IBRAH
Perbaiki Diri dari Tulisan Sendiri
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Selesai salat dan zikir, Fatimah tidak langsung beranjak dari sajadahnya. Ia merenung dan bertanya pada dirinya sendiri. ‘Apa yang engkau dapati dari tulisanmu sendiri?’ Ia menjawab pertanyaannya sendiri dengan bibir yang gemetar, ‘Belum, aku belum mendapatkan apa-apa dari tulisanku sendiri.’ Air matanya pun keluar liar.
Fatimah beranjak, lalu mengambil gawainya dan membaca naskah-naskah hasil karyanya. Bukan bangga yang ia rasa, tetapi "malu". Malu terhadap tingakah lakunya yang belum rapi serapi tulisan-tulisannya, malu terhadap lisannya yang masih belum lancar dalam mengucapkan makna yang tergantung dalam hadis atau Al-Quran, selancar ia menulis dalil dalam naskah dakwahnya.
Lalu, apa tujuannya menulis? Apakah hanya ingin validasi terhadap dunia? Apakah hanya sekadar menyalurkan hobi saja? Setelah menjadi seorang penulis, sudahkan dirinya sekarang menjadi lebih baik dari dirinya yang dulu?
Fatimah sesenggukan. Ia sedih dan marah pada dirinya sendiri yang sampai saat ini masih diam dalam kebiasaan dan karakternya yang kurang baik. Dirinya merasa menjadi seorang penipu. Menipu penglihatan orang lain yang melihatnya sebagai orang baik dan sebagai penulis dakwah. Padahal, ia masih jauh dari kata "baik" apalagi dari sebutan sebagai "pegiat dakwah". Ia merasa menipu mereka yang selalu menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengannya, hanya karena ia menutup auratnya dengan sempurna dan menjadi pembimbing anak-anak mereka di jalan Allah.
Hati Fatimah hancur. Ia menyadari, bahwa ia disegani dan dihormati bukan karena kebaikannya, penampilannya ataupun karena ilmunya, tetapi karena Allah menutup semua aib-aibnya. Andaikan saja Allah membuka aibnya, maka tidak seorang pun mau menghargainya.
.
Air matanya tak berhenti, seolah ingin puas melepaskan semua rasa malu pada Allah dan gelar yang disematkan oleh orang lain pada dirinya.
Setelah lama ia duduk sambil terus belajar mengintropeksi diri, ia baru tahu, bahwa di dalam dirinya tidak ada ruang sedikit pun, tidak ada pena dan tinta setetes pun untuk menulis naskah kejelekan orang lain, tidak ada waktu untuk menilai salah orang lain. Yang ada, hanya tema-tema seputar akhlak dirinya yang belum sempurna dan karakter tidak baik yang merusak citranya yang harus ia tulis.
Pantaskah aku menjadi seorang penulis?
Pantaskah aku berdakwah?
Sedangkan akhlak sendiri pun masih harus terus diperbaiki.
Pertanyaan itu terus mengusik fisik dan mengganggu relungknya. Terbesit seketika ia ingin berhenti menulis, ingin berhenti dakwah, ingin memperbaiki akhlaknya dulu untuk meniti jalan menuju shalehah. Setelah ia merasa pantas, barulah akan berdakwah.
Namun, tiba-tiba ia teringat beberapa nasihat.
Jika kamu mau beramal menunggu ikhlas dulu, maka kamu tidak akan pernah bisa beramal.
Jika kamu mencari guru yang mengamalkan semua ucapannya atau tulisannya, maka kamu akan bodoh selamanya.
Jika kamu menunggu amalmu menjadi baik dulu untuk berdakwah, maka kamu tidak akan bisa berdakwah selamanya.
Fatimah menghela napas. Ia menyadari bahwa berdakwah tidak harus menunggu akhlak sempurna dulu. Karena sejatinya tidak ada manusia yang berakhlak sempurna kecuali Rasulullah saw.
Ia terus menulis dakwah lewat tulisannya, ia giat mendalami ilmu agama, rajin membaca buku seputar dunia dakwahnya, dan terus mencari teman yang bisa menjadi pengingat dalam kebaikan.
Ia membaca, lalu ia menulisnya, dan hasil tulisannya ia baca berulang-ulang, sampai-sampai ia hapal semua isi tulisannya. Pelan ia resapi, serta ia jalani semua bait-bait dalam tulisan naskah dakwahnya.
"Bismillah... Ya Allah beri kekuatan aku agar bisa terus menulis, dan berdakwah. Jadikan tulisanku menjadi guru untuk diriku sendiri dalam menjalani kehidupan menuju rida-Mu. Aamiin," gumamnya.
"Bacalah, dan tulislah!"
"Tulislah, dan bacalah!"
Kalimat itu menjadi quote dalam hidupnya.
Kini, Fatimah selalu bersemangat dalam menulis dakwah-dakwahnya. Karena ia yakin bahwa jika seseorang terus menerus mengucapkan dan menuliskan kebaikan, maka lambat laun kebaikan itu akan meresap kepada dirinya dan menjadi kebiasaan dalam akhlak kesehariannya.
Via
IBRAH
Posting Komentar