Opini
Membaca Insiden Kapal Bantuan Gaza dalam Bingkai Solidaritas Muslim dan Perempuan Adat
Oleh: Rianti Budi Anggara
(Tim Redaksi Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Beberapa hari yang lalu terdengar kabar sebuah insiden yang menimpa kapal Family Boat dan Alma, bagian dari armada Global Sumud Flotilla (GSF) di Tunisia yang kembali membuka mata dunia tentang betapa sulitnya menembus jalur bantuan menuju Gaza, Palestina.
Kedua kapal tersebut sempat diserang objek yang terbakar yang diduga adalah drone, hingga menyebabkan kebakaran di dek atas kapal. Api berhasil dipadamkan, namun jelas terlihat ada upaya intimidasi untuk menghentikan perjalanan para aktivis.
Meski perjalanan penuh dengan ancaman, ratusan aktivis internasional kurang lebih di ikuti oleh 44 negara, termasuk perwakilan dari Indonesia seperti Wanda Hamidah, Chiki Fawzi dan para aktivis dunia lainya, tetap bertahan di pelabuhan Tunisia, menanti waktu berlayar bersama tokoh dunia seperti Mandla Mandela dan Greta Thunberg. Mereka rela hidup seadanya demi menembus blokade Israel, sebuah kesabaran yang mencerminkan keteguhan rakyat Gaza yang telah belasan tahun hidup dalam kepungan.
Gaza dan Amanah Membela Kaum Tertindas
Sejak agresi yang di lakukan Zionis Yahudi pada Oktober 2023 hingga saat ini, Gaza mengalami krisis kemanusiaan paling parah dalam sejarah modern. Lebih dari 64 ribu jiwa di laporkan gugur dan di prediksikan jumlah tersebut terus bertambah hingga saat ini, mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak, sementara jutaan warga hidup dalam kelaparan akibat blokade 17 tahun lamanya.
Namun, bagi umat Islam, persoalan Gaza bukan sekadar krisis kemanusiaan, melainkan amanah sebuah akidah di dalam jiwa-jiwa umat.
Allah Swt. telah menegaskan di dalam Firman-nya Q.S An-Nisa: 75 yang artinya:
“Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’.”
Membela Palestina bukan lagi sebuah pilihan, tetapi kewajiban iman setiap individu. Karena itu, mengandalkan kecaman PBB atau sekadar resolusi internasional tidak akan pernah menjadi jalan keluar. Sejarah menunjukkan bahwa Israel selalu melanggar perjanjian yang telah di buatnya dengan negara Muslim.
Maka yang dibutuhkan adalah kekuatan nyata, di perlukan adanya persatuan umat Islam yang kuat, kokoh, dan dipimpin oleh institusi khilafah, yang mampu menggerakkan potensi politik, ekonomi, dan militer untuk menolong Palestina dan agama Islam menjadi Rahmatan Lil'alamin bagi seluruh alam semesta, membawa kedamaian, keadilan, kesejahteraan bagi seluruh penjuru dunia. Inilah solusi hakiki yang Islam tawarkan, bukan sekadar berharap pada dunia internasional yang berulang kali gagal menolong Gaza, dari Negara Israel, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Kanada, Jerman, dan negara-negara lain yang secara langsung maupun tidak mendukung apa yang di lakukan oleh Israel pada negara Palestina.
Saat ini, setiap individu Namun, bagi umat Islam, persoalan Gaza bukan sekadar krisis kemanusiaan, melainkan amanah sebuah akidah di dalam jiwa-jiwa umat. Umat Islam dituntut untuk tidak berpangku tangan pada kekuasaan zalim dunia. Dukungan moral, doa, bantuan materi, obat-obatan, bahkan sampai kebutuhan dasar manusia haruslah kita penuhi bersama, serta adanya timbul kesadaran politik dalam setiap individu untuk menolak segala bentuk normalisasi dengan penjajah Zionis adalah bagian dari tanggung jawab kita bersama.
Umat Islam tidak boleh terpecah oleh sekat nasionalisme atau kepentingan pragmatis semata, memecah-mecah umat dengan adanya sekat-sekat terselubung di bawah pemerintahan dunia, sebab penderitaan rakyat Gaza adalah cermin dari lemahnya persaudaraan kita umat Islam. Hanya dengan persatuan dan keberanian untuk kembali pada sistem Islam yang menyeluruh, amanah membela kaum tertindas dapat terwujud secara nyata, dan darah para syuhada Palestina tidak tertumpah sia-sia.
Perjuangan sejatinya tidak hanya menjadi seruan umat Islam semata namun juga seluruh lapisan manusia di muka bumi. Dari belahan dunia internasional, muncul pula suara lantang yang menegaskan bahwa penderitaan Gaza adalah 'penderitaan mereka juga'. Solidaritas itu datang dari seluruh masyarakat yang merasa marah, kecewa, benci, bahkan kasihan terhadap kondisi Gaza saat ini, tidak pula terkecuali oleh perempuan Pribumi dan Two-Spirit dari Turtle Island (Kanada dan Amerika Utara).
Dalam “Surat Solidaritas untuk Armada Kemanusiaan”, mereka menegaskan bahwa perjuangan Palestina adalah cermin perjuangan masyarakat adat melawan kolonialisme pemukim, penghapusan budaya, dan kekerasan negara. Mereka mengingatkan sebuah sejarah negara mereka, bagaimana nenek moyang mereka bertahan dari kelaparan yang dipaksakan, perampasan tempat tinggal, hingga genosida kultural melalui sekolah berasrama. Kini dunia melihat itu semua terjadi para perempuan Palestina sedang menjaga keluarga-keluaega mereka di tengah pemboman tentara Israel terhadap rumah-rumah mereka, sekolah, rumah sakit, dan seluruh bangunan, melindungi anak-anak dari kelaparan, dan menyatukan, menguatkan satu sama lain di antara mereka.
Kalimat tegas mereka berbunyi:
“Perjuangan mereka adalah perjuangan kami. Kelangsungan hidup mereka adalah kelangsungan hidup kami. Kemanusiaan mereka yang terancam adalah kemanusiaan kami yang terancam.”
Jika perempuan adat mampu membawa semangat perjuangan lintas benua, maka umat Islam yang memiliki ikatan akidah lebih wajib lagi memimpin jalan keluar. Itu berarti berhenti menaruh harapan pada jalur-jalur diplomasi yang selalu dibungkam atasan dan sistem yang rusak ini, dan beralih pada solusi strategis berupa persatuan umat dan jihad fi sabilillah.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Kezaliman Israel tidak akan berakhir dengan doa dan seruan kosong semata, saya, kami, kita, mereka dan kita semua membutuhkan aksi nyata. Tekanan di dalam diplomasi bisa menjadi bagian dari perjuangan, tetapi hanya akan efektif bila dibarengi dengan kekuatan umat Islam yang bersatu dalam satu kepemimpinan global. Inilah solusi konkret yang selama ini diabaikan bersama, bahwa hanya dengan khilafah, umat Islam mampu menyalurkan potensi ekonomi, militer, dan politik untuk menghentikan genosida.
Bahkan, perempuan pun menempati posisi sentral dalam perjuangan ini. Seperti perempuan pribumi yang menjaga warisan nenek moyang mereka di tengah represi kolonial, dan perempuan Palestina yang kini mempertahankan keluarganya di bawah blokade, mereka menunjukkan bahwa perlawanan bukan sekadar simbol, melainkan fondasi kelangsungan hidup.
Maka, solidaritas umat Islam harus berwujud tindakan: membangun persatuan global, memutus dukungan pada rezim Zionis, dan menegakkan jihad yang terarah dalam bingkai syariat Islam. Solidaritas untuk Gaza adalah kewajiban iman, jalan menuju kemenangan Islam, dan pembelaan terhadap kemanusiaan.
Via
Opini
Posting Komentar