Opini
Krisis Thailand-Kamboja dan Ilusi Perdamaian Nasionalisme
Oleh: Nettyhera
(Pengamat Politik Internasional)
TanahRibathMedia.Com—ASEAN kembali diuji. Kali ini bukan oleh pandemi atau krisis ekonomi global, melainkan oleh perang terbuka dua negara anggotanya: Thailand dan Kamboja. CNN Indonesia (24-7-2025) memberitakan bahwa kedua negara telah melancarkan serangan udara menggunakan jet tempur dan rudal ke wilayah perbatasan masing-masing. Saling klaim wilayah, yang awalnya hanya pada manuver militer dan perang kata-kata, kini berubah menjadi konflik bersenjata nyata.
Konflik ini bukan yang pertama. Thailand dan Kamboja pernah terlibat sengketa berdarah atas kompleks kuil Preah Vihear pada 2008–2011. Kini, sejarah berulang, tetapi dengan eskalasi yang jauh lebih tinggi. Di tengah konflik, rakyat menjadi korban. Infrastruktur hancur. Ketegangan meningkat. Yang lebih mengkhawatirkan, ini bisa menjadi batu loncatan bagi intervensi kekuatan asing di Asia Tenggara.
Akar Krisis: Nasionalisme dan Ambisi Wilayah
Jika ditelusuri, konflik Thailand-Kamboja tak lepas dari warisan kolonialisme yang membelah wilayah tanpa mengindahkan fakta sejarah dan etnisitas. Namun akar utamanya adalah nasionalisme—paham yang menjadikan batas negara sebagai harga mati. Kedua negara menolak mengalah demi "kebanggaan nasional", padahal nyawa rakyat dipertaruhkan.
Persoalan makin rumit ketika ketegangan ini dibungkus dengan agenda politik domestik. Pemerintah Kamboja yang otoriter dan militer Thailand yang kuat sama-sama berkepentingan untuk menunjukkan kekuatan dan menarik simpati rakyat melalui isu eksternal. Nasionalisme dijadikan bahan bakar konflik demi stabilitas kekuasaan.
Ancaman bagi ASEAN dan Perdamaian Kawasan
Konflik ini menjadi tamparan bagi ASEAN. Selama ini, organisasi regional ini membanggakan prinsip non-intervensi dan diplomasi damai. Namun fakta menunjukkan, prinsip itu tidak cukup untuk mencegah konflik terbuka antara anggotanya sendiri. Persatuan ASEAN retak, dan kredibilitasnya sebagai motor stabilitas regional dipertanyakan.
Pecahnya perang antarsesama negara ASEAN memperlihatkan lemahnya fondasi perdamaian di Asia Tenggara. ASEAN tak memiliki mekanisme pertahanan kolektif yang kuat. Bahkan, negara-negara anggota terkesan pasif dan saling menunggu reaksi dari kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat atau Tiongkok—yang tentu tidak netral dan memiliki kepentingan geopolitik masing-masing.
Menurut laporan Al Jazeera (24-7-2025), pertempuran memicu kekhawatiran di antara investor global dan menyebabkan arus modal keluar dari wilayah Mekong. Ketidakpastian ekonomi pun membayangi, terutama karena kawasan tersebut merupakan bagian dari jalur perdagangan penting bagi rantai pasokan dunia.
Potensi Intervensi Asing dan Bahaya Geopolitik
Kondisi ini membuka peluang intervensi kekuatan besar. Tiongkok memiliki pengaruh besar atas Kamboja, sementara Amerika Serikat memiliki hubungan militer erat dengan Thailand. Jika konflik terus memanas, bukan tidak mungkin kawasan ini akan menjadi ajang proxy war antar dua raksasa dunia, seperti yang terjadi di Ukraina.
Tentu, intervensi asing tidak pernah gratis. Setiap keterlibatan militer dari luar akan menambah penderitaan rakyat, memperpanjang konflik, dan menciptakan ketergantungan. Inilah skenario klasik yang selalu berulang di berbagai kawasan konflik: dari Suriah, Yaman, hingga Sudan. Kini, Asia Tenggara berisiko mengulang tragedi yang sama.
Solusi Islam: Perspektif Peradaban, Bukan Sekadar Perdamaian
Islam memandang konflik tidak sekadar persoalan teknis diplomasi atau klaim wilayah, tetapi sebagai buah dari sistem yang rusak: nasionalisme dan sekularisme. Islam tidak membenarkan peperangan atas dasar kebangsaan. Islam juga tidak membenarkan negara saling menyerang karena ambisi kekuasaan.
Dalam sistem Islam, wilayah perbatasan diatur berdasarkan keadilan, bukan nasionalisme sempit. Di bawah kepemimpinan Khilafah Islam, wilayah dikelola dalam bingkai satu umat, bukan entitas yang terpisah-pisah. Tidak ada "Thailand Islam" atau "Kamboja Islam", yang ada adalah wilayah kekuasaan Islam yang dipimpin oleh satu Khalifah, yang bertanggung jawab menjaga keamanan dan kehormatan seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim.
Ketika pernah terjadi ketegangan wilayah antara provinsi dalam daulah Islam di masa Khalifah Umar bin Khattab, persoalan tidak diselesaikan dengan senjata, melainkan musyawarah dan penegakan keadilan. Khalifah tidak berpihak kepada provinsi tertentu demi “nama negara bagian”, karena semua wilayah adalah bagian dari satu kesatuan umat. Tak ada ruang bagi kebijakan chauvinistik.
Islam juga mengharamkan intervensi asing atas wilayah Muslim, apalagi memberikan pangkalan militer atau izin penguasaan sumber daya. Sistem Khilafah menjadikan kekuatan militer sebagai pelindung umat, bukan sebagai alat penjajahan ekonomi atau proxy war.
Kegagalan Nasionalisme dan Refleksi bagi Umat
Konflik Thailand-Kamboja memberikan pelajaran penting. Nasionalisme bukan solusi damai, melainkan bibit konflik. Ia membelah manusia berdasarkan garis imajiner yang diciptakan kolonialisme. Ia menghapus persaudaraan lintas bangsa yang seharusnya tumbuh secara alami. Ia menyuburkan chauvinisme, dan akhirnya memicu perang.
Umat Islam harus sadar, bahwa sistem global hari ini yang dibangun di atas paham nasionalisme sekuler telah gagal menghadirkan perdamaian sejati. Bahkan dalam satu kawasan seperti ASEAN, nasionalisme justru menciptakan konflik horizontal. Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak lagi memuja sistem ini.
Solusi hakiki hanya bisa datang dari sistem yang memuliakan nilai kemanusiaan di atas kepentingan bangsa. Islam dengan sistem Khilafah bukan sekadar teori, tetapi pernah nyata menjadi kekuatan global selama 13 abad. Islam membuktikan, bahwa umat manusia bisa hidup damai dalam satu naungan hukum, satu pemimpin, dan satu visi: mengabdi kepada Allah dan menjaga bumi dengan keadilan.
Penutup
Konflik Thailand-Kamboja adalah alarm keras bagi dunia, khususnya Asia Tenggara. Di balik dentuman senjata, terselip pesan penting: sistem nasionalisme dan sekularisme telah gagal. Jika dunia ingin keluar dari lingkaran kekerasan ini, maka harus berani melihat ke arah yang selama ini mereka abaikan—Islam sebagai ideologi, bukan sekadar agama ritual.
Dunia tidak butuh lagi perjanjian damai sesaat yang mudah dilanggar. Dunia butuh sistem yang menjadikan perdamaian sebagai konsekuensi dari keadilan. Dan hanya Islam yang mampu mewujudkannya secara hakiki, bukan utopis.
Via
Opini
Posting Komentar