Opini
Kolusi dan Korupsi Masih Belum Usai, Apa yang Terjadi?
Oleh: Sri Lestari, ST
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Aksi kolusi korupsi masih terus menjamur di negeri ini. Melihat realita yang terus merambah, membuat orang nomor satu di negeri ini angkat bicara. Presiden Prabowo Subianto menyebutkan bahwa ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang. Prabowo mengatakan bahaya itu adalah state capture. Menurut Prabowo, masalah ini sangat serius dan harus segera diselesaikan.
"Karena di negara berkembang seperti Indonesia, ada bahaya besar yang kami sebut state capture—kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elite politik," kata Prabowo saat menjadi pembicara di acara St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, Jumat (20/6) (Kumparannews, 21-6-2025).
Beberapa waktu lalu Kejaksaan Agung mengungkap praktik korupsi yang melibatkan perusahaan Wilmar Group dan beberapa anak usahanya. Dugaan kuat menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan ini menyuap pejabat untuk mempercepat proses izin ekspor CPO. Sebagai akibatnya, negara mengalami kerugian signifikan. Pihak Kejagung telah menyita dana sebesar Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group. Dana yang disita ini sebagai bentuk pengembalian kerugian negara. Sungguh angka yang fantastis. Ini baru satu kasus, masih banyak kasus yang serupa lainnya.
Kolusi dan korupsi di dunia demokrasi manjadi praktek yang biasa terjadi. Demokrasi yang lahir dari sistem kapitalis memiliki ide dasar yang khas yakni memisahkan agama dari kehidupan dan tujuan kehidupan hanya terfokus pada pandangan dunia saja. Manfaat atau kemaslahatan menjadi tolak ukur perbuatan baik ataupun buruk. Bahkan untuk mencapai tujuannya melegalkan menghalalkan segala cara. Dari pandangan yang seperti ini menjadi kewajaran state capture muncul ke permukaan dan menjadi tabiat dari sistem kapitalis.
Dalam praktek untuk menduduki kekuasaan, sistem demokrasi selalu dihiasi dengan tabur uang yang membutuhkan banyak modal dan pemodal. Dari aksi ini terjadi politik transaksional antara penguasa dan pengusaha. Hal demikian tidak bisa dihindari karena sudah lahir dari rahim kapitalis demokrasi. Tidak dimungkiri penguasa akan membutuhkan banyak modal untuk maju dalam kontestasi politik, sehingga membutuhkan kucuran dana dari pengusaha.
Dalam kapitalis demokrasi tidak ada istilah makan gratis. Semua bantuan yang diberikan oleh pengusaha kepada penguasa akan berubah menjadi politik balas budi. Di balik penguasa dalam menentukan hukum ada pengusaha yang menuntut penentuan hukum versi mereka. Akibat dari aksi ini, hukum yang lahir tidak akan berpihak kepada rakyat, namun hukum yang berlaku akan berpihak kepada pengusaha dan penguasa sesuai manfaat yang akan diraih. Tampak jelas rakyat tidak bisa berharap untuk meraih kesejahteraan dalam sistem kapitalis.
Berbeda dengan sistem Islam, Islam adalah ideologi dan dari akidahnya lahir berbagai macam aturan kehidupan. Mulai dari tatanan individu, masyarakat dan negara. Hadirnya penguasa dalam negara bertujuan untuk mengatur dan mengurus rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR Bukhori).
Penguasa menjalankan tugasnya dengan motivasi lillah dan rakyat mematuhi peraturan negara dalam Islam juga dengan motivasi liLlah. Penguasa atau pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya. Penguasa akan senantiasa mengontrol tingkat ketakwaan pada diri rakyat, sehingga setiap individu rakyat berbuat jujur. Tatkala mereka menduduki jabatan tidak menjadikan jabatan sebagai jalan untuk memperkaya diri sendiri dengan perbuatan curang.
Islam juga memiliki pandangan bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijaga. Maka dari itu, orang-orang yang memiliki jabatan harus memahami bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban terkait jabatan yang didudukinya. Selain itu, dalam penerapan hukum pada aksi tindak kriminal, Islam juga memberlakukan hukum yang tegas bagi pelaku. Hukum yang diterapkan sangat adil dan tidak tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Hukum dalam Islam sifatnya mencegah dan menjerakan.
Korupsi merupakan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. Contoh tindakan khianat adalah menggelapkan harta yang telah diamanatkan kepada seseorang. Hukuman khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana hukuman bagi pencuri (qath’ul yad) sesuai seruan Allah dalam QS Al-Maidah ayat 38. Hukuman bagi khaa'in adalah takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksi takzir bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar memberikan nasihat atau teguran dari hakim, bisa juga berupa penjara, hukuman cambuk, bagi pelaku dikenai denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Dalam penerapan hukuman bagi pelaku, tatkala pelaku dijatuhi hukuman mati teknis pelaksanaannya bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89). Demikianlah cara pemberantasan korupsi yang efektif dalam sistem Islam.
Dengan demikian tampak jelas aksi kolusi dan korupsi terlahir dari sistem kapitalis demokrasi. Selama sistem ini masih eksis, aksi kolusi dan korupsi akan terus terjadi. Peraturan yang ada tidak akan mampu untuk menyelesaikan persoalan karena terlahir dari akal manusia yang sifatnya lemah, terbatas, dan serba kurang. Tidak ada jalan lain untuk mengakhiri aksi kolusi dan korupsi adalah hanya kembali kepada aturan Islam secara totalitas. Aturan Islam dapat diterapkan secara totalitas jika ada sebuah negara yang mengemban akidah Islam sebagai asas negaranya.
Maka dari itu, agar kepemimpinan Islam hadir kembali langkah awal yang harus dilakukan kaum Muslim adalah berjuang untuk mengembalikan kembali kepemimpinan Islam seperti masa dulu. Masa awal saat Rasulullah menerapkan hukum Islam di Madinah hingga dilanjutkan oleh para khalifah di Turki.
Via
Opini
Posting Komentar