Opini
Anak Muda Jadi Korban Utama Krisis Tenaga Kerja Global, Kapitalisme Gagal Mewujudkan Kesejahteraan
Oleh: Rianeu Novita
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Krisis tenaga kerja global semakin nyata, dan generasi muda menjadi korban utamanya. Mereka yang seharusnya menjadi generasi pembangun justru menghadapi kenyataan pahit yaitu sulit mendapat pekerjaan, bahkan sekadar untuk bertahan hidup. Padahal, anak muda adalah generasi penuh energi, ide segar, dan harapan besar. Ironisnya, di bawah sistem ekonomi kapitalisme yang mendominasi dunia, mereka malah menjadi kelompok paling rentan terhadap pengangguran massal dan ketidakpastian ekonomi.
Fenomena ini membuktikan bahwa kapitalisme, yang digadang-gadang sebagai sistem yang menjanjikan pertumbuhan dan kesejahteraan, gagal mewujudkan keadilan dan keberlanjutan. Sebaliknya, sistem ini melahirkan jurang ketimpangan yang semakin dalam, sekaligus menciptakan pengangguran terdidik dalam jumlah besar.
Kapitalisme menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama, bukan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Teknologi dan inovasi yang seharusnya bisa memperluas lapangan kerja justru dipakai untuk efisiensi biaya, menggantikan tenaga manusia dengan mesin dan sistem otomatis. Perusahaan berorientasi pada produktivitas dan laba, tanpa memperhatikan dampaknya pada ketersediaan pekerjaan.
Di sisi lain, dunia pendidikan diarahkan untuk memenuhi pasar industri. Sekolah vokasi, politeknik, dan universitas setiap tahun meluluskan jutaan anak muda dengan harapan bisa segera bekerja. Namun, industri tidak mampu menampung jumlah lulusan yang terus meningkat. Jurusan baru dibuka, program kerja sama diperluas, tetapi angka pengangguran tetap tinggi. Ini membuktikan bahwa masalahnya bukan pada kompetensi individu, melainkan pada struktur sistem ekonomi yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja cukup bagi rakyatnya.
Akibatnya, banyak anak muda terjebak dalam persaingan ketat, bekerja di sektor informal yang tidak sesuai bidangnya, atau bahkan menyerah dan menjadi penganggur. Dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga psikologis: rasa frustrasi, kehilangan percaya diri, bahkan depresi menjadi fenomena nyata.
Fakta krisis tenaga kerja:
1. Fenomena global
Inggris, Prancis, Amerika Serikat, hingga Cina mencatat kenaikan angka pengangguran. Bahkan muncul fenomena unik: orang pura-pura bekerja atau bekerja tanpa digaji hanya demi dianggap masih bekerja. Fenomena ini mencerminkan rapuhnya struktur ketenagakerjaan global di bawah kapitalisme.
2. Kondisi di Indonesia
Meski angka pengangguran nasional dilaporkan menurun, generasi muda justru mendominasi jumlah penganggur. Data menunjukkan hampir separuh pengangguran di Indonesia adalah anak muda. Artinya, satu dari dua penganggur adalah generasi yang seharusnya menjadi pilar pembangunan bangsa.
3. Ketimpangan kekayaan
Data dari Celios menegaskan: kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Potret ini menunjukkan bagaimana kapitalisme melahirkan konsentrasi kekayaan pada segelintir elit, sementara mayoritas rakyat berebut lapangan kerja yang makin sempit.
4. Kebijakan pemerintah tidak solutif
Upaya pemerintah seperti menggelar job fair hanyalah formalitas. Faktanya, banyak perusahaan justru tengah melakukan PHK massal. Demikian pula, program pendidikan vokasi yang dijanjikan akan melahirkan tenaga siap kerja terbukti tidak efektif. Banyak lulusan vokasi tetap menganggur.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa kapitalisme gagal memberikan solusi. Selama sistem ini mendominasi, pengangguran, terutama di kalangan anak muda, akan tetap menjadi masalah utama.
Islam menawarkan solusi komprehensif, bukan tambal sulam. Sistem Islam membangun kerangka menyeluruh agar rakyat dapat bekerja, hidup layak, dan sejahtera.
Ada lima pilar utama yang bisa menjawab krisis tenaga kerja:
1. Negara sebagai Ra‘in (Pengurus Rakyat)
Dalam Islam, penguasa berkedudukan sebagai ra‘in, yaitu pengurus rakyat. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Artinya, negara tidak boleh lepas tangan dalam persoalan pekerjaan. Negara berkewajiban memfasilitasi rakyat agar memiliki akses pada pekerjaan dan penghasilan. Mekanisme yang ditempuh antara lain:
Pendidikan gratis dan bermutu: membekali rakyat dengan ilmu dan keterampilan sesuai kebutuhan masyarakat, bukan semata kebutuhan industri.
Bantuan modal: bagi rakyat yang ingin berwirausaha, negara memberikan modal tanpa bunga (qard hasan) atau fasilitas produksi.
Industrialisasi strategis: negara membangun sektor industri yang berkaitan dengan kepemilikan umum, seperti energi, tambang, dan air, yang menyerap tenaga kerja luas.
Pertanian dan tanah: negara memberikan tanah mati yang tidak produktif kepada rakyat yang mampu mengelolanya, sebagaimana sabda Nabi ï·º: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”
(HR. at-Tirmidzi)
Dengan mekanisme ini, negara Islam tidak membiarkan rakyat menganggur. Pekerjaan dipahami bukan sekadar bekerja di perusahaan, tetapi segala aktivitas produktif yang memungkinkan rakyat memenuhi kebutuhannya.
2. Distribusi kekayaan yang adil
Allah Swt. menegaskan dalam Al-Qur’an: “... supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”67676
Islam menolak konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Sistem Islam memastikan distribusi kekayaan melalui mekanisme berikut:
Larangan riba: sistem bunga yang memperkaya pemilik modal dan menjerat rakyat kecil dihapus.
Zakat: sebagai instrumen distribusi kekayaan agar harta mengalir ke fakir miskin.
Kepemilikan umum: sumber daya alam dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan ke swasta.
Larangan monopoli (ihtikar): melarang praktik monopoli yang menutup akses rakyat terhadap kebutuhan pokok.
Dengan mekanisme ini, peluang ekonomi lebih merata dan lapangan kerja terbuka lebih luas.
3. Pendidikan Islam: mencetak SDM berkualitas
Sistem pendidikan Islam bertujuan mencetak manusia yang berilmu, berakhlak, dan memiliki keahlian. Pendidikan tidak hanya berorientasi pada pasar industri, tetapi juga membentuk generasi yang mampu menciptakan lapangan kerja, mengembangkan potensi diri, dan berkontribusi untuk masyarakat.
Negara menyediakan kurikulum berbasis aqidah Islam, ilmu pengetahuan, dan keterampilan praktis. Dengan bekal ini, anak muda tidak sekadar mencari kerja, tetapi mampu berinovasi dan menjadi pencipta peluang kerja baru.
4. Ekonomi berorientasi kesejahteraan
Berbeda dengan kapitalisme yang berorientasi pada pertumbuhan dan keuntungan investor, sistem ekonomi Islam berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Negara memastikan kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan—terpenuhi.
Jika kebutuhan dasar sudah dijamin, rakyat memiliki ruang luas untuk berkarya. Anak muda bisa berinovasi tanpa dihantui ketakutan akan kelaparan atau biaya pendidikan. Selain itu, negara Islam membangun kemandirian ekonomi, tidak menempatkan rakyat sebagai tenaga murah bagi industri global.
5. Prinsip kehidupan produktif
Islam mendorong setiap individu untuk bekerja. Rasulullah ï·º bersabda: “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri.”
Dengan paradigma ini, bekerja tidak hanya sekadar mencari nafkah, tetapi juga ibadah dan sarana pengabdian kepada Allah. Negara memfasilitasi, masyarakat mendukung, dan individu terdorong untuk produktif. Dalam sistem ini, pengangguran struktural tidak akan menjadi masalah seperti yang terjadi di bawah kapitalisme.
Islam hadir dengan solusi menyeluruh yang menyentuh akar persoalan. Negara berperan sebagai pengurus rakyat, distribusi kekayaan dijalankan secara adil, pendidikan melahirkan generasi berkualitas, ekonomi berorientasi pada kesejahteraan, dan bekerja dipandang sebagai ibadah. Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, generasi muda akan memperoleh kesempatan nyata untuk bekerja, berkarya, dan hidup sejahtera.
Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar