Opini
Fasilitas Tunjangan Anggota Dewan, Haruskah Ada?
Oleh: Dwi R Djohan
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan negeri ini yang ternyata diwarnai dengan peristiwa yang mencengangkan. Salah satunya adalah terbukanya tabir mengenai tunjangan yang didapat anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Tidak tanggung-tanggung, mereka mendapat lebih dari Rp 100 juta per bulan (beritasatu.com 20-8-2025). Hal itu diiyakan oleh Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, bahwa gaji pokok mereka tidak naik tetapi yang mengalami kenaikan adalah tunjangannya (tempo.co 19-8-2025). Lalu, mengapa hal tersebut menjadi berita yang mencengangkan?
Melanjutkan penjelasan Adies mengenai tunjangan, maka di situlah hal yang mencengangkan. Dimulai dari tunjangan bensin sebesar Rp 7 juta, tunjangan beras Rp 12 juta hingga kompensasi rumah dinas sejumlah Rp 50 juta serta tunjangan-tunjangan yang lain. Jika dijumlahkan keseluruhannya maka pendapatan anggota dewan yaitu lebih dari Rp 100 juta per bulan. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi rakyat yang harus berjibaku untuk mencari uang hanya demi mengisi perutnya. Sedang anggota dewan demi gaya hidup. Maka sangat miris jika hal tersebut begitu bangga disampaikan di tengah-tengah sulitnya ekonomi masyarakat. Mengingat banyaknya PHK besar-besaran, bertambahnya angkatan kerja sehingga membuat kompetisi dalam mencari kerja semakin ketat. Apalagi jika disandingkan dengan hasil kerja mereka yang hampir tidak memuaskan alias tidak pro rakyat.
Jika membahas tentang kerja anggota dewan maka mari kita menengok UU RI no 17 tahun 2014 tengang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa fungsi atau tugas DPR adalah legislasi, anggaran dan pengawasan. Dengan 3 fungsi atau tugas tersebut, DPR menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah. Membantu rakyat dalam berpendapat atas kebijakan pemerintah dan mengawasi pemerintah agar sesuai dengan peraturan yang ada sebagai perwujudan representasi rakyat.
Salah satu dari 3 fungsi atau tugas DPR adalah legislasi di mana DPR memutuskan bersama Presiden tanpa melibatkan rakyat dalam diskusi untuk menetapkan tunjangan yang mereka dapat selama menjabat. Yaitu salah satunya mengenai kebijakan tunjangan rumah yang diatur dalam Surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 tertanggal 25 September 2024. Kebijakan ini adalah turunan dari UU RI No 12 Tahun 1980 Pasal 7 yang menyebutkan bahwa Pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara akan mendapat rumah jabatan beserta kendaraannya tetapi itu semua adalah hak milik negara. Hanya saja perawatan dan pemeliharaannya menjadi tanggungan negara termasuk: biaya air, telepon, listrik bahkan orang pekerja kebun di rumah jabatan. Fasilitas ini bisa diterima oleh orang-orang yang memangku jabatan sebagai Legislatif (MPR, DPR, DPD), Eksekutif (Presiden, Wakil Presiden beserta menteri kabinetnya) dan Yudikatif (Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusional). Jadi jangan heran jika dari hal ini saja, banyak orang yang menginginkan duduk dalam 3 jabatan ini.
Bila mengenai hak mereka saja rakyat tidak dilibatkan dengan dalih karena rakyat sudah memberikan kewenangannya pada anggota dewan di Pemilu, maka jangan kaget juga jika kepercayaan yang diberikan itu akhirnya dikhianati. Kok bisa? Karena: pertama, ketiga fungsi atau tugasnya berpeluang adanya sogokan sehingga mereka akan berpihak pada siapa yang membayar mereka lebih banyak.
Kedua, karena tidak adanya ruang diskusi dengan rakyat sebagai pemilik kewenangan itu. Bukankah kata mereka, kepentingan rakyat yang mereka urusi? Lantas, mengapa rakyat tidak diajak diskusi untuk membahas kepentingan mereka? Tidak lain, tidak bukan hal itu karena Sistem Demokrasi Kapitalisme yang diterapkan. Sistem yang menjadikan jabatan sebagai alat memperkaya dirinya, membuat abai dengan amanah yang dipikulnya sebagai wakil rakyat sehingg hilanglah empati mereka pada rakyat yang mereka "wakili".
Lantas, bagaimana dalam sistem Islam? Dalam Islam, wakil rakyat tetap ada. Hanya saja, ada perbedaan yang signifikan dalam asasnya. Dalam sistem Islam, asas dari wakil rakyat atau yang disebut Majelis Umat adalah akidah Islam di mana syariat Allah menjadi pedoman dalam menjabat bukan akal manusia. Jika asas demikian maka siapapun yang menjabat akan merasa bahwa kelak jabatannya akan dimintai pertanggungjawaban. Jabatan yang diemban, bukan untuk dimanfaatkan demi kepentingan pribadi, parpol atau bahkan memperkaya diri sendiri. Itu karena adanya keimanan yang menjadikannya sebagai penjaga untuk selalu terikat dengan hukum syari'at baik saat sendirian atau kondisi ramai.
Sikap seperti ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh mereka yang punya jabatan tetapi setiap orang, apalagi jika dia seorang muslim. Dengan keimanan pula, semangat untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan atau fastabiqul khoirot, akan menghiasi kehidupan. Karena yang dikejar bukan lagi dunia tetapi kenikmatan akhirat berupa surga dari jerih payahnya di dunia sebagai orang yang amanah atas tanggung jawab yang dipikul.
Wallahu a'lam.
Via
Opini
Posting Komentar