Opini
Komodifikasi Kesehatan, Rakyat Miskin kian Sulit Mengakses Pelayanan Dasar
Oleh: Ira Ummu Khaulah
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Kabar duka dari Sukabumi tentang meninggalnya ananda Raya mengguncang hati banyak orang. Gadis kecil ini berasal dari keluarga kurang mampu yang tinggal di Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Ia menjadi korban dari sistem kesehatan yang timpang dan penuh ketidakadilan. Tragedi ini menyadarkan kita bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan yang layak di negeri ini masih menjadi kemewahan bagi sebagian rakyat, bukan hak dasar seperti yang seharusnya.
Kisah Raya bukan hanya sebuah kisah "Ironi" pada negeri ini. Ia adalah potret nyata dari tragedi kemanusiaan yang muncul akibat sistem kesehatan yang telah dikomersialisasi. Kesedihan mendalam bukan hanya untuk keluarga yang kehilangan, tetapi juga untuk sebuah bangsa yang belum mampu menjamin keselamatan warganya hanya karena mereka lahir dalam kondisi miskin dan tinggal jauh dari pusat layanan.
Kesehatan telah Menjadi Komoditas
Masalah utama dalam sistem kesehatan Indonesia bukan terletak pada kurangnya tenaga medis, kelangkaan obat-obatan, atau keterbatasan teknologi medis. Akar persoalannya adalah kekeliruan paradigma para pemangku kebijakan yang melihat kesehatan bukan sebagai hak dasar rakyat, tetapi sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Inilah yang disebut dengan komodifikasi kesehatan—proses menjadikan layanan kesehatan sebagai barang dagangan. Rumah sakit beroperasi layaknya perusahaan yang mengejar keuntungan, bukan lembaga pelayanan publik. Obat-obatan dijual dengan harga tinggi demi keuntungan industri farmasi. Bahkan, layanan dasar seperti pemeriksaan umum atau penanganan gawat darurat bisa menjadi beban berat bagi rakyat miskin, apalagi bila harus menempuh jarak yang jauh dan menghadapi birokrasi yang rumit.
Negara yang mengaku berideologi Pancasila seharusnya menempatkan rakyat sebagai pusat dari setiap kebijakan. Namun realitasnya, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas kesehatan sering kali hanya menjadi dokumen formal yang tak diimplementasikan secara nyata.
Sistemik dan Terstruktur
Tragedi yang dialami keluarga Raya bukanlah kasus tunggal, melainkan bagian dari persoalan sistemik yang terus berlangsung. Ketika pengelolaan kesehatan dijalankan dengan logika pasar, maka yang mampu membayar akan mendapat pelayanan terbaik, sementara yang tidak, seperti Raya dan keluarganya, harus pasrah menerima nasib.
Ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan sangat mencolok. Di kota-kota besar, fasilitas kesehatan tersebar dan mudah diakses. Sebaliknya, di daerah terpencil, satu puskesmas harus melayani ribuan warga dengan fasilitas seadanya. Rumah sakit rujukan pun sering tidak tersedia, atau jika ada, jaraknya sangat jauh dengan akses jalan yang sulit. Dalam kondisi darurat, keterlambatan sekecil apapun bisa berarti kehilangan nyawa.
Prosedur birokrasi yang panjang dan lambat makin menambah penderitaan rakyat kecil. Mereka harus bergulat dengan administrasi, verifikasi data, hingga persyaratan teknis lainnya yang kadang tidak masuk akal di tengah situasi mendesak.
Negara yang Sering Absen
Dalam tragedi Raya, negara seharusnya hadir sebagai pelindung rakyat, terutama mereka yang paling rentan. Sayangnya, negara justru sering kali absen. Tidak hanya dalam penyediaan fasilitas, tetapi juga dalam kecepatan respons dan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat di pelosok.
Banyak daerah masih mengalami ketimpangan pembangunan. Masyarakat miskin di desa-desa terpinggirkan dari perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal ini memperlihatkan lemahnya komitmen negara dalam menjalankan amanat konstitusi dan janji-janji politik yang kerap disuarakan saat kampanye.
Pandangan Islam tentang Kesehatan
Dalam pandangan Islam, kesehatan termasuk salah satu dari lima kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi negara, selain pangan, sandang, papan, pendidikan, dan keamanan. Islam memandang pelayanan kesehatan sebagai tanggung jawab penuh negara, bukan sebagai sektor ekonomi yang bisa diperjualbelikan.
Sejarah mencatat, ketika syariat Islam diterapkan dalam bingkai negara, rumah sakit dibangun dan dikelola dengan sangat baik, dilengkapi dengan alat-alat medis terbaik pada zamannya. Semua rakyat—kaya atau miskin—mendapat pelayanan yang setara tanpa dikotak-kotakkan dalam kelas-kelas seperti VVIP, VIP, kelas I, II, atau III seperti yang ada hari ini. Tidak ada perbedaan perlakuan antara pejabat dan rakyat jelata ketika sakit.
Dalam sistem Islam, pasien tidak dibebani biaya. Negara menjamin seluruh kebutuhan pengobatan dari kas Baitul Mal. Saat terjadi wabah, langkah isolasi, pengobatan, dan pencegahan dilakukan cepat dan merata, tanpa perlu birokrasi rumit dan tanpa syarat administratif yang menyulitkan.
Solusi Tuntas: Syariat Islam dalam Bingkai Khilafah
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang diterapkan tidak mampu menghadirkan keadilan dalam pelayanan publik. Segala hal diukur dengan uang dan keuntungan, termasuk nyawa manusia.
Islam memiliki solusi yang menyeluruh. Namun penerapan syariat Islam secara sempurna hanya mungkin dilakukan dalam struktur negara yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh, yaitu Khilafah Islamiyah. Dalam sistem ini, pemimpin negara bukan hanya bertanggung jawab secara administratif, tetapi juga secara syar’i di hadapan Allah atas kesejahteraan rakyatnya.
Karena itu, jika ada yang menyamakan pemimpin saat ini dengan sosok seperti Khalifah Umar bin Khattab, maka itu adalah penyesatan. Sebab, Khalifah Umar memimpin dengan landasan wahyu, bukan logika demokrasi yang sarat kepentingan politik dan ekonomi.
Penutup
Tragedi Raya menjadi pelajaran berharga dan pengingat keras bahwa sistem yang berjalan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Selama kesehatan masih dipandang sebagai komoditas dan bukan hak, dan selama negara lebih mementingkan untung-rugi daripada nyawa rakyatnya, maka tragedi seperti ini akan terus terulang. Sudah saatnya kita berpikir ulang tentang sistem yang kita pertahankan saat ini dan melirik solusi hakiki yang berpihak pada seluruh rakyat dengan syariat Islam dalam bingkai khilafah.
Wallahu a'lam bis shawab
Via
Opini
Posting Komentar