Opini
Jebakan Dagang Amerika: Indonesia Perlu Waspada, Bukan Berbangga
Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah Indonesia kembali menjalin kesepakatan besar dengan Amerika Serikat (AS) dalam bidang perdagangan. Dalam momen yang disebut-sebut sebagai “Liberation Day” oleh Presiden Donald Trump, AS sepakat mencabut Generalized System of Preferences (GSP) dan tarif bea masuk terhadap sejumlah produk Indonesia. Sebagai imbalannya, Indonesia memberikan kepastian hukum untuk pemindahan dan pemrosesan data pribadi warganya oleh entitas Amerika, serta sejumlah komitmen dagang strategis lainnya.
Bagi sebagian kalangan, kesepakatan ini dianggap sebagai terobosan positif. Indonesia disebut akan lebih mudah mengekspor produk ke AS, dari alas kaki hingga komponen elektronik. Namun di balik narasi optimisme itu, tersimpan sejumlah persoalan mendalam yang harus kita pahami dan cermati secara kritis. Sebab jika tidak, bangsa ini hanya akan menjadi pion dalam permainan geopolitik dan ekonomi global, kehilangan kedaulatannya demi ilusi keuntungan sesaat.
Ketimpangan Berulang
Mari kita lihat fakta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencapai sekitar 29 miliar dolar AS. Sementara nilai impor dari AS hanya sekitar 10 miliar dolar AS. Ini membuat Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan AS. Namun, surplus ini sejatinya tidak menjamin keuntungan struktural bagi Indonesia. Mengapa? Karena sebagian besar produk ekspor Indonesia masih berupa barang setengah jadi dan hasil alam murah, bukan barang dengan nilai tambah tinggi.
Sebaliknya, barang-barang yang kita impor dari AS banyak yang berupa produk teknologi tinggi dan alat industri. Dalam jangka panjang, pola dagang seperti ini justru menguntungkan negara maju dan membuat Indonesia tetap berada dalam posisi subordinat. Apalagi, kini kesepakatan itu juga mengorbankan isu vital lain: data rakyat Indonesia.
Menurut laporan CNBC Indonesia (24-7-2025), sebagai kompensasi dari penghapusan tarif, Indonesia akan mengizinkan AS mengakses dan memindahkan data pribadi warga negara Indonesia ke yurisdiksi AS, dengan dalih kesetaraan hukum perlindungan data. Ini jelas berbahaya. Di tengah maraknya penyalahgunaan data global, Indonesia justru membuka pintu yang sangat lebar bagi dominasi asing dalam pengelolaan informasi strategis warganya.
Mengapa Indonesia Mudah Disetir?
Jika kita telusuri, penyebab utama mengapa Indonesia begitu mudah tunduk pada tekanan negara adidaya seperti AS adalah karena sistem ekonomi yang dianut negeri ini: kapitalisme neoliberal. Dalam sistem ini, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator kepentingan korporasi. Kekayaan alam dilepas ke pasar global. Data rakyat pun tak lebih dari komoditas yang bisa dinegosiasikan demi kepentingan investasi atau diplomasi.
Negara tidak lagi berdiri di atas asas kedaulatan rakyat sejati, tapi bertumpu pada hitungan pasar, peringkat lembaga pemeringkat utang, dan rating dari investor asing. Dalam konteks ini, kesepakatan dagang AS–RI yang baru bukanlah keberhasilan diplomatik, tapi justru bentuk keterjajahan modern dalam balutan kesepakatan resmi.
Apalagi, dalam sejarah panjang perjanjian dagang antara negara-negara dunia ketiga dan Barat, selalu terbukti bahwa yang diuntungkan adalah pihak yang lebih kuat. Lihat saja bagaimana NAFTA membuat petani Meksiko terpuruk, atau bagaimana Trans-Pacific Partnership (TPP) ditentang banyak negara karena menjebak mereka dalam dominasi regulasi perusahaan multinasional.
Hilangnya Kedaulatan Digital
Ketika data pribadi rakyat bisa diakses dan diolah oleh negara lain, maka kedaulatan digital Indonesia lenyap. Ini bukan soal teknis, tapi soal strategis. Data bukan sekadar informasi, tapi senjata masa depan. Ia bisa dipakai untuk mengontrol perilaku konsumen, mengarahkan opini publik, bahkan untuk kepentingan intelijen dan geopolitik.
Dalam Islam, menjaga informasi rakyat adalah bagian dari tanggung jawab negara. Negara tidak boleh membiarkan entitas asing—terutama dari negara penjajah—menguasai sumber daya strategis umat, termasuk data dan kekayaan alam. Allah Swt. berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin.” (TQS. An-Nisa: 141)
Kesepakatan dagang yang membuka akses data justru bertentangan dengan prinsip ini. Maka, solusi sejati bukanlah perbaikan kebijakan satu per satu, melainkan perubahan sistemik menyeluruh.
Sistem Ekonomi Mandiri dan Politik Bebas Penjajahan
Islam menawarkan solusi ideologis dan praktis atas masalah ini. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), perdagangan antarnegara diatur secara adil dan tidak menimbulkan dominasi. Negara Islam bebas berdagang dengan negara kafir mu’ahid (yang memiliki perjanjian damai), namun tetap berhati-hati terhadap negara kafir harbi (seperti AS dan sekutunya saat ini), yang terbukti memusuhi umat Islam secara sistemik.
Khilafah juga tidak akan membuka akses sumber daya strategis, termasuk data, kepada pihak asing. Semua informasi rakyat dikelola negara secara independen, dan hasil pengelolaannya dipakai untuk kesejahteraan umat. Negara akan mandiri secara ekonomi karena kekayaan alam, seperti tambang, laut, dan hutan, dikelola langsung oleh negara, bukan dikapitalisasi oleh asing.
Dalam sejarah Islam, pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, umat Islam mampu mencapai kemandirian ekonomi dan politik yang luar biasa. Umat tidak perlu mengemis tarif dagang, karena negara berdiri di atas kekuatan produksi sendiri dan hubungan diplomatik yang terhormat.
Penutup
Kita tidak boleh terus-menerus terjebak dalam euforia kesepakatan yang sebenarnya merugikan. Sebab, ketergantungan pada Amerika Serikat tidak akan pernah membawa kedaulatan sejati. Kita hanya akan terus menjadi pasar dan obyek eksploitasi.
Sudah saatnya kita membangun paradigma baru, yakni dengan kembali pada sistem Islam yang kaffah. Sistem yang menjadikan umat sebagai pemilik kekuasaan, negara sebagai pelindung dan pelayan rakyat, serta Islam sebagai sumber kebijakan. Hanya dengan itulah kita bisa membebaskan diri dari jebakan dagang, penjajahan digital, dan ilusi kedaulatan.
“Barangsiapa menginginkan kemuliaan, maka bagi Allahlah segala kemuliaan…” (TQS. Fathir: 10)
Maka, jika kita ingin kemuliaan dan kedaulatan sejati, jangan gantungkan harapan pada AS atau kesepakatan semu, tapi pada penerapan Islam sebagai sistem yang adil dan mandiri.
Via
Opini
Posting Komentar