Opini
Empat Pulau Diperebutkan: Keadilan Wilayah dalam Sistem Islam
Oleh: Prayudisti S. P.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Polemik pengalihan empat pulau kecil dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara membuka tabir persoalan yang lebih kompleks dibandingkan sekadar persoalan administratif. Ketika isu potensi migas di wilayah tersebut mencuat, diskursus publik pun melebar, mengarah pada tudingan bahwa kepentingan ekonomi menjadi latar utama perubahan batas wilayah itu. Tak heran jika sejumlah legislator mencurigai ada muatan keuntungan sumber daya alam dalam proses ini.
Namun, akar masalah sebenarnya bukan sekadar konflik antar provinsi atau celah administratif. Sengketa ini merupakan potret dari cacat struktural dalam sistem otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia. Sistem ini, yang lahir dari semangat demokrasi sekuler dan kapitalisme Barat, ternyata melahirkan ketimpangan fiskal, kecemburuan antar daerah, serta ancaman disintegrasi yang nyata.
Otonomi daerah memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya, termasuk pengelolaan sumber daya dan pendapatan. Meski diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan memperkuat pelayanan publik, realitas di lapangan menunjukkan bahwa otonomi justru membuka ruang rivalitas antar wilayah. Ketika potensi ekonomi menjadi taruhan, batas administratif pun jadi rebutan.
Kasus sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut menegaskan fakta tersebut. Masyarakat Aceh merasa dirugikan, terlebih mengingat kedekatan geografis dan historis pulau-pulau itu dengan wilayahnya. Di sisi lain, pemerintah pusat berdalih bahwa keputusan itu telah melalui kajian teknis dan aturan formal. Namun, ketertutupan informasi dan minimnya partisipasi publik menjadi titik lemah yang patut dikritisi.
Ironisnya, Aceh selama ini telah diberikan status otonomi khusus, termasuk hak mengelola sumber daya alam. Maka ketika muncul keputusan pengalihan wilayah tanpa komunikasi intensif dan akuntabilitas transparan, wajar jika mencuat kemarahan dan kecurigaan dari masyarakat Aceh. Proses yang berjalan secara birokratis, tanpa kepekaan terhadap sejarah dan aspirasi masyarakat lokal, akan melukai rasa keadilan.
Sistem otonomi daerah juga menciptakan ketimpangan fiskal yang signifikan. Provinsi yang kaya dengan sumber daya alam memperoleh PAD lebih besar, sedangkan yang tidak memiliki potensi harus bergantung pada dana pusat. Ketimpangan ini melahirkan kecemburuan, terutama ketika satu daerah merasa 'dirampas' dari potensi kekayaannya. Kondisi ini pada akhirnya bisa memicu konflik antarwilayah dan menggerogoti persatuan nasional.
Semangat desentralisasi yang diusung oleh otonomi daerah seharusnya mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Namun kenyataannya, hal ini justru menciptakan eksklusivitas dan identitas kedaerahan yang kian menajam. Identitas lokal sering kali mengalahkan identitas kebangsaan, apalagi keumatan. Dalam jangka panjang, fenomena ini mengancam integrasi bangsa yang majemuk.
Islam sebagai sistem yang paripurna memiliki solusi yang berkeadilan dan menyeluruh. Dalam konsep pemerintahan Islam, seluruh wilayah dipandang sebagai satu kesatuan umat yang tidak terpisah berdasarkan potensi ekonominya. Negara Islam, melalui sistem Khilafah, mengelola seluruh wilayah secara sentralistik dalam kerangka syariat. Namun sentralistik di sini tidak bermakna otoriter, melainkan pengelolaan yang adil dan merata berdasarkan hukum Allah.
Tidak ada pembagian anggaran berdasarkan PAD, tidak ada daerah yang dianaktirikan. Negara bertanggung jawab menyediakan kebutuhan dasar seluruh warganya secara merata, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur. Kekayaan alam, seperti migas dan tambang, merupakan kepemilikan umum yang hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan umat.
Kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar struktur formal, tetapi amanah spiritual. Seorang pemimpin adalah pelindung dan pengurus rakyat, yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. atas keputusannya. Ia tidak boleh berlaku zalim atau mengorbankan kepentingan satu wilayah demi keuntungan wilayah lain.
Khilafah menjamin bahwa tidak ada satu pun wilayah yang diperlakukan tidak adil. Semua kebijakan dilakukan berdasarkan syariah, bukan kepentingan ekonomi atau politik sesaat. Sengketa seperti kasus empat pulau ini tidak akan terjadi karena pengelolaan kekayaan dilakukan secara kolektif dan penuh tanggung jawab syar’i.
Dengan demikian, sistem Islam memberikan alternatif nyata atas persoalan seperti ini. Daripada terjebak dalam sistem otonomi daerah yang rentan konflik dan ketimpangan, sudah waktunya umat Islam mempertimbangkan kembali sistem Islam kaffah. Hanya dengan penerapan syariat secara menyeluruh, keadilan antar wilayah dapat diwujudkan dan persatuan umat dapat diperkokoh.
Via
Opini
Posting Komentar