Opini
Menghadang State Capture: Mewujudkan Pemerintahan Bersih dengan Prinsip Islam
Oleh: Isma Adiba
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Kasus korupsi kembali merusak citra penegakan hukum di Indonesia. Kali ini, Kejaksaan Agung mengungkap kasus besar yang melibatkan Wilmar Group, salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia, terkait izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) pada 2022. Dalam penyelidikan, Kejaksaan agung menyita nominal korupsi mencapai Rp11,8 triliun dari lima anak perusahaannya.
Adanya indikasi suap terhadap pejabat negara semakin memperlihatkan betapa pemodal besar memiliki pengaruh kuat dalam kebijakan pemerintah. Meski pengadilan sempat memutuskan bebas dari tuntutan hukum, proses hukum terus berlanjut hingga tingkat kasasi. Wilmar sendiri menyatakan kesiapannya untuk berkoordinasi dengan pihak berwajib sambil mempertahankan reputasinya sebagai pelaku utama industri sawit global (BeritaSatu.com, 18 Juni 2025).
Merespons kasus ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pernyataan tegas: Indonesia sedang menghadapi ancaman serius bernama ‘state capture’. Istilah ini menggambarkan kolusi antara pemilik modal dan pejabat negara, yang mengakibatkan kebijakan publik cenderung menguntungkan segelintir elit dan menghambat keadilan sosial. Presiden menekankan pentingnya filosofi ekonomi berbasis nilai luhur bangsa, serta pendekatan yang menggabungkan prinsip sosialis dan kapitalis untuk mengatasi kemiskinan dan melindungi masyarakat kecil. Menurutnya, pemerintahan yang bebas korupsi adalah syarat mutlak untuk mencapai kemajuan yang merata (Kumparan.com, 20 Juni 2025).
Namun, pertanyaan mendasar muncul: mampukah sistem demokrasi kapitalistik sekuler yang dianut saat ini benar-benar bisa memberantas korupsi dan state capture? Nyatanya, sistem ini justru memicu praktik politik transaksional. Calon pemimpin membutuhkan dana besar untuk berkampanye, sehingga muncul para penyandang dana yang mengharapkan imbal kebijakan. Dalam struktur seperti ini, sulit menghindari kenyataan bahwa kekuasaan sering terikat dengan kepentingan pemodal, bahkan sejak awal proses pencalonan.
Kondisi ini menciptakan siklus kekuasaan yang dikendalikan uang. Politik menjadi ajang permainan elit ekonomi, sementara suara rakyat hanya dijadikan alat kampanye. Tak heran jika kebijakan publik kerap tidak adil, karena lebih menguntungkan segelintir pemilik modal.
Islam menawarkan solusi sistemik yang berbeda. Dalam perspektif Islam, akidah bukan sekadar urusan ibadah individu, melainkan pondasi kehidupan bernegara. Kekuasaan dipandang sebagai amanah, bukan kesempatan memperkaya diri.
Rasulullah ï·º bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban." (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam sistem Islam, pemimpin wajib bersikap adil, jujur, dan mengutamakan kemaslahatan rakyat karena sadar bahwa setiap kebijakan akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Islam tidak hanya mengandalkan nilai moral, tetapi juga mekanisme tegas untuk mencegah terjadinya korupsi. Hukuman yang jelas, pengawasan sosial melalui amar ma’ruf nahi munkar, serta pembentukan karakter bertakwa menjadi penghalang internal bagi setiap individu.
Rasulullah ï·º bersabda, "Siapa pun yang kami tunjuk sebagai pejabat, lalu ia menyembunyikan harta sekecil apa pun, maka itu termasuk pengkhianatan yang akan dibawanya di hari kiamat." (HR. Muslim).
Dengan sistem seperti ini, akan menyulitkan korupsi sistematis seperti state capture. Negara tidak lagi dikuasai segelintir elit, tetapi dijalankan berdasarkan hukum Allah yang menjamin keadilan bagi semua. Oleh karena itu, solusi mengatasi korupsi dan state capture bukan hanya sekadar perbaikan administratif atau pergantian pemimpin. Yang diperlukan adalah transformasi sistem dan ideologi—beralih dari sistem sekuler yang rapuh menuju sistem yang kuat secara nilai dan prosedur. Islam, sebagai sistem yang adil, telah membuktikan kemampuannya menciptakan masyarakat adil dan sejahtera ketika diterapkan secara utuh dalam sejarah peradaban.
Skandal Wilmar dan pernyataan Presiden tentang state capture harus menjadi pengingat sekaligus momentum kita untuk mengevaluasi sistem yang berlaku. Sudah waktunya Islam tidak hanya dipandang sebagai agama ritual, tetapi juga sebagai solusi tata kelola negara yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Via
Opini
Posting Komentar