IBRAH
Syukur: Seni Menikmati Hidup
Oleh: Maman El Hakiem
(Pegiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Dalam kehidupan yang serba materialistis ini, sering kali banyaknya rezeki diukur dari gemerlapnya harta, luasnya rumah, atau angka yang tertera dalam rekening bank. Padahal, Allah Swt. tidak pernah mengajarkan kita untuk menilai rezeki hanya dari ukuran duniawi semata.
Apa Itu rezeki?
Rezeki bukan hanya uang. Walaupun ada yang menganggap uang bukanlah segalanya, tetapi segalanya pakai uang. Itu adalah cara berpikir orang kapitalis karena negara tidak lagi berperan sebagai pelayan rakyat, tetapi menjadikan rakyat sebagai konsumen. Akhirnya rakyat menjadi susah. Sebabnya, semua harus dibeli dengan uang, termasuk pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Padahal, rezeki adalah kesehatan yang tak tergantikan, keluarga yang harmonis, sahabat yang tulus, waktu luang untuk beribadah, hingga nafas yang terus mengalir tanpa kita harus membayar sepeser pun. Intinya rezeki adalah semua yang Allah berikan di dalam kehidupan ini.
Betapa sering kita lupa, bahwa kebahagiaan adalah rezeki, bahkan kemampuan untuk bersyukur pun adalah rezeki yang sangat besar.
Magnet Rezeki yang Terlupakan
Allah Swt. dalam hal rezeki, telah menjanjikan dengan bahasa yang sangat jelas dalam Al-Qur’an: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’." (TQS. Ibrahim: 7)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang balasan ukhrawi, tapi juga menjelaskan hukum kausalitas spiritual yang berdampak di dunia: syukur mendatangkan penambahan nikmat.
Secara akal, ketika seseorang bersyukur:
Ia akan melihat lebih banyak nikmat, sehingga merasa hidupnya berkecukupan, bukan kekurangan. Orang yang bersyukur akan dijauhkan dari iri dan dengki, dua penyakit hati yang menggerogoti kebahagiaan.
Selian itu, ia akan rajin menjaga amanah nikmat yang Allah beri kesehatan dijaga, uang dikelola, waktu dimanfaatkan. Lebih ajib lagi, ia akan semakin dekat dengan Allah, dan kedekatan dengan Sang Maha Pemberi adalah jaminan kelapangan rezeki sejati.
Ketika kita bersyukur, kita tidak hanya menunjukkan adab kita kepada Allah, tetapi kita juga membuka pintu-pintu langit untuk datangnya nikmat baru.
Rasulullah saw. adalah contoh tertinggi. Beliau berdiri dalam salat malam sampai bengkak kakinya, dan ketika ditanya mengapa, padahal beliau sudah dijamin surga, beliau menjawab:
"Afala akûnu 'abdan syakûran?"
"Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur?" (HR. Bukhari dan Muslim)
Standar Rezeki di Mata Allah
Ukuran bahagia bukan dilihat dari status kaya atau miskin. Banyak yang sederhana hartanya, tapi lapang jiwanya. Sebaliknya, orang kaya banyak pula yang hatinya selalu gelisah. Inilah rezeki yang sering dilupakan: rezeki hati yang tenang.
“Barang siapa di antara kalian bangun di pagi hari dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmidzi, hasan sahih)
Hadis ini menggeser paradigma kita. Bahwa standar rezeki bukanlah angka, tapi rasa. Inilah seni menikmati hidup, yaitu adanya rasa cukup, rasa tenang, dan rasa syukur.
Jadilah Ahli Syukur
Dalam dunia yang terus meminta “lebih”, orang yang pandai bersyukur akan menjadi oase. Ia tidak diperbudak oleh materi, tidak letih mengejar validasi sosial, dan tidak galau dengan pencapaian orang lain.
Maka jadilah ahli syukur. Karena dengan syukur:
Hati menjadi kaya meski harta sedikit.
Waktu terasa lapang meski tugas menumpuk.
Hidup terasa nikmat meski ujian datang silih berganti.
Dan yang terpenting, syukur adalah jalan menuju penambahan rezeki, baik yang tampak maupun yang tak kasat mata.
“Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri.”
(TQS. Luqman: 12)
Jika kamu merasa hidupmu penuh masalah, mulailah dari menghitung nikmat yang masih ada. Karena siapa tahu, jalan keluar itu tidak datang dari usaha keras semata, tapi dari satu kalimat tulus di hati: “Alhamdulillah.”
Wallahu'alam bish Shawwab.
Via
IBRAH
Posting Komentar