Opini
Pengelolaan SDA Harus Sesuai Syariat
Oleh: Siti Aysyah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Aktivitas penambangan dan hilirisasi nikel di Raja Ampat, Papua, menjadi sorotan publik, terutama setelah sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi protes dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.
Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa sejak 2024 telah menemukan berbagai pelanggaran aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Berdasarkan analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau tersebut telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas wilayah tersebut. Selain itu, beberapa dokumentasi menunjukkan terjadinya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir. Peristiwa ini diduga terjadi akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah yang berpotensi merusak terumbu karang serta ekosistem perairan Raja Ampat (Kompas.com, 7-6-2025).
Peneliti dari Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, menyatakan bahwa Kepulauan Raja Ampat termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil yang dilindungi oleh UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 35 huruf (k) dalam undang-undang tersebut secara tegas melarang aktivitas penambangan mineral di pulau-pulau kecil yang dapat menyebabkan kerusakan ekologis, pencemaran lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitar. Sementara Pasal 73 ayat (1) huruf (f) mengatur sanksi pidana dengan ancaman hukuman penjara hingga 10 tahun.
Herdiansyah menegaskan bahwa penerbitan izin penambangan nikel di Raja Ampat yang merujuk pada undang-undang tersebut merupakan tindakan pidana (Media Indonesia, 7-6-2025).
Berbagai pelanggaran yang dilakukan dalam proses perizinan penambangan nikel dan hilirisasi industri ini di antaranya mencakup pelanggaran terhadap UU Perlindungan Lingkungan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta berpotensi melanggar hak asasi manusia dan memicu praktik korupsi.
Sesuai ketentuan hukum, setiap usaha atau kegiatan yang memiliki potensi dampak terhadap lingkungan wajib terlebih dahulu lolos uji AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) untuk memastikan bahwa aktivitas tersebut tidak memberikan dampak signifikan terhadap ekosistem. Namun faktanya, berbagai dampak negatif justru telah muncul akibat aktivitas penambangan nikel di beberapa pulau di kawasan Raja Ampat.
Allah Swt. berfirman dalam Surah Ar-Rum ayat 41:
> ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Fenomena ini menunjukkan betapa rusaknya kebijakan sistem kapitalis yang erat kaitannya dengan kekuasaan oligarki, di mana penguasa kerap menggunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi atau kelompok, khususnya dalam aspek politik dan ekonomi.
Dalam pandangan Islam, manusia ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi, yang berarti ia diberi amanah untuk menjaga kelestarian alam ciptaan Allah Swt. Sumber daya alam memang diperbolehkan untuk dimanfaatkan, namun tidak untuk dieksploitasi hingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Karena itu, Islam menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan syariat Islam yang menjaga keseimbangan alam.
Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-A'raf ayat 96:
> وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
Rasulullah saw. juga bersabda:
"Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini mengandung makna bahwa sumber daya alam seperti air, padang rumput (sumber pakan dan pertanian), dan api (energi) adalah milik bersama, dan tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu.
Implikasi dari hadis ini sangat penting dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan keadilan sosial dalam Islam. Hal ini menekankan pentingnya akses yang adil terhadap SDA serta perlunya pengelolaan yang bertanggung jawab untuk kemaslahatan bersama.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar