Opini
Hilirisasi Nikel, Kerusakan Lingkungan dan Ambisi Oligarki
Oleh: Anisa Rahmawati
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat menuai protes keras dari masyarakat, pasca aktivis Greenpeace Indonesia menguak dampak kerusakan dari hilirisasi nikel. Hastag #SaveRajaAmpat dan template narasi "Papua Bukan Tanah Kosong" menggema di media sosial terutama di X, Instagram hingga Tiktok.
Sejumlah warganet hingga influencer ramai-ramai ikut bersuara mengecam aktivitas penambangan nikel yang mengancam kerusakan dan keindahan alam di kepulauan Raja Ampat.
Hilirisasi Nikel Ancam Lingkungan dan Kehidupan Masyarakat
Raja Ampat merupakan kepulauan Indonesia yang terkenal dengan sebutan "Surga Terakhir Dunia" karena keindahan alam bawah lautnya. Tak heran jika kepulauan yang memiliki lebih dari 610 pulau dan rumah bagi 75% spesies laut dunia ini di akui UNESCO sebagai Global Geopark pada 2023.
Namun sayangnya, keindahan Raja Ampat kini terancam oleh aktivitas penambangan nikel yang memicu kerusakan ekologis, pencemanaran lingkungan hingga merugikan masyarakat sekitar.
Salah satu aktivis Greenpeace asal Papua Ronisel Mambrasar mengungkapkan kerusakan lingkungan secara nyata sudah di rasakan, terutama pada terumbu karang, ekosistem laut, sedimentasi dan pencemaran limbah tambang di kampung Gag atau Pulau Gag yang menjadi lokasi utama penambangan Nikel.
Selain itu aktivitas tambang nikel ini juga banyak berdampak pada ekonomi masyarakat yang mana menurunnya hasil tangkapan ikan serta terancamnya sektor ekowisata di Raja Ampat yang selama ini banyak menyumbang 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh dari wisatawan asing maupun lokal.
Sementara itu, Greenpeace juga mencatat setidaknya ada tiga pulau yang lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alamnya telah di babat habis untuk aktivitas pertambangan, Padahal berdasarkan UU No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, aktivitas penambangan di pulau tersebut dilarang (Tempo.co, 6 Juni 2025).
Meskipun pemerintah resmi menghentikan aktivitas hilirisasi Nikel di Raja Ampat dan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada 4 perusahan tersebut karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap aturan lingkungan hidup. Namun hal ini bukan menjadi sesuatu yang melegakan.
Mengingat faktanya saat ini beberapa pulau-pulau kecil yang memiliki cadangan nikel berlimpah seperti, Pulau Kabaena Sulawesi Tenggara, sekitar 73 persen atau 650 km² dari total luas wilayah Kabaena yang mencapai 891 km² telah terisi puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP) (KBR, 10 Juni 2025).
Inilah bentuk nyata kerusakan sistem kapitalisme, penambangan yang membahayakan lingkungan dapat dilakukan meski melanggar dan menabrak undang-undang yang sudah ditetapkan negara.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini memberikan hak istimewa bagi para oligarki, demi bisa memenuhi ambisi menyabet gelar negara sebagai produsen kendaraan listrik terbesar di dunia.
Sebagaimana yang dikatakan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Edy Junaedi, bahwa Indonesia ditargetkan masuk sebagai lima besar negara produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia pada 2040.
Tata Kelola SDA dalam Sistem Islam
Dalam Islam, nikel dan beberapa pulau-pulau merupakan SDA tambang yang sejatinya adalah harta kepemilikan umum yang hasilnya harus diberikan kepada masyarakat luas, kaum muslimin dan mereka berserikat atas harta tersebut.
Sebagaimana sabda Rasulullah,
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput dan Api." (HR. ABI Daud)
Artinya SDA tidak boleh atau haram hukumnya apabila dimiliki individu ataupun di swastanisasi, sebagaimana hadist berikut:
“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Daud).
Pengelolaan SDA dalam sistem Islam atau Khilafah akan diserahkan kepada negara untuk di kelola menjadi kepemilikan umum, yang hasilnya akan di simpan di Baitul Mal, guna membiayai berbagai kebutuhan masyarakat, termasuk memenuhi hak-hak dasar, seperti kebutuhan pokok, pendidikan hingga kesehatan masyarakat yang akan berikan secara cuma-cuma tanpa di komersilkan.
Maka sangat jauh berbeda pengurusan SDA dalam Khilafah dengan sistem Kapitalisme hari ini, yang mana kekayaan alam di rampas bahkan dirusak ekosistemnya demi keuntungan pribadi.
Allahualam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar