Opini
Surga di Ujung Timur yang Tersandera Kapitalisme
Oleh: Salsabila Isfa Ayu Komalasari
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Raja Ampat, ‘The Last Paradise’ begitulah dunia menyebutnya. ‘Surga kecil’ di ujung timur Indonesia ini menyimpan keindahan biota laut yang luar biasa kaya. Namun, keindahannya terancam oleh bayang-bayang eksplorasi tambang nikel.
Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh tagar #SaveRajaAmpat. Tagar ini mencuat setelah Greenpeace bersama para aktivis lingkungan dan pemuda Papua menggelar aksi protes terhadap aktivitas tambang nikel di pulau-pulau kecil sekitar Raja Ampat.
Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan pulau kecil seharusnya tidak boleh dijadikan lokasi pertambangan karena rentan terhadap bencana ekologis. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Sejumlah perusahaan tambang nikel tetap mendapatkan izin eksplorasi dan produksi di pulau-pulau kecil, seperti Pulau Gag yang dikelola oleh PT Gag Nikel, afiliasi dari PT Aneka Tambang (Antam), serta Pulau Kawe dan beberapa pulau lain yang termasuk dalam zona konservasi dan kawasan berisiko tinggi secara ekologis.
Dampak dari aktivitas eksplorasi ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Pembukaan lahan untuk tambang telah menyebabkan kerusakan hutan seluas ratusan hektare, memicu erosi tanah dan sedimentasi berat ke wilayah pesisir. Sedimentasi ini mengancam kehidupan biota bawah laut, terutama terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut. Selain merusak ekosistem laut, kondisi ini juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada laut dan ekowisata. Surga laut Raja Ampat kini berada di ambang degradasi akibat kerakusan eksploitasi tambang. Padahal keindahan ini harusnya dijaga dan dilindungi, bukan dieksploitasi demi kepentingan Industri.
Sebagai respons atas tekanan publik, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mencabut sementara izin tambang dari empat dari lima perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut. Namun, ini bukanlah akhir dari segalanya. Bayang-bayang eksploitasi masih mengintai, sebab satu perusahaan PT Gag Nikel masih tetap mengantongi izin resmi dan terus melanjutkan aktivitasnya. Bahkan, beberapa perusahaan yang izinnya dicabut dikabarkan tengah menggugat keputusan tersebut secara hukum. Artinya, ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem Raja Ampat belum benar-benar sirna.
Alam Papua, terutama Pulau Raja Ampat, bukanlah tanah kosong yang bisa dieksploitasi seenaknya. Keindahan alamnya adalah ruang hidup bagi masyarakat adat, sumber identitas budaya, serta warisan ekologis yang tak tergantikan. Jika pembangunan dilakukan dengan mengorbankan alam dan kehidupan lokal, maka itu bukanlah bentuk kemajuan, melainkan wujud keserakahan.
Ironisnya, kasus eksploitasi alam di Raja Ampat bukanlah satu-satunya. Ia hanyalah potret kecil dari wajah sistem ekonomi kapitalisme hari ini, sebuah sistem yang menghalalkan eksploitasi sumber daya alam demi akumulasi keuntungan. Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, hingga Papua kini menyimpan lebih banyak kisah luka daripada kekayaan. Hutan-hutan tropis dibabat habis demi tambang dan perkebunan, sungai-sungai tercemar limbah industri, dan masyarakat adat kehilangan ruang hidup yang diwariskan secara turun-temurun.
Kalimantan Timur dikepung lubang-lubang tambang batu bara yang menganga tanpa reklamasi, menyebabkan banjir, longsor, dan korban jiwa. Sulawesi Tengah dan Tenggara tercemar oleh tambang nikel yang mendesak pesisir dan mencemari laut. Halmahera Timur mengalami deforestasi besar-besaran demi industri smelter. Dan di Papua, Freeport mengeruk emas dan tembaga dari gunung yang dulunya sakral, meninggalkan jejak tailing dan penderitaan sosial yang dalam. Lanskap yang dulu asri kini berubah menjadi lahan tandus dan kering, menyisakan luka ekologis akibat kerakusan korporasi yang dibungkus atas nama pembangunan ekonomi.
Yang lebih menyedihkan, semua kerusakan ini kerap dibenarkan atas nama transisi energi hijau. Nikel yang menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik disebut sebagai komoditas masa depan demi menyelamatkan bumi dari emisi karbon. Namun, transisi yang tidak adil justru melahirkan ironi: demi energi bersih bagi kota-kota besar, hutan-hutan di timur Indonesia ditebangi, laut dicemari, dan masyarakat adat dikorbankan. Apakah ini bentuk kemajuan, atau hanya wajah lama dari kolonialisme dalam kemasan baru?
Seperti yang dikatakan Greenpeace Indonesia, “Energi bersih tidak akan benar-benar bersih jika dibangun di atas penderitaan rakyat dan kerusakan ekosistem.”
Di tengah krisis ekologis akibat eksploitasi sumber daya alam yang semakin nyata, peran negara justru sering kali absen, dalam melindungi ekosistem alam dan masyarakat adat. Alih-alih menjadi penjaga kepentingan publik, negara justru sering kali bertindak sebagai fasilitator bagi kepentingan korporasi. Izin-izin tambang dikeluarkan dengan mudah, hutan lindung dialihfungsikan, bahkan suara masyarakat lokal kerap diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam logika kapitalisme, pemerintah bukan lagi pemilik kendali atas sumber daya alam, melainkan bertindak sebagai regulator yang menjembatani kepentingan pasar dengan tanah airnya sendiri.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan keberpihakan negara terhadap kepentingan industri, bukan ekologi. Revisi Undang-Undang Minerba (UU No. 3 Tahun 2020), misalnya, memberikan kelonggaran luar biasa bagi perusahaan tambang: izin diperpanjang otomatis, pengawasan dipusatkan, bahkan sanksi atas pelanggaran lingkungan cenderung dilemahkan. Ditambah lagi dengan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), yang mempercepat proses perizinan dan menurunkan standar perlindungan lingkungan. Alih-alih memperkuat hak masyarakat dan menjaga alam, kebijakan-kebijakan ini justru memperkuat dominasi modal atas tanah, air, dan udara.
Akibatnya, masyarakat adat menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Mereka kehilangan ruang hidup, akses terhadap tanah dan air, serta identitas kultural yang melekat pada alam sekitarnya. Konflik agraria pun makin marak, kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang tetap terjadi, sementara suara mereka nyaris tak terdengar dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan.
Dalam sistem yang memandang tanah sebagai komoditas dan hutan sebagai nominal angka yang menguntungkan, keberadaan manusia dan alam menjadi sesuatu yang bisa dinegosiasikan, bahkan dikorbankan.
Raja Ampat bukan sekadar pulau eksotis yang memanjakan mata, tapi kini juga menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan ekologis yang terus berulang. Jika hari ini kita membiarkan hutan digunduli, laut dikuras, tanah dikeruk, serta manusia dan makhluk hidup dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi, maka kita sedang mewariskan krisis kepada generasi selanjutnya.
Lantas, untuk siapa pembangunan ini berjalan? Siapa yang paling diuntungkan, dan siapa yang paling dirugikan?
Kita membutuhkan sistem yang berpihak pada kehidupan bukan sekadar keuntungan. Sebab bumi yang rusak tak akan bisa ditebus dengan pertumbuhan ekonomi, dan keindahan seperti Raja Ampat tidak bisa diganti dengan angka dalam laporan investasi.
Sistem yang berpihak pada kehidupan adalah sistem yang menempatkan alam sebagai amanah, bukan komoditas. Dalam sistem Islam, tidak membiarkan kerakusan korporasi merajalela atas nama pertumbuhan, dan tidak menjadikan manusia serta alam sekadar alat produksi. Sistem itu adalah Islam sebuah sistem yang telah menetapkan aturan jelas dalam menjaga lingkungan, mengatur kepemilikan sumber daya alam, dan memastikan keadilan bagi seluruh makhluk.
Dalam pandangan Islam, alam bukan milik negara ataupun korporasi, tapi milik umat secara kolektif. Pengelolaan sumber daya alam yang bersifat vital seperti tambang, air, hutan, dan energi tidak boleh diserahkan kepada swasta. Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi)” (HR. Abu Dawud).
Artinya, negara hanya bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik, dan hasilnya wajib dikembalikan kepada rakyat.
Maka Islam melarang keras adanya praktik monopoli dan kapitalisasi atas kebutuhan vital manusia. Sumber daya alam berskala besar seperti tambang nikel, emas, batu bara, hingga air dan energi tidak boleh dikuasai swasta. Negara wajib mengelolanya secara adil dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat bukan memperkaya segelintir elit.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa krisis ekologis yang terus berulang-ulang bukan sekadar kesalahan kebijakan, tapi buah dari sistem yang rusak. Selama sistem kapitalisme dijadikan landasan, eksploitasi akan terus berulang, meski berganti rezim dan regulasi. Karena itu, kita butuh lebih dari sekadar tambal sulam solusi, kita butuh perubahan menyeluruh.
Islam datang bukan hanya sebagai agama, tapi sebagai sistem hidup yang paripurna. Ia mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan juga dengan alam semesta. Dalami sistem Islam, pembangunan tak berarti perusakan, dan kemajuan tak identik dengannya eksploitasi. Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati hanya akan terwujud ketika keadilan ditegakkan, alam dijaga, kekuasaan dijalankan sebagai amanah, bukan alat memperkaya diri.
Raja Ampat dan seluruh alam Indonesia layak dilindungi dengan sistem yangu menjunjung nilai kehidupan, bukan nilai pasar. Maka jalan menuju perubahan bukan sekadar menyelamatkan satu wilayah, tapi membebaskan seluruh negeri dari sistem yang melahirkan krisis demi krisis. Sistem itu adalah Islam.
Via
Opini
Posting Komentar