Opini
Raja Ampat Butuh Penyelamat
Oleh: Mia Agustiani, A. Md.
(Muslimah Pegiat Literasi Majalengka)
TanahRibathMedia.Com—Raja Ampat yang digadang sebagai surga terakhir di bumi, kini mulai terancam keelokannya. Destinasi wisata yang kaya akan keindahan alam, pemandangan asri, serta kekayaan botanical laut yang beranekaragam kini mengalami kerusakan lingkungan akibat penambangan nikel.
Destinasi wisata Raja Ampat terletak di Papua Barat. Keindahan alam tersebut dilarang ditambang mineralnya, wajib dijaga kelestarian ekologisnya dan tidak diperbolehkan mencemari lingkungan serta merugikan masyarakat. Sebagaimana tertuang dalam pasal 35 huruf K, bahkan bisa menimbulkan kerugian besar karena adanya tindak pidana korupsi (www.metrotvnews.com, 7-06-2025).
Publik pun dibuat geram akan eksploitasi yang terjadi di Raja Ampat selama ini. Hingga ramai tagar save Raja Ampat di media sosial. Namun pemerintah seakan menutup mata atas kerusakan yang ditimbulkan, meski akhirnya mencabut empat izin usaha penambangan. Namun PT Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan PT Antam Tbk masih tetap dibiarkan beroperasi (www.beritasatu.com, 5-06-2025).
Keindahan alam yang dianugerahkan oleh Allah Subhanahu wata'ala, seakan tidak membuat negeri ini bersyukur. Sumber Daya alam yang seharusnya dijaga serta dikelola dengan baik malah dirusak oleh tangan manusia.
Pencabutan empat izin usaha penambangan hanya dilakukan untuk meredam desakan publik. Buktinya masih ada satu perusahaan yang dibiarkan beroperasi. Ini merupakan salah satu tanda bahwa pengusaha lebih berkuasa. Inilah wajah buruk sistem sekuler kapitalisme yang saat ini diterapkan. Sistem yang membiarkan perilaku melanggar undang-undang (UU) yang dibuat demi kepentingan korporat.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, ada 380 izin usaha pertambangan (IUP) Nikel dengan total luas 983.300,48 hektar di berbagai wilayah di Indonesia. Akan tetapi alih-alih meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar, justru jauh sekali dari indikasi kesejahteraan. Masyarakat hanya menerima berbagai kerusakan diantaranya adalah deforestasi (penggundulan hutan), pencemaran air serta udara, perubahan iklim akibat pembakaran bahan bakar fossil, serta eksploitasi terhadap lahan, laut dan aneka ragam hayati.
Sejalan dengan itu, Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia. (dengan itu) Allah bermaksud menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar." (TQS. Ar-Rum: 30).
Keberpihakan pemerintah pada keuntungan secara materi semata mengalahkan daya intelektualitas akan pemanfaatan sumber saya alam terbaik tanpa merusak lingkungan. Peraturan yang ada terkesan hanya formalitas.
Undang-undang atau peraturan tersebut dibuat di atas landasan sistem kapitalisme-sekuler yang membuka lebar celah untuk mengotak-atik sedemikian rupa untuk kepentingan korporasi. Kita bisa melihat dari gambaran UU Migas, UU Omnibuslaw, serta UU Minerba yang seakan-akan menggelar karpet merah bagi kapitalis asing untuk mengeruk kekayaan alam.
Aktifitas penambangan nikel hanya meninggalkan kerusakan meliputi darat, laut, dan udara. Hingga mengundang bencana yang hanya menyisakan derita. Begitulah, dampak yang sangat buruk ketika aturan Allah diabaikan manusia. Padahal Allah telah menetapkan bahwa sumber daya alam adalah milik umum (milkiyah 'amm) yang harus dikelola oleh negara serta kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh rakyat. Kepemilikannya tidak boleh diprivatisasi individu maupun perusahaan. Saat itu diabaikan, maka kerusakan harus siap dirasakan.
Berbeda dengan Islam yang bervisi pada konsep 'hima' yang akan melindungi lingkungan dari kerusakan akibat adanya eksploitasi alam. Berpegang pada ketentuan,
"Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah bumi itu Allah perbaiki. Berdo'alah kalian kepada Dia dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat dengan kaum yang berbuat baik" (TQS. Al-A'raf: 56)
Perintah Allah sangat jelas yang melarang membuat kerusakan atas bumi ini.
Islam melarang keras manusia untuk merusak bumi, karena sebagai khalifah di bumi justru manusia bertugas menjaga kelestarian alam. Sementara atas dasar hawa nafsu, manusia merusaknya tanpa batas serta pengelolaan yang ditetapkan melalui syariat.
Ada aturan serta batas yang jelas jika syariat Allah yang dipakai dalam penambangan. Pertama, pemerintah tidak boleh memberikan izin tambang pada pihak swasta. Menghentikan izin tambang bukan untuk sementara tapi penghentian selamanya. Kedua, konsep kepemilikan umum berarti hanya pemerintah yang boleh mengelola, yang kemudian hasilnya dipakai untuk kemaslahatan umat bukan untuk memperkaya diri atau perusahaan asing.
Maka, sangat mustahil menyelamatkan lingkungan jika sistem kapitalisme-sekuler masih dipakai. Harus menerapkan aturan Islam. Jangan memandang Islam hanya sebagai agama ritual belaka. Melainkan Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Begitu pun dengan perlakuan pada alam atau lingkungan. Ada aturan rinci yang bisa kita pakai untuk mengelola alam dengan baik. Maka sudah seharusnya UU yang ada segera diganti dengan aturan Islam.
Eksploitasi nikel yang saat ini terjadi adalah kegagalan sistem hukum jahiliyah dalam menjaga amanah dari Allah Swt. untuk menjaga bumi. Jika yang kita hendaki adalah solusi tuntas dan bahkan bukan hanya terkait persoalan nikel saja, maka hanya dengan menerapkan sistem Islam semua akan tuntas.
Wallahu'alam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar