Opini
Konstruksi Literasi Ideologis: Tak Berujung ‘Lonely in The Crowd’
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Di era digital, hampir semua orang merasa tidak bisa lepas dari media sosial. Rasanya dunia menjadi lebih dekat, lebih mudah dijangkau, dan lebih ramai karena bisa berinteraksi dengan siapa pun hanya lewat layar kecil di genggaman tangan. Akan tetapi, perasaan “terhubung” ini ternyata tidak serta-merta menghapus rasa sepi. Justru, semakin banyak orang aktif di media sosial, semakin nyata pula fenomena kesepian yang mereka rasakan.
Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) turut menaruh perhatian pada fenomena ini. Sehingga melakukan sebuah penelitian bertajuk “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual” menyoroti bagaimana media sosial memengaruhi rasa kesepian. Dengan menggunakan pendekatan teori hiperrealitas, studi tersebut menjelaskan bahwa apa yang tampak di ruang digital sering kali dipersepsikan sebagai kenyataan daripada realitas itu sendiri. Maka, emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental sekaligus hubungan sosial seseorang (detikedu, 18-8-2025).
Artinya, walaupun tampak ramai di dunia maya, seseorang bisa saja sangat kesepian di dunia nyata. Kita pun melihat banyak orang lebih aktif di TikTok, Instagram, atau platform lainnya, tetapi enggan berinteraksi dengan tetangga atau bahkan anggota keluarganya sendiri. Mereka seperti kesepian di tengah keramaian.
Akar Masalah: Bukan Sekadar Literasi Digital
Jika melihat lebih dalam, fenomena ini bukan hanya soal kurangnya literasi digital atau lemahnya manajemen penggunaan gawai. Persoalan yang muncul sebenarnya jauh lebih serius, yakni: masyarakat di era digital semakin banyak yang merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk media sosial. Gen Z bahkan disebut sebagai generasi yang paling kesepian. Mereka sering kali insecure, sulit percaya diri, bahkan mengalami gangguan kesehatan mental. Ini jelas bukan hanya karena belum bisa mengatur waktu dalam bermedia sosial, melainkan karena sistem kehidupan yang mereka jalani memang mendorong manusia untuk terjebak dalam ruang hampa interaksi semu.
Bahkan industri kapitalis berperan besar dalam menciptakan kondisi ini. Media sosial dibangun dengan algoritma yang membuat orang betah berlama-lama, bukan agar mereka bahagia, melainkan supaya keuntungan iklan semakin besar. Akibatnya, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya dalam dunia maya. Mereka larut dalam arus konten, tetapi kehilangan kemampuan untuk membangun interaksi nyata (saling silaturahmi). Juga di tengah keluarga sekalipun, pola hubungan menjadi renggang karena masing-masing sibuk dengan gawainya.
Padahal inilah dampak buruk dari sikap asosial dan rasa kesepian ini tidak bisa dianggap remeh. Generasi muda yang seharusnya punya energi besar untuk berkarya malah terjebak dalam krisis mental. Potensi produktif mereka terkikis karena waktunya tersita untuk mencari validasi semu berupa likes dan followers. Lebih jauh, kondisi ini melahirkan generasi rapuh yang sulit peduli terhadap persoalan umat. Bagaimana mereka bisa ikut memikirkan masalah bangsa dan dunia jika dirinya sendiri masih terjebak dalam kesepian yang diciptakan sistem?
Dengan kata lain, fenomena ‘lonely in the crowd’ adalah buah dari sistem sekuler-liberal yang menjadikan manusia semakin individualis, terpisah dari nilai-nilai agama, dan bergantung pada validasi digital.
Harusnya masyarakat menyadari terhadap media sosial yang tidak
dikelola dengan bijak akan menjadikan banyak orang makin asosial dan merasa kesepian di tengah keramaian. Itulah mengapa Islam mengingatkan agar setiap sarana komunikasi dipakai untuk kebaikan berdakwah misalnya. Bukan sekadar hiburan atau pencitraan. Dengan kesadaran ini, umat dapat terhindar dari kerugian besar akibat salah memanfaatkan teknologi.
Dengan demikian menempatkan validasi hakiki sebagai identitas utama bukan sekadar label. Adalah menjadikan Islam benar-benar sebagai pedoman hidup.
Jadi, umat tidak terus menerus menjadi korban sistem sekuler liberal yang memisahkan agama dari kehidupan. Identitas Islam akan membimbing pemuasan naluri manusia secara benar, menjaga kehormatan, dan melahirkan interaksi sosial yang sehat.
Maka yang tidak kalah penting adalah butuh peran negara dalam mengendalikan dunia digital.
Dalam sistem Khilafah, negara berperan penting mengendalikan pemanfaatan dunia digital. Negara tidak membiarkan konten merusak beredar bebas, tetapi memastikan teknologi diarahkan untuk maslahat umat. Negara juga mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, agar tetap produktif dan berkontribusi nyata dalam menyelesaikan problematika umat. Dengan demikian, dunia digital menjadi sarana dakwah, ilmu, dan pembangunan peradaban, bukan sumber kerusakan sosial.
Sejarah peradaban Islam menunjukkan bagaimana sistem Khilafah mampu melahirkan generasi visioner yang tidak hanya kuat secara spiritual, tetapi juga produktif dalam ilmu, seni, dan teknologi. Semua itu terjadi karena pendidikan, pekerjaan, bahkan pemanfaatan teknologi selalu berasaskan akidah.
Kesepian di tengah keramaian media sosial adalah fenomena nyata yang menimpa banyak orang, terutama generasi muda. Perasaan hampa ini tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil dari sistem sekuler liberal yang membuat manusia semakin jauh dari identitas keislaman.
Maka, solusi tidak cukup dengan literasi digital atau manajemen waktu, melainkan dengan perubahan mendasar: kembali kepada Islam secara kaffah. Hanya dengan tegaknya Khilafah Islamiyah, negara akan benar-benar mengatur pemanfaatan teknologi agar tidak merusak, melainkan menjadi sarana produktif yang menghubungkan manusia dalam ikatan iman dan ukhuwah.
Dengan begitu, umat tidak lagi ‘lonely in the crowd’, tetapi justru akan menjadi komunitas yang kokoh, penuh kepedulian, dan mampu membawa peradaban menuju kebaikan.
Wallahu a’lam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar