Opini
Polemik Pemblokiran Rekening Pasif
Oleh: Nur Irma
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait pemblokiran rekening pasif menuai sorotan. Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Marcus Mekeng, menilai langkah tersebut terlalu jauh masuk ke ranah privat masyarakat. Menurutnya, tidak semua rekening tidak aktif mencurigakan; ada sebagian yang sengaja dibiarkan pasif sebagai bentuk tabungan.
Ia juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan PPATK. “Saya belum tahu regulasi apa yang dijadikan pijakan. Jadi, saya menolak kebijakan ini,” tegasnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29-7-2025) (Republika.co.id, 30-7-2025).
Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, turut menilai kebijakan ini menimbulkan keresahan publik. Menurutnya, masyarakat membutuhkan kejelasan mengenai kriteria rekening pasif, transparansi dalam penerapan, adanya pemberitahuan sebelum pemblokiran, serta jaminan bahwa dana tetap aman. YLKI juga mendesak adanya pusat layanan darurat untuk menolong nasabah yang terdampak.
Kebijakan yang Membebani
Alih-alih melindungi hak masyarakat, aturan ini justru dianggap merugikan. Tidak logis jika rekening pribadi dibekukan tanpa bukti pelanggaran. Hal ini memunculkan pertanyaan: siapa yang diuntungkan dari kebijakan tersebut? Untuk kepentingan siapa langkah ini dijalankan?
Banyak pihak menilai kebijakan PPATK sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dengan dalih mencegah tindak kejahatan keuangan. Padahal, fungsi rekening pasif sering kali hanya sebagai cadangan dana darurat.
Kritik keras di media sosial akhirnya membuat PPATK mencabut pemblokiran. Namun, proses pembukaan rekening tetap disertai pungutan biaya administrasi. Alih-alih memberi solusi, hal ini justru semakin membebani masyarakat.
Fenomena ini sejatinya memperlihatkan kelemahan sistem kapitalis. Dalam paradigma kapitalisme, aturan bisa berubah demi kepentingan ekonomi meskipun merugikan rakyat. Harta pribadi masyarakat bisa dijadikan objek kebijakan seakan tanpa batas.
Ditambah dengan sekularisme—yang memisahkan aturan agama dari kehidupan—kebijakan tidak lagi merujuk pada syariat Allah, melainkan pada logika keuntungan sesaat. Akibatnya, hak-hak masyarakat sering terabaikan, sementara segelintir elit justru diuntungkan.
Tabungan yang dengan susah payah dikumpulkan oleh rakyat, sewaktu dibutuhkan justru tak dapat diakses karena dibekukan. Inilah bukti nyata bahwa sistem sekular-kapitalis gagal memberikan keadilan dan perlindungan kepada masyarakat.
I
Islam menempatkan kepemilikan pribadi sebagai hak yang tidak boleh dirampas sembarangan. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan seorang Muslim haram (tidak boleh dilanggar) atas Muslim lainnya.” (HR. Muslim)
Dalam hukum Islam juga berlaku prinsip al-barā’ah al-aṣliyyah (asalnya seseorang bebas dari tuduhan). Artinya, seseorang tidak boleh dibatasi haknya, termasuk hak atas harta, kecuali jika terbukti secara sah melakukan tindak pidana.
Negara dalam pandangan Islam berkedudukan sebagai pengurus umat (raa‘in), bukan penguasa yang bisa bertindak semena-mena.
Rasulullah saw. bersabda:
“Pemimpin adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu, negara tidak boleh memblokir rekening masyarakat tanpa dasar syar’i. Tugas negara justru melindungi harta rakyat dari segala bentuk perampasan, baik oleh individu maupun oleh kebijakan yang zalim.
Penutup
Polemik pemblokiran rekening pasif oleh PPATK memperlihatkan cacat serius dalam sistem kapitalis-sekuler. Kebijakan yang seharusnya menjaga keamanan finansial malah menimbulkan keresahan dan merugikan rakyat.
Islam menghadirkan solusi yang jelas dan adil: menjaga kepemilikan individu, menegakkan keadilan berdasarkan hukum Allah, serta menjadikan negara sebagai pelindung, bukan perampas. Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, hak-hak rakyat akan benar-benar terjaga, dan kezaliman kebijakan sewenang-wenang dapat dihapuskan.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
Via
Opini
Posting Komentar