Opini
Bagaimana Solusi Korupsi Dana Bos?
Oleh: Fitri Yani
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Korupsi di Indonesia seolah menjadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh. Alih-alih mereda, praktik haram ini justru semakin menggurita, merambah ke berbagai sektor kehidupan. Salah satu yang paling memprihatinkan adalah korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dilansir dari Waspada.id (8-9-2025), Kejari Belawan menahan Kepala SMA Negeri 16 Medan (RA) terkait dugaan korupsi Dana BOS 2022-2023. RA diduga memanipulasi laporan keuangan dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain melalui penggelembungan anggaran dan pengadaan fiktif. Penahanan dilakukan setelah audit dan investigasi menemukan indikasi kerugian negara. Kejari Belawan berkomitmen menuntaskan kasus ini secara transparan dan mengimbau pengelola Dana BOS untuk lebih berhati-hati serta mengajak masyarakat untuk mengawasi penggunaan dana. Pemerintah Kota Medan dan Dinas Pendidikan berjanji akan mengevaluasi sistem pengelolaan Dana BOS. Kasus terbaru yang mencuat ke permukaan menjadi bukti bahwa korupsi dana BOS masih menjadi ancaman nyata bagi dunia pendidikan kita.
Kasus serupa di Sumatera Utara juga pernah terjadi. Polda Sumatera Utara (Sumut) pernah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap 16 orang terkait dugaan korupsi pengutipan Dana BOS di SD negeri se-Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat. Dalam kasus tersebut, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S).
Dana BOS yang seharusnya menjadi oase bagi sekolah-sekolah yang kekurangan dana, justru menjadi lahan basah bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti membeli buku, alat peraga, atau memperbaiki fasilitas sekolah, malah dikorupsi untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, siswa menjadi korban, kualitas pendidikan menurun, dan masa depan bangsa terancam.
Di sebuah kota di mana sebagai pusat pendidikan, bayang-bayang korupsi mulai merayap, menggerogoti fondasi moral dan etika. Memang benar, fenomena ini tidak muncul begitu saja. Ada akar masalah yang tersembunyi, yang perlahan tumbuh dan menjalar, meracuni sistem dari dalam.
Salah satu pemicunya adalah ironi yang menyayat hati: para pengajar, pilar utama pendidikan, justru berjuang dengan gaji yang jauh dari kata layak. Bagaimana mungkin mereka dapat fokus mendidik generasi penerus bangsa ketika pikiran mereka terbebani oleh kebutuhan sehari-hari? Tuntutan tugas yang semakin tinggi tidak sebanding dengan apresiasi yang mereka terima, menciptakan celah yang rentan terhadap godaan.
Namun, masalah gaji bukanlah satu-satunya penyebab. Keserakahan, sifat buruk yang mengakar dalam diri manusia, juga memainkan peran penting. Ada orang-orang yang tidak pernah merasa cukup, yang selalu haus akan lebih banyak, tanpa peduli dampak yang mereka timbulkan pada orang lain. Mereka melihat kesempatan dalam kesempitan, memanfaatkan celah dalam sistem untuk memperkaya diri sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memerangi korupsi, justru tampak tumpul dan tidak berdaya. Para pelaku korupsi, dengan segala cara dan akal bulusnya, berhasil menghindari jeratan hukum, atau bahkan lolos dengan hukuman yang ringan. Akibatnya, korupsi semakin merajalela, menjangkau berbagai lini kehidupan, dari pemerintahan hingga sektor swasta.
Kisah ini adalah cerminan dari realitas yang pahit, sebuah pengingat bahwa korupsi adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Meningkatkan kesejahteraan pengajar, menanamkan nilai-nilai moral dan etika, serta menegakkan hukum secara tegas adalah langkah-langkah penting untuk memutus rantai korupsi dan membangun masa depan yang lebih baik.
Islam: Solusi Komprehensif untuk Korupsi
Di dalam sistem pemerintahan yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Negara akan memastikan bahwa seluruh aparatur pemerintah mendapatkan gaji yang memadai. Gaji ini dirancang untuk mencukupi tidak hanya kebutuhan primer, tetapi juga kebutuhan sekunder dan bahkan tersier. Dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ini secara layak, diharapkan para aparatur negara tidak akan tergoda untuk melakukan tindakan korupsi demi memenuhi kepentingan pribadi atau keluarga mereka, sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Selain itu, dalam memilih pejabat negara, sistem Khilafah tidak hanya melihat kepintaran dan kemampuan kerja. Yang paling penting, mereka harus adil dan bertakwa kepada Tuhan. Adil berarti tidak memihak dan selalu membela kebenaran. Bertakwa berarti selalu ingat kepada Tuhan, jujur, dan takut melakukan kesalahan. Jadi, para pejabat ini punya kendali diri yang kuat. Mereka tidak hanya bekerja karena aturan, tetapi juga karena hati nurani, sehingga tidak mudah tergoda untuk korupsi.
Selanjutnya Untuk memastikan pejabat tidak korupsi, sistem Khilafah punya cara khusus. Pertama, semua calon pejabat harus melaporkan semua harta yang mereka punya sebelum menjabat. Setelah itu, harta mereka akan dihitung lagi secara berkala. Jika ada perbedaan jumlah harta yang tidak masuk akal, misalnya tiba-tiba jadi kaya tanpa alasan yang jelas, maka Khilafah akan menyelidiki. Jika terbukti harta itu hasil korupsi, maka harta itu akan diambil kembali oleh negara untuk kepentingan rakyat. Cara ini membuat pejabat berpikir dua kali sebelum korupsi.
Terakhir, Khilafah menerapkan hukuman berat dan beragam sesuai tingkat korupsi. Tujuannya bukan hanya membuat pelaku jera, tapi juga memberi peringatan ke semua orang. Hukumannya bisa berupa: pengumuman kejahatan, pemberian cap buruk, peringatan tertulis, penyitaan harta haram, pengasingan, cambuk, bahkan hukuman mati untuk korupsi berat. Dengan pencegahan, pengawasan, dan hukuman tegas ini, Islam ingin mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab, agar uang negara bisa dipakai untuk menyejahterakan rakyat.
Pemberantasan korupsi yang efektif dan menyeluruh hanya mungkin terwujud dengan penerapan hukum Islam secara komprehensif oleh sebuah negara, yaitu melalui sistem Khilafah. Sistem ini tidak hanya fokus pada penindakan setelah korupsi terjadi, tetapi juga pada pencegahan melalui pendidikan moral, pengawasan ketat, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Dengan demikian, korupsi tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah dan nilai agama. Pendekatan holistik inilah yang memungkinkan pemberantasan korupsi secara tuntas dan berkelanjutan, demi pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Via
Opini
Posting Komentar