Opini
Rekening Terblokir? Islam Menjamin Hak Kepemilikan Harta
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Bayangkan jika suatu hari kita ingin menarik uang untuk kebutuhan mendesak, lalu tiba-tiba kartu ATM menolak transaksi. Setelah dicek, ternyata rekening kita diblokir. Bukan karena kita melakukan kejahatan, tetapi karena rekening tersebut dianggap tidak aktif.
Inilah yang dialami jutaan orang setelah PPATK mengumumkan pemblokiran rekening “dormant” sejak Mei 2025. Dalihnya: untuk mencegah penyalahgunaan dan pencucian uang. Faktanya, yang kena imbas bukan hanya pelaku kejahatan, tapi juga masyarakat biasa termasuk penerima bansos dan nasabah kecil yang hanya punya satu rekening (Kompas.com, 19-5-2025).
PPATK menyampaikan bahwa saldo tetap aman, hanya saja aksesnya dibekukan sampai ada klarifikasi. Akan tetapi bukankah ini membatasi akses harta tanpa seizin pemiliknya adalah bentuk perampasan sementara? OJK dan BI memang ikut mendukung langkah ini, namun suara masyarakat justru ramai menolak.
BPKN meminta kebijakan ditinjau ulang. PBNU menyebut langkah ini “serampangan” karena menimbulkan keresahan, terutama bagi rakyat kecil. Komnas HAM pun memanggil PPATK untuk meminta penjelasan atas dampak kebijakan ini terhadap hak warga (Antaranews.com, 31-7-2025).
Fenomena ini memperlihatkan salah satu wajah gelap kapitalisme. Di mana dalam sistem ini negara dan lembaga keuangan bisa bertindak seenaknya. Dengan dalih “keamanan”, akses kita terhadap harta bisa dihentikan seketika. Rakyat diposisikan harus membuktikan diri “tidak bersalah” hanya untuk bisa mengambil uangnya sendiri.
Berbeda dengan Islam, harta umat adalah hak umat. Ia dilindungi sebagaimana dilindungi darah dan kehormatan. Rasulullah ï·º bersabda:
“Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Dalam sistem Islam, negara tidak punya kuasa sewenang-wenang untuk memblokir atau mengambil harta warganya. Pembatasan hanya boleh dilakukan jika ada bukti nyata bahwa harta tersebut berasal dari tindak pidana, dan itu pun melalui proses syar‘i yang adil dan transparan. Tidak ada cerita rekening dibekukan hanya karena “tidak aktif” atau alasan administratif semata.
Sejarah pemerintahan Islam di masa lalu menunjukkan betapa kuatnya prinsip ini. Khalifah memandang dirinya sebagai penjaga harta rakyat, bukan penguasa mutlak atasnya. Hak milik pribadi dijaga agar tidak diganggu, sebab mengganggu hak itu berarti menzalimi rakyat dan melanggar hukum Allah.
Kasus rekening terblokir ini seharusnya jadi bahan renungan: kita hidup di sistem yang bisa saja menutup akses kita terhadap harta kapan saja, tanpa proses pengadilan. Padahal, Islam menawarkan sistem yang menjamin keamanan harta umat, tanpa mengorbankan hak individu demi dalih keamanan semu.
Pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan hak-hak kita diatur seenaknya, jauh dari nilai-nilai Islam yang kita anut? Aturan-aturan seperti ini jelas tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, melainkan lebih menguntungkan pejabat dan segelintir elit.
Padahal, ada begitu banyak persoalan yang jauh lebih mendesak untuk segera ditangani: maraknya perzinaan dan kasus pemerkosaan, tingginya angka kejahatan, meningkatnya praktik korupsi, menurunnya kualitas pendidikan anak, merosotnya moral generasi muda, hingga menjamurnya judi online dan pinjaman online ilegal. Semua itu seharusnya menjadi prioritas, bukan malah memblokir rekening bank masyarakat hanya karena dianggap tidak aktif selama tiga bulan.
Kebijakan seperti ini justru menambah penderitaan rakyat, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit saat ini.
Maka, melihat begitu timpangnya fenomena ini, seharusnya sudah cukup bagi umat muslim untuk sadar bahwa kita butuh perubahan sistem yang bisa menyejahterakan rakyat dan menjaga harta, jiwa, dan agama kita hingga di masa anak cucu kita. Untuk itu, memperjuangkan penegakan syari'at Islam adalah hal yang sudah semestinya di tengah kekacauan masalah umat akibat buruknya sistem kapitalisme ini.
Via
Opini
Posting Komentar