Opini
Stok Beras Melimpah tapi Rakyat Makin Susah
Oleh: Gesti Hamdani Haeriah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Sepenggal lirik lagu yang menggambarkan betapa kayanya negeri Indonesia. Namun sayang, kekayaan itu justru nampak seperti ironi ketika kita menengok realitas pengelolaan pangan hari ini.
Menurut data terbaru, lebih dari 130 kabupaten/kota mengalami lonjakan harga beras pada pekan kedua Juni 2025, bahkan, harga telah melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi). Hal tersebut menyebabkan beban hidup rakyat kecil makin berat (Bisnis.com, 17 Juni 2025).
Yang membuat miris, kenaikan ini bukan karena kelangkaan. Sebaliknya, stok beras justru diklaim melimpah. Namun, kebijakan yang mewajibkan Perum Bulog menyerap gabah dalam jumlah besar malah menimbulkan penumpukan stok di gudang. Akibatnya, distribusi ke pasar terganggu dan harga terus merangkak naik. Ironi ini terjadi nyaris setiap tahun, tanpa solusi mendasar.
Kondisi ini memperlihatkan wajah asli tata kelola pangan dalam sistem kapitalisme: tidak berpihak pada rakyat, apalagi petani kecil. Sebaliknya, seluruh kebijakan tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite ekonomi. Dalam sistem kapitalisme, pangan dianggap bukan sebagai hak dasar bagi rakyat, melainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan semata.
Negara dalam sistem ini hanya menjadi “pengatur lalu lintas” regulasi, bukan pelindung yang menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat. Maka saat harga melonjak, yang disalahkan adalah pasar, cuaca, atau logistik, bukan sistem pengelolaannya. Solusi yang ditawarkan pun hanya tambal sulam: operasi pasar, impor sesaat, atau revisi kebijakan. Namun akar persoalan tetap dibiarkan.
Lalu siapa yang seharusnya menjamin pangan rakyat? Dalam sistem Islam, jawabannya jelas: negara. Islam telah mewajibkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, terutama pangan. Dalam sistem Khilafah, negaralah yang bertindak sebagai pelayan dan pelindung umat. Negara pula yang akan mengelola produksi, distribusi, serta cadangan pangan secara langsung, bukan begitu saja diserahkan pada mekanisme pasar bebas.
Negara juga memberikan dukungan penuh kepada petani: dari subsidi bibit, pupuk, hingga sarana produksi lain secara cuma-cuma. Ini dilakukan agar produksi pangan berkualitas tetap terjamin, sementara petani tidak terbebani biaya tinggi. Penimbunan dilarang keras, dan distribusi dijamin merata agar harga tetap stabil.
Yang menarik, Islam tidak mematok harga secara paksa. Harga diserahkan kepada mekanisme pasar alami selama tidak ada penipuan atau monopoli. Negara menjaga kebersihan pasar dari distorsi, bukan menetapkan harga seenaknya. Pendekatan ini terbukti lebih stabil dan adil.
Inilah perbedaan fundamental antara sistem Islam dan kapitalisme. Jika kapitalisme menyerahkan nasib rakyat pada pasar dan pemilik modal, maka Islam menjadikan negara sebagai penanggung jawab langsung atas kesejahteraan umat.
Karena itu, solusi terhadap krisis pangan ini bukanlah pada perbaikan teknis atau kebijakan jangka pendek. Solusinya terletak pada perubahan sistemik. Kita butuh sistem yang menempatkan kebutuhan rakyat di atas keuntungan ekonomi yaitu sistem Islam.
Sudah saatnya kita berhenti hanya mengeluh soal harga beras, seperti orang yang terus menguras air dari kapal bocor tanpa pernah menambal kebocorannya. Mari kita renungkan: akar dari semua ini adalah sistem hidup yang salah. Jika kita menginginkan perubahan nyata dan berpihak pada rakyat, maka kita perlu memperjuangkan hadirnya sistem yang benar yakni sistem Islam.
Via
Opini
Posting Komentar