Opini
Kasus Zara Malaysia, Ketika Bullying Merenggut Nyawa
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Publik internasional dibuat heboh dengan adanya kasus viral dengan tagar "Justice For Zara" dari Malaysia yang ditemukan meninggal akibat bullying. Kronologi bermula ketika Zara ditemukan di dalam selokan dekat asrama sekolahnya pada 16 Juli 2025 dalam keadaan kritis, lalu dinyatakan meninggal pada keesokan harinya setelah dilarikan ke rumah sakit dengan hilangnya fungsi otak.
Dugaan sementara ditemukannya Zara di selokan tersebut adalah akibat ia terjatuh dari lantai 3 di sekolahnya. Namun publik menduga hal ini akibat perundungan. Apalagi sang ibu menyampaikan bahwa ia menemukan banyak memar di punggung jenazah putrinya (Kompas.com, 20-8-2025).
Kasus Zara bukanlah anomali. Di Indonesia, dalam dua tahun terakhir, kita juga berkali-kali dihadapkan pada kematian pelajar yang diduga akibat perundungan. Misalnya, seorang bocah kelas 2 SD berusia 8 tahun di Indragiri Hulu, Riau, ditemukan meninggal dalam keadaan tidak wajar. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan berupa memar di beberapa bagian tubuh serta organ vital yang pecah, yang diduga kuat akibat bullying yang dialaminya (Riau.go.id, 27-5-2025).
Awal tahun 2025, kasus serupa juga terjadi pada seorang siswa SMP Negeri 1 Waway Karya, Kabupaten Lampung Timur. Ia menjadi korban penganiayaan teman sebaya yang berujung pada kematian (Jejakkriminal.com, 15-2-2025).
Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang Januari–September 2023 saja tercatat 23 kasus perundungan di institusi pendidikan, dengan 2 di antaranya berakhir tragis dengan kematian korban (Kumparan.com, 3-10-2023).
Fenomena ini ternyata bukan hanya terjadi di kawasan Asia Tenggara. Di Amerika Serikat, data The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat sekitar 4.000 kasus kematian akibat bunuh diri setiap tahunnya, dengan bullying sebagai salah satu faktor pemicu terbesar (Kumparan.com, 12-5-2017).
Kondisi serupa juga tampak di Korea Selatan. Survei tahun 2023 menunjukkan 2,2% dari 486.729 pelajar mengalami bullying, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir. Rinciannya: 4,6% siswa SD, 1,6% SMP, dan 0,4% SMA melaporkan menjadi korban. Bentuk bullying yang dialami meliputi kekerasan verbal (37,7%), kekerasan fisik (18,1%), dan perundungan kelompok (15,3%) (Banyuwangi.jawapos.com, 27-7-2025).
Kasus bullying yang berulang hingga merenggut nyawa bukanlah semata-mata akibat perilaku individu pelajar yang “nakal” atau “tidak berempati”. Jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya terletak pada sistem yang menaungi pendidikan hari ini, yaitu sekularisme dan kapitalisme.
Sekularisme memisahkan pendidikan dari nilai-nilai agama. Akibatnya, sekolah lebih banyak menekankan aspek akademis dan kompetisi, namun gagal membentuk akhlak, empati, dan kesadaran akan tanggung jawab moral. Murid diajarkan untuk pintar, tetapi tidak dibekali nilai hidup yang membangun kepribadian Islami atau humanis. Inilah yang menyebabkan perundungan dianggap “wajar” bahkan sering ditutup-tutupi sebagai kenakalan remaja biasa.
Di sisi lain, kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai industri. Sekolah bukan lagi tempat membentuk karakter, tetapi lebih sebagai ajang mencari prestise, gengsi, bahkan keuntungan finansial. Tekanan kompetisi, budaya senioritas, serta ketidakadilan dalam sistem sosial sekolah muncul sebagai efek samping. Hal ini menciptakan ruang subur bagi kekerasan dan perundungan, terutama ketika otoritas sekolah lebih sibuk menjaga citra daripada benar-benar melindungi anak didiknya.
Alarm Keras dan Solusi Islam
Oleh karenanya, perlu diperhatikan dengan serius bahwa kasus Zara di Malaysia maupun kasus bullying di Indonesia harus dilihat sebagai alarm keras bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan saat ini. Sehingga tanpa perubahan mendasar, kasus semacam ini akan terus berulang dan tak akan pernah selesai.
Sistem sekuler-kapitalisme menciptakan anak-anak yang tumbuh tanpa nurani, cenderung berbuat keji karena merasa tidak takut terhadap apapun. Terlebih jika pelaku merupakan anak dari orang-orang yang memiliki otoritas dan kekuasaan, maka kasus sering kali ditutup-tutupi, sementara korban dibiarkan tidak mendapatkan keadilan.
Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa menghentikan maraknya bullying kecuali dengan pergantian sistem. Dari sistem sekuler-kapitalisme yang rusak menuju sistem Islam yang berlandaskan akidah. Dalam sistem Islam, pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia berkepribadian mulia, dengan ikatan kuat pada nilai ketakwaan. Setiap anak dididik bukan hanya untuk cerdas, tetapi juga memiliki akhlak mulia dan rasa takut kepada Allah dalam setiap tindakan.
Selain itu, Islam memiliki pembagian yang sangat jelas terkait kategori manusia, yakni hanya ada dua: sebelum baligh dan setelah baligh. Pembagian ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak dan remaja.
Dalam sistem sekuler saat ini, anak-anak yang sudah berusia baligh namun masih dikategorikan sebagai “di bawah umur” sering kali merasa bebas berbuat sewenang-wenang tanpa memikirkan akibatnya. Sebab hukum positif sering kali tidak berlaku penuh atas mereka. Padahal secara syariat, anak yang sudah baligh sudah memiliki tanggung jawab penuh atas perbuatannya.
Berbeda dengan Islam. Jika pelaku bullying masih belum baligh, maka tanggung jawab jatuh kepada orangtuanya. Namun jika pelaku sudah baligh, maka hukum berlaku sama seperti orang dewasa lainnya. Misalnya, jika ia melakukan penganiayaan hingga membunuh, maka hukumnya adalah qisas (nyawa dibalas nyawa).
Hukuman tegas dalam Islam ini memberi efek jera yang nyata. Orang akan berpikir berkali-kali lipat sebelum berani melakukan penganiayaan, termasuk bullying. Dengan demikian, Islam bukan hanya membangun akhlak sejak dini melalui pendidikan, tetapi juga menutup rapat peluang terjadinya kezaliman dengan hukum yang adil dan tegas.
Via
Opini
Posting Komentar