Opini
Ketika Kapitalisme Menggadaikan Alam dan Masa Depan Umat
Oleh: Jasmine Fahira Adelia Fasha
(Freelancer)
TanahRibathMedia.Com—Keputusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk menghentikan sementara operasional tambang nikel milik PT GAG Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi sorotan hangat di tengah masyarakat (Bbc.com, 5-6-2025).
Isu ini makin terungkap setelah publik mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah kawasan konservasi dunia, yang dikenal dengan kekayaan alam laut dan keanekaragaman hayatinya, bisa dijadikan lokasi pertambangan. Pertanyaan ini tidak hanya relevan secara ekologis, tetapi juga menggugah nurani umat dalam meninjau sistem yang melandasi kebijakan semacam ini.
Masuknya aktivitas pertambangan ke wilayah seindah Raja Ampat adalah cerminan nyata dari watak sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini menempatkan keuntungan materi sebagai tujuan utama, bahkan tak mengapa mengorbankan lingkungan, masyarakat lokal, dan warisan ekologis. Dalam kapitalisme, sumber daya alam adalah komoditas yang bisa dieksploitasi sebebas-bebasnya selama ada nilai jualnya.
Pulau Gag, yang merupakan bagian dari Raja Ampat, ‘surga dunia’ yang diakui dunia internasional, kini terancam rusak demi ambisi hilirisasi industri nikel. Kita tentu bertanya, untuk siapa semua ini? Apakah rakyat Papua dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang akan menikmati manfaatnya? Atau justru korporasi besar dan segelintir elit pemilik modal?
Islam memiliki paradigma yang sangat berbeda dalam memandang sumber daya alam. Dalam Islam, kekayaan alam seperti tambang adalah bagian milkiyyah 'ammah (kepemilikan umum) yang tidak boleh dimonopoli, dieksploitasi secara semena-mena, apalagi diprivatisasi oleh swasta atau asing.
Rasulullah ï·º bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR Abu Dawud).
Hadis ini menjelaskan bahwa sumber daya alam, termasuk tambang seperti nikel, harus dikelola oleh negara atas nama umat dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir korporasi.
Lebih dari itu, Islam memandang manusia sebagai khalifah fil ardhi, yakni pengelola dan penjaga bumi, bukan perusaknya. Firman Allah Swt., "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia..." (TQS ar-Rum: 41).
Ayat ini menunjukkan bahwa eksploitasi alam yang tidak terkendali—seperti penambangan yang mengabaikan aspek kelestarian—adalah bentuk kerusakan yang dilarang dalam Islam.
Masalah seperti ini tidak akan selesai selama kita masih berada dalam sistem ekonomi kapitalis. Selama pembangunan hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi dan investasi asing, maka kawasan-kawasan strategis seperti Papua, Kalimantan, dan Sulawesi akan terus menjadi sasaran eksploitasi.
Islam menawarkan solusi melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang berpijak pada keadilan, distribusi kekayaan, dan pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara adil dan merata. Dalam sistem ini, tidak ada celah bagi swasta atau asing untuk menguasai tambang. Negara bertanggung jawab langsung atas pengelolaan dananya, serta wajib menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Raja Ampat bukan hanya milik masyarakat Papua, tapi warisan alam bagi umat manusia yang wajib dijaga. Penambangan nikel di kawasan tersebut, walaupun dihentikan sementara, telah membuka mata kita tentang betapa lemahnya posisi rakyat di hadapan kekuatan modal dalam sistem kapitalis.
Kini saatnya umat Islam menuntut perubahan sistemik bukan hanya kebijakan tambal sulam, tapi perombakan total menuju sistem yang adil, lestari, dan berpihak kepada manusia dan lingkungan, sebagaimana yang dituntunkan oleh Islam.
Via
Opini
Posting Komentar