IBRAH
Merdeka Rasa, Bukan Merdeka Raga
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Bulan Agustus adalah bulan yang didaulat sebagai bulan kemerdekaan Negara Indonesia karena di bulan ini Negara Indonesia terlepas dari penjajah.
Namun, yakinkah kita sudah merdeka?
Kebanyakan dari kita mengartikan kemerdekaan itu adalah kebebasan berpendapat, terbebas dari belenggu penjajah, raga tidak terpenjara, kaki melangkah bebas ke manapun tanpa ada larangan, dan hidup seenaknya tanpa aturan.
Padahal, walaupun raga dipenjara oleh berbagai aturan, jika jiwa merasa tenang, dan hati selalu bersyukur maka itulah yang dinamakan merdeka.
Seperti kisah Zaid bin Haritsah, anak angkat Rasulullah saw. Zaid sebelum menjadi anak angkat Rasululullah saw. adalah budak laki-laki dari ibunda Khadijah. Ia sangat bahagia bisa melayani majikannya, seorang ibu yang lembut itu. Apalagi setelah menikah dengan Rasululullah saw. Ia merasa sangat beruntung, karena bisa menjadi saksi bagaimana Islam dibangun, dan ia pun menjadi golongan awal yang menjadi muslim.
Zaid memang statusnya budak, tetapi kegembiraan hatinya melebihi orang yang merdeka. Berikutnya, kisah tentang Bani Israil, yang dipenjara oleh kebiadaban Firaun. Mereka dicincang tanpa belas kasihan. Lalu Allah mengutus Nabi Musa as., dan menjadikan tongkatnya sebagai mukjizat. Kemudian Allah perintahkan Nabi Musa untuk membelah samudera dengan tongkat mukjizatnya itu, lalu Nabi Musa bersama Bani Israil pun menyeberangi samudera kering itu.
Namun, ujian tidak berhenti sampai di situ. Di tengah gurun mereka kelaparan, lalu Allah beri mereka makanan dari langit yaitu manna dan salwa, tidak perlu dimasak, tinggal makan, tetapi mereka tidak bersyukur.
Mereka merasa bosan dengan makanan itu dan mereka meminta apa yang bisa ditumbuhkan di muka bumi, yaitu sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang, dan bawang merah (QS Al-Baqarah, ayat 61).
Sudah diberi makanan surga malah meminta makanan murah. Begitulah Bani Israil dengan sifat rakusnya. Tidak pernah merasa puas apa lagi bersukur dengan apa yang sudah dimilikinya. Walaupun raga mereka merdeka dari kekejaman Firaun, tetapi jiwa mereka terpenjara oleh sifat tamak dan arogannya sampai sekarang.
Lalu bagaimana dengan kita sekarang. Apakah yakin sudah merdeka? Sementara hati masih dipenjara dengan nafsu syahwat dunia. Kita masih mempunyai rasa kecewa ketika tulisan tidak ada yang membaca. Masih dipenjara dengan pertanyaan "kenapa?" ketika keinginan tidak sesuai apa yang diharapkan, masih ada sedikit kecewa ketika dakwah hanya didengar, dan tidak dilaksanakan oleh ummat. Padahal kita hanya ditugaskan Allah untuk menyampaikan saja, bukan ditugaskan agar menjadikan ummat menjadi shaleh dan shalehah.
Itu sebabnya, kenapa lagu "Indonesia Raya" berseru "bangunlah jiwanya" tidak dimulai dengan "bangunlah raganya", karena buat apa raga perkasa, sedangkan jiwa tak berdaya.
Jadi hakikat merdeka yang sebenarnya adalah, ketika jiwa merasa tenang, damai serta hati bahagia. Menerima segala aturan Allah dengan suka cita, tidak berharap pujian, tidak berharap menjadi yang terbaik dari orang lain, dan merasa cukup dengan semua pemberian Allah, serta bersyukur.
Karena merdeka yang sebenarnya adalah merdeka jiwa dan merdeka rasa, bukan merdeka raga.
Wallahu 'alam bissawwab.
Via
IBRAH
Posting Komentar