Opini
Di Balik Angka: Mengurai Akar Maraknya Kasus Pemerkosaan
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kasus pemerkosaan di Indonesia kini kian mengkhawatirkan. Data BPS mencatat 1.443 kasus pada 2022, naik 24% dari tahun sebelumnya (1.164 kasus). Sementara sejak Januari hingga 14 Juni 2025 tercatat laporan kasus kekerasan pada anak dan perempuan yang masuk sebanyak 11.800, dengan kasus terbanyak kasus kekerasan seksual (kompas.com, 10-7-2025).
Tak hanya perempuan dewasa yang menjadi korban, bahkan kini anak dan balita juga tak lepas dari perilaku amoral ini. Seperti yang dialami oleh seorang balita berusia 3 tahun yang dicabuli oleh kakeknya di Bangka Barat, Bangka Belitung (News.detik.com, 5-7-2025).
Kasus lain, seorang siswi SD diperkosa oleh ayah tirinya hingga hamil 5 bulan, di Kota Tepian, Samarinda.(Jurnalborneo.com, 21-4-2025).
Selain anak dan dewasa, maraknya kasus pemerkosaan ini juga turut membuat was-was kaum nenek-nenek yang sudah lanjut usia. Pasalnya kasus pemerkosaan belakangan juga dialami oleh nenek-nenek. Seperti yang dialami oleh seorang nenek berusia 61 tahun di Dempo Selatan, Pagaralam, yang diperkosa oleh pemuda tak dikenal (Sumselupdate.com, 11-7-2025).
Pelaku pemerkosaan pun kian meluas, yang tak hanya orang biasa, namun juga oleh anak-anak, bahkan dari berbagai latar belakang profesi, seperti polisi, ustadz, guru, dosen, bahkan dokter spesialis (Idntimes.com, 11-4-2025).
Mengapa hal ini makin marak terjadi?
Beberapa ahli menjabarkan penyebab mengapa kasus pemeriksaan, di antaranya adalah:
1. Budaya dan norma sosial
Di mana akibat budaya ini, korban kerap kali takut melapor. Stigma tidak perawan akan menjadi cibiran bahkan menentukan layak tidaknya seorang wanita diperistri.
2. Penyalahgunaan kekuasaan oleh pelaku
Pelaku datang dari kalangan mapan—oknum polisi, dokter, dosen, akademisi—yang memanfaatkan status dan posisi untuk menghindar.
3. Proses hukum yang lamban dan hukuman ringan
Study survei pada 199 kasus pemerkosaan di tahun 2022 hingga Maret 2025 menunjukkan rata-rata hukuman cuma 7 tahun 3 bulan, jauh dari ancaman maksimum 12 tahun. Permohonan keringanan sering diterima, apalagi jika pelaku anak di bawah umur (Kompas.id, 15-4-2025).
4. UU TPKS belum berjalan efektif
UU TPKS (No. 12/2022) dirancang sebagai payung hukum untuk melindungi korban dan memperkuat pencegahan. Namun implementasinya masih terbatas, dan aparat belum sepenuhnya memanfaatkan aturan ini.
Padahal, keempat penyebab di atas jika kita uraikan kembali akan merujuk pada 1 titik, yakni rusaknya sistem yang diterapkan oleh negara pada hari ini, yakni sistem sekuler-kapitalisme.
Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga nilai halal–haram tidak lagi menjadi standar. Seks bebas dianggap wajar selama "suka sama suka", sementara pendidikan seks hanya sebatas "aman", bukan menjaga kehormatan.
Di sisi lain, kapitalisme menjadikan tubuh—terutama tubuh perempuan—sebagai komoditas. Industri hiburan, iklan, hingga media sosial dipenuhi konten yang mengeksploitasi sensualitas. Akibatnya, naluri seksual terus dirangsang, tapi pemenuhan secara halal dipersulit. Inilah yang mendorong banyak orang mencari “pelampiasan” secara paksa, seperti pemerkosaan.
Sistem hukum sekuler juga lemah dan kompromistis. Banyak pemerkosa dihukum ringan, korban dipersulit dalam pelaporan, dan hukum tidak memberikan efek jera. Semua ini diperparah dengan ketimpangan sosial ala kapitalisme, yang menjadikan perempuan miskin lebih rentan menjadi korban eksploitasi seksual.
Berbeda apabila sistem yang diterapkan oleh negara adalah sistem Islam. Islam tak hanya sebagai agama spiritual individu, tetapi juga agama rahmatan lil 'alam yang memuat sistem aturan hidup manusia di dunia dengan segala solusi tuntasnya.
Sistem Islam tak hanya menawarkan solusi bagaimana cara menanggulangi kasus pemerkosaan, tetapi juga ada tindakan preventif yang dilakukan pemerintah untuk menjaga masyarakat dari potensi kasus pemerkosaan.
1. Tindakan preventif Islam meliputi kurikulum pembelajaran di sekolah yang berbasis akidah. Penguatan akidah ini yang membentuk ikatan kuat antara individu manusia dengan Tuhannya. Memahami siapa dirinya, darimana ia berasal dan akan kemana selanjutnya setelah kematian.
Pendidikan semacam ini membentuk masyarakat untuk bersikap senantiasa berhati-hati dalam hidup, sehingga jangankan melakukan pemerkosaan, bahkan dosa kecil pun akan berusaha dihindari, meski dalam kenyataannya manusia sangat sulit lepas dari dosa.
2. Tindakan preventif berikutnya adalah hidupnya budaya amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Adanya ini sangat membantu mencegah seseorang melakukan keburukan, karena akan tahu sanksi sosial yang diterimanya.
3. Berikutnya adalah tindakan preventif yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah atau Khalifah akan memberikan aturan ketat dengan memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali di beberapa keadaan, seperti rumah sakit, pasar, dan dunia pendidikan. Itupun dengan beberapa catatan. Pemisahan ini sangat efektif membantu mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan dosa seperti pemerkosaan.
Selain pemisahan, dalam berpakaian juga diatur oleh negara. Pemerintah secara tegas melarang kaum wanita berpakaian yang memperlihatkan auratnya hingga bisa menarik perhatian dan nafsu syahwat laki-laki.
Kemudian, dari sisi penjagaan, pemerintah benar-benar protektif menjaga masyarakat dari masuknya informasi negatif yang bisa merusak. Seperti pornografi dan sejenisnya. Sehingga masyarakat tidak mudah terpapar oleh informasi yang dapat merangsang syahwatnya.
Terakhir, tindakan preventif dari pemerintah adalah tegasnya hukum yang ditegakkan. Bila pelaku pemerkosaan belum menikah maka akan dicambuk 100 kali, dikucilkan dan diasingkan. Sedangkan apabila pelaku pemerkosaan sudah pernah menikah, maka hukumnya lebih buruk lagi, yakni hukuman mati dengan cara dilempari batu dan disaksikan oleh seluruh masyarakat.
Tindakan preventif di atas selain menjadi solusi untuk kasus pemerkosaan dari sisi Islam, juga sebagai efek jera bagi masyarakat agar takut melakukan kemaksiatan.
Melihat perbedaan di atas yang begitu jelas, maka sebagai umat muslim sudah sepantasnya untuk memperjuangkan penegakan hukum Islam agar tak hanya menjadi solusi dari maraknya kasus pemerkosaan, tetapi juga untuk menjaga generasi dari kerusakan moral di kemudian hari.
Wallahu 'alam bissowwab.
Via
Opini
Posting Komentar