Opini
Kurikulum Berbasis Cinta, Narasi Manis untuk Menanamkan Pluralisme
Oleh: Rus Ummu Nahla
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Belum lama ini, Kementerian Agama (Kemenag) resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta, sebagai gagasan baru dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia, yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Kurikulum Berbasis Cinta dibangun di atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yaitu: Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada diri dan sesama, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa dan negeri.
Peluncuran ini digelar di Asrama Haji Sudiang Makassar. Menurut Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, Kurikulum Berbasis Cinta hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan (Republika.co.id, 26-07-2025).
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sekilas tampak positif, seolah membawa angin segar bagi dunia pendidikan Islam. Namun, benarkah kurikulum yang dibungkus dengan narasi cinta ini benar-benar bertujuan membentuk generasi yang lebih baik? Ataukah justru menyimpan agenda terselubung dibalik narasi cintanya?
Sebagai umat Islam, tentu kita tidak boleh menerima begitu saja setiap gagasan tanpa menelaah terlebih dulu konsep baru yang diusung oleh pihak penguasa tersebut, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Bahkan gagasan tersebut jika melenceng dengan prinsip Islam atau merusak akidah umat, maka gagasan ini wajib ditolak.
Jika dicermati, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sejak awal perumusan terindikasi mengarah kepada penanaman nilai-nilai pluralisme terhadap anak-anak didik sejak dini, salah satu contohnya adalah pada saat pelatihan guru yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama di beberapa daerah, para pendidik didorong agar mampu menanamkan kepada anak-anak didik untuk mencintai keberagaman agama dan dapat bersikap lemah lembut terhadap nonmuslim, namun di sisi lain malah menanamkan sikap negatif terhadap sesama muslim yang taat syariat Islam dengan melabeli mereka dengan istilah radikal dan intoleran. Padahal seharusnya tidak boleh ada dikotomi antara sesama muslim dengan istilah intoleran dan radikal, yang jelas ungkapan ini mengarah kepada perpecahan sesama muslim.
Di samping itu, kurikulum berbasis cinta sangat bertentangan dengan prinsip Islam. Hal ini bisa di lihat dari dimasukannya pluralisme dalam kata cinta. Dengan kata lain KBC hanya membungkus sebuah ide agar ide tersebut bisa diterima, dengan menyalahi arti cinta menurut seorang muslim. Dalam Islam menanamkan dan menumbuhkembangkan cinta itu perlu, hanya saja cinta yang di maksud adalah cinta yang sesuai standar syariat Islam.
Mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mencintai sesama kaum muslimin karena dasar keimanan itu wajib dan disyariatkan, sedangkan mencintai nonmuslim dengan membenarkan agamanya itu adalah sikap keliru dan hal ini sangat prinsipil bagi kaum muslimin.
Adapun krisis kemanusiaan dan degradasi moral yang terjadi saat ini, lebih disebabkan sekularisme yang diterapkan oleh negara, bukan disebabkan muslim yang taat syariat dan ingin diatur oleh syariat Islam secara kafah.
Terang, kurikulum berbasis cinta wajib ditolak karena bagian dari agenda deradikalisasi dan penanaman ide yang membenarkan semua agama. Demikianlah dalam sistem sekuler, pendidikan senantiasa digiring agar anak didik memiliki pola pikir dan kehidupannya sekuler.
Berbeda halnya dengan Islam, kurikulum dalam sistem Islam dibangun di atas asas akidah Islam, karena akidah merupakan pondasi kehidupan sekaligus dasar bagi negara. Sejak usia dini, anak-anak didik diajarkan untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, dan mencintai Rasul-Nya, agar mereka menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan Sang Pencipta.
Kurikulum dalam negara Islam juga dirancang secara menyeluruh untuk mewujudkan generasi unggul dan cemerlang, tidak hanya dalam bidang agama, seperti melahirkan ulama, ahli fikih, dan cendekiawan Islam, tetapi juga melahirkan para ilmuwan dibidang sains, teknologi dan ilmu-ilmu dibidang lainnya.
Tentunya kurikulum berbasis akidah Islam tidak bisa diwujudkan dalam sistem sekulerisme-kapitalisme yang menjunjung tinggi paham kebebasan dalam setiap aspek kehidupan seperti saat ini.
Hanya dalam sistem Islam di bawah kepemimpinan umum kaum muslimin (Khilafah), kurikulum yang berlandaskan akidah Islam dapat direalisasikan secara menyeluruh. Melalui sistem ini, akan lahir generasi cemerlang dambaan umat, yakni generasi yang bertakwa, berilmu, dan siap memimpin peradaban.
Wallahu ‘alam bis shawwab..
Via
Opini
Posting Komentar