Opini
Pendidikan Tinggi Hak Semua, Bukan Privilage Segelintir
Oleh: Nettyhera
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pendidikan tinggi sejatinya menjadi pintu menuju masa depan yang lebih cerah. Namun, bagi jutaan anak dari keluarga miskin, pintu itu tampak berat untuk dibuka. Padahal pemerintah telah menghadirkan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang diklaim sebagai solusi bagi anak-anak tidak mampu agar bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Sayangnya, program ini belum benar-benar menyelesaikan masalah. Bahkan, dengan berbagai syarat yang rumit dan batasan yang ketat, tak sedikit siswa dari keluarga tidak mampu yang akhirnya tersingkir, bukan karena tidak layak secara akademik, tapi karena tak lolos secara administratif.
Batasan yang Menyakitkan
Salah satu syarat utama agar bisa mendapatkan KIP Kuliah 2025 adalah pendapatan kotor gabungan orangtua atau wali tidak lebih dari Rp4 juta per bulan, atau pendapatan per kapita tidak lebih dari Rp750 ribu. Jika tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau tidak memiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), ataupun menjadi peserta Program Keluarga Harapan (PKH), maka peluangnya makin sempit (kompas.com, 19-05-2025).
Padahal, banyak keluarga yang sebenarnya hidup dalam kemiskinan, namun tidak tercatat dalam data resmi. Banyak pula orangtua dengan penghasilan sedikit di atas batas yang ditentukan, tapi tetap tak mampu membiayai anaknya kuliah. Akibatnya, program yang seharusnya menjadi jaring pengaman justru meninggalkan banyak anak yang sangat membutuhkan.
Potret Ketimpangan Akses Pendidikan
Sementara anak-anak dari keluarga berada bisa memilih kampus favorit tanpa pusing memikirkan biaya, anak-anak dari keluarga miskin harus memutar otak, bahkan sering kali mengubur impian. Beberapa nekat bekerja sambil kuliah, sebagian lagi pasrah dan memilih berhenti sekolah setelah lulus SMA. Padahal, potensi mereka tidak kalah hebat.
Ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan bukan semata persoalan administrasi, tapi bagian dari ketimpangan sistemik dalam sistem kapitalisme saat ini. Di mana akses terhadap pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara justru tergantung pada status sosial dan ekonomi.
Negara Tak Menjamin Pendidikan untuk Semua
Meski konstitusi menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan, pada praktiknya negara tidak benar-benar hadir sebagai penjamin. Justru peran negara dipersempit hanya sebagai fasilitator. Pendidikan dibiarkan menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar bebas, dan program bantuan seperti KIP. Kuliah hanyalah kebijakan tambal sulam yang tidak menyentuh akar masalah.
Program KIP Kuliah pun dibatasi kuotanya dan hanya diberikan kepada mereka yang berhasil lolos seleksi dan memenuhi semua persyaratan administratif. Artinya, masih banyak siswa yang cerdas dan butuh bantuan, tetapi tidak bisa melanjutkan kuliah karena terbentur syarat.
Solusi Islam: Pendidikan adalah Hak, Bukan Komoditas
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis, Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar yang harus dijamin negara. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan secara gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat, tanpa diskriminasi.
Berikut beberapa prinsip dalam sistem pendidikan Islam:
1. Pendidikan Gratis untuk Semua
Dalam Khilafah, negara membiayai pendidikan dari Baitul Mal (kas negara) dan menggratiskan pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Tidak ada diskriminasi berdasarkan kemampuan ekonomi.
2. Negara Bertanggung Jawab Penuh
Negara tidak boleh lepas tangan atau menyerahkan urusan pendidikan kepada swasta sepenuhnya. Negara wajib membangun fasilitas pendidikan yang memadai, menggaji guru, dan menyediakan buku-buku pelajaran.
3. Distribusi Kekayaan yang Adil
Dalam Islam, negara menerapkan sistem ekonomi yang adil sehingga tidak terjadi kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Dengan pemerataan kesejahteraan, biaya hidup tidak menjadi beban berat dan pendidikan dapat lebih mudah diakses.
4. Tujuan Pendidikan Bukan Sekadar Ekonomi
Sistem pendidikan Islam tidak semata-mata mencetak lulusan agar menjadi tenaga kerja. Tujuan utamanya adalah membentuk kepribadian Islam dan menghasilkan generasi yang berilmu, bertakwa, dan mampu memimpin peradaban.
Dengan sistem seperti ini, tak akan ada lagi kisah anak-anak yang cerdas harus putus kuliah karena orangtuanya tidak mampu. Tak perlu ada batas gaji atau kartu bantuan sosial sebagai syarat untuk mengakses pendidikan. Sebab, negara Islam menjamin hak itu sebagai bagian dari tanggung jawabnya kepada seluruh rakyat.
Sudah Saatnya Kembali kepada Islam
Kita harus jujur mengakui bahwa sistem yang ada hari ini telah gagal memberi keadilan dalam bidang pendidikan. Program-program seperti KIP Kuliah memang membantu sebagian kecil, tetapi tetap tidak cukup untuk mengatasi akar masalah.
Sudah saatnya kita kembali melihat Islam bukan hanya sebagai agama spiritual, tapi juga sebagai sistem hidup yang lengkap—termasuk dalam bidang pendidikan. Islam memiliki mekanisme yang jelas, adil, dan manusiawi untuk menjamin setiap anak bisa belajar tanpa dihantui bayang-bayang kemiskinan.
Jika kita benar-benar ingin memutus mata rantai kemiskinan dan membangun peradaban yang berilmu, maka kita butuh perubahan paradigma. Sebab dalam sistem yang rusak, kebijakan yang baik pun hanya sekedar.
Penutup
Ketika anak-anak miskin harus berjuang melawan nasib hanya demi masuk perguruan tinggi, kita patut bertanya: adakah yang salah dalam cara kita mengatur negeri ini? Jawabannya jelas. Kita butuh sistem handal yaitu sistem Islam yang memuliakan ilmu, memuliakan rakyat, dan menjadikan pendidikan hak, bukan barang mewah. Maka, jangan tunda lagi untuk perjuangkan Islam sebagai satu-satunya solusi.
Via
Opini
Posting Komentar