggunakan palu untuk memecahkan bagian-bagian kepala korban. Pengalaman pelaku sebagai tukang jagal hewan mempermudah proses ini. Setelah aksi kejinya itu, pelaku membuang potongan tubuh korban di Jalur Pacet menuju Batu, Mojokerto. Potongan tubuh dilempar satu per satu sambil berjalan. Total potongan tubuh mencapai ratusan bagian.
Sementara sebagian organ tubuh ditemukan di kamar kos (CNN Indonesia, 09-09-2025).
Hubungan antara pelaku dan korban sudah terjalin sejak keduanya kuliah di Universitas Trunojoyo, Madura. Sejak April 2025, mereka tinggal satu kos, bahkan Alvi mengaku pada pemilik kos bahwa Tiara adalah istri sirinya. Namun, pengakuan tersebut tidak pernah didukung bukti dokumen pernikahan resmi meski berulang kali diminta. Hal ini diperkuat keterangan Ketua RT dan pemilik kos yang mengaku tidak pernah ditunjukkan identitas maupun surat nikah resmi keduanya.
Kasus ini tidak sekadar menambah daftar panjang kejahatan keji, tetapi juga menjadi potret buram dari rusaknya budaya pacaran dan hubungan bebas layaknya suami istri yang dianggap lumrah di tengah masyarakat saat ini. Kasus ini seakan menjadi alarm keras bahwa ketika kemaksiatan dinormalisasi dan dibiarkan, maka akan memunculkan malapetaka dan menghancurkan generasi.
Kasus mutilasi Mojokerto hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa pergaulan bebas yang dilegitimasi sistem sekuler telah melahirkan kehancuran moral sekaligus ancaman nyawa.
Dalam sistem sekuler, negara tak benar-benar hadir untuk mencegah, melainkan hanya turun tangan setelah terjadi kriminalitas dan adanya korban jiwa. Sementara aturan hukum saat ini hanya memandang kasus tersebut sebagai kejahatan individu. Padahal, akar kerusakan masyarakat saat ini bersumber dari sistem sekuler liberal yang mengusung ide kebebasan.
Masyarakat bebas melakukan apa saja walaupun aktivitasnya itu melanggar aturan agama, seperti pacaran, kumpul kebo hingga hubungan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Akibatnya, justru bisa memicu munculnya masalah serius, mulai dari kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual hingga pembunuhan.
Sistem sosial hari ini pun seolah memberi ruang lebar bagi hubungan bebas. Pacaran dinormalisasi oleh masyarakat, ditopang oleh konten-konten di media sosial bahkan kerap ditoleransi oleh keluarga dengan dalih kebebasan memilih pasangan. Ketika anaknya tidak pacaran, orang tua justru malu karena anaknya dianggap tidak laku.
Islam memandang persoalan ini dengan cara berbeda. Dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur dengan jelas agar terjaga kehormatan dan keselamatan keduanya. Pacaran, tinggal serumah tanpa akad atau hubungan di luar pernikahan yang sah, semuanya diharamkan karena membuka pintu kerusakan. Allah Swt. telah menetapkan pernikahan sebagai satu-satunya jalan yang halal bagi dua insan yang saling mencintai. Di dalamnya, ada akad yang kokoh, hak dan kewajiban yang terjaga serta ikatan yang mengikat keduanya di bawah ridho Allah. Alhasil, tidak ada ruang bagi manipulasi status atau hubungan gelap yang merugikan pihak perempuan.
Sejak awal, syari’at Islam telah melindungi perempuan dengan menutup rapat celah pergaulan bebas. Aturan Islam hadir begitu rinci, seperti menundukkan pandangan, menjaga aurat, melarang khalwat dan ikhtilat yang tidak syar’i, hingga menjadikan keluarga sebagai tempat utama bagi perempuan untuk berlindung dan mendapatkan kasih sayang. Dengan begitu, perempuan tidak dibiarkan menjadi korban janji palsu, eksploitasi atau kekerasan.
Lebih dari itu, Islam menempatkan negara sebagai pelindung nyata. Negara dalam sistem Khilafah hadir untuk mencegah kemaksiatan dengan penerapan syari’at. Media diarahkan untuk mendidik dan membangun kesadaran islami, bukan merusak. Pendidikan dibangun di atas akidah Islam, bukan sekulerisme liberalisme. Pergaulan dikontrol melalui aturan yang jelas, bukan dibiarkan bebas. Bahkan sanksi hukum dijalankan dengan tegas, sehingga pembunuhan diberi hukum qisas, zina diberi hukum hudud dan masyarakat secara keseluruhan diarahkan untuk menjaga kehormatan. Semuanya menjadi benteng agar masyarakat terjaga dari perilaku zina, pacaran maupun kekerasan yang lahir dari aktivitas tersebut.
Kasus mutilasi Mojokerto seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Tragedi ini tidak cukup disikapi dengan sekadar mengecam pelaku atau menuntut hukuman berat. Lebih dari itu, umat harus menyadari bahwa semua ini adalah buah pahit dari kehidupan sekuler yang mengabaikan aturan Allah. Selama umat masih bertahan hidup dalam sistem yang rusak, tragedi demi tragedi akan terus terulang dengan wajah yang berbeda.
Sudah saatnya kita kembali kepada Islam kaffah. Hanya dengan kembali pada syari’at di bawah naungan Khilafah, kehormatan laki-laki dan perempuan benar-benar terlindungi. Islam bukan sekadar mencegah lahirnya tragedi serupa, tetapi juga menghadirkan ketentraman, kehormatan, keselamatan bagi seluruh umat manusia dan masa depan generasi benar-benar terlindungi.
Firman Allah Swt. jelas mengingatkan, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah: 50).
Via
Opini
Posting Komentar