Opini
Konflik Tambang Karossa: Islam Solusi Tuntas
Oleh: Arvan Lazuardi
(Pemerhati Lingkungan dan Sosial Politik)
TanahRibathMedia.Com—Potensi mineral di tanah air Indonesia adalah karunia terbesar bagi rakyat Negara Republik Indonesia, termasuk Provinsi Sulawesi Barat. Sulawesi Barat masih tergolong provinsi yang masih muda di Republik Indonesia ini, setelah mekar atau berpisah dari provinsi induknya yaitu Provinsi Sulawesi Selatan.
Sulawesi Barat baru saja menunjukkan berbagai potensi dari wilayahnya, khususnya potensi pertambangan yang dimiliki. Sulawesi Barat memiliki potensi tambang yang sangat beragam dan strategis yang menjadikan Sulawesi Barat salah satu wilayah penting dalam sektor pertambangan di Indonesia. Salah satunya tambang pasir kuarsa dan batu pasir yang tersebar di Sulawesi Barat salah satunya Mamuju Tengah (wacana.info, 27 Mei 2024).
Salah satu lokasi yang menjadi perhatian adalah Muara Sungai Budong-Budong dan Sungai Karossa yang membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju Tengah memasukkan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Mamuju tengah, Desa Karossa termasuk dalam kawasan pertambangan batu pasir.
Ada Penolakan
Meskipun memiliki potensi tambang, rencana penambangan pasir di pesisir pantai, mendapat penolakan dari masyarakat Desa Budong-Budong, Babana, dan Karossa karena khawatir akan merusak lingkungan dan mata pencaharian mereka yang bergantung pada laut.
Fenomena penolakan terhadap tambang pasir ini disebabkan oleh kekhawatiran mengenai kerusakan lingkungan dan mata pencaharian masyarakat yang mengandalkan hidupnya di sepanjang tepi sungai. Ini ditambahkan informasi dari Kepala Desa Babana menyatakan bahwa hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menunjukkan dampak negatif dapat memperburuk abrasi pesisir pantai dan sungai di sekitar Dusun Mess.
Oleh sebab itu, masyarakat dan pemerintah desa setempat menolak kegiatan penambangan pasir demi melestarikan lingkungan dan menjamin keselamatan warga. Hal ini sebagaimana dikutip dari kilassulbar.id pada Ahad, 1 desember 2024. Ini memicu penolakan juga di desa-desa yang serupa dimana adanya tambang masuk di desa mereka.
Selain itu, dampak positif yang dialami oleh masyarakat tidak terasa signifikan akibat distribusi manfaat dari penambangan pasir yang tidak merata. Dikarenakan pengelolaan tidak dilakukan secara baik dan transparan seperti:
• “Kami tidak pernah diajak bicara sebelum perusahaan mulai beroperasi. Tiba-tiba mereka datang, dan kapal sudah menambang,” (pernyataan warga, dilaporkan oleh Pikiran Rakyat Sulbar).
• Diduga ada pelanggaran tata ruang dikarenakan Dokumen RTRW Mamuju Tengah menyatakan bahwa Desa Benggaulu adalah kawasan bijih besi, bukan pasir. Namun, penambangan pasir tetap dilakukan di sekitar Sungai Benggaulu. Ini menunjukkan potensi ketidaksesuaian antara izin operasi dan zonasi tata ruang.
• “Kami tak tahu kapan izin keluar, siapa yang beri izin, dan mengapa tidak ada musyawarah dengan warga,” (pernyataan tokoh masyarakat Karossa).
• “Minimnya Manfaat Ekonomi yang Dirasakan Warga, Banyak warga menyatakan mereka tidak mendapatkan pekerjaan dari proyek tambang, dan tidak ada kompensasi memadai atas kerusakan lingkungan atau hilangnya mata pencaharian (terutama nelayan dan petani). Program CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan belum dirasakan secara merata atau relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Itulah sedikit ketidakadilan dari penambangan pasir yang terjadi di daerah Kabupaten Mamuju Tengah. Mungkin itu juga terjadi di seluruh area. Inti perbincangannya adalah fenomena tersebut muncul disebabkan oleh izin yang mendadak muncul. Sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah pusat yang mempermudah investasi, berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja No 6 Tahun 2023 dan Undang-undang MINERBA untuk kegiatan yang berdampak besar seperti tambang pasir.
Pemerintah perlu mengevaluasi sistem investasi yang sekarang dengan mengaudit dan peninjauan izin yang sudah terbit terutama izin-izin tambang yang terbit otomatis dan bermasalah, terutama jika terbukti menyalahi tata ruang atau menimbulkan konflik sosial. Tapi, itu kemungkinan tidak akan berhasil karena munculnya Undang-Undang Cipta Kerja untuk memudahkan semua jenis investasi terutama tambang yang akhirnya solusi itu hanya sekedar solusi parsial saja.
Bagaimana dengan Solusi Islam?
Barang yang termasuk dalam kepemilikan publik adalah milik kolektif dan tidak boleh diperoleh/dikuasai oleh individu (swasta). Dalilnya sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
“Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Diqiyaskan dengan ketiga barang itu, merupakan semua barang yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat (min marāfiq al-jamā’ah) berdasarkan alasan hukum (‘illat) sebagai berikut:
“Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat umum maka statusnya adalah milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 219).
Oleh karena itu, yang termasuk milik bersama tidak hanya tiga benda yang disebut dalam hadits di atas, yaitu air, padang rumput (termasuk hutan) dan api (seperti energi minyak, gas, listrik, batubara, dan lain-lain) melainkan juga semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll.
Segala sesuatu yang merupakan milik umum ini tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, baik dari pihak swasta nasional maupun swasta asing. Sebagaimana dalil hadits Rasulullah saw. yang melarang individu untuk mengelola tambang dengan deposit yang besar, yaitu hadits Abyadh bin Hammal ra. berikut ini:
Dari Abyadh bin Hammal RA, bahwa dia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Rasulullah saw. lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh bin Hammal. Ketika Abyadh bin Hammal ra. telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mā’ al-‘idd).”
Ibnu Al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal ra.).” (HR. Abu Dawud dan Al-Timidzi).
Selain alasan tersebut, Islam juga melarang bahaya (dharar) dalam semua bentuknya, termasuk bahaya atau dharar yang mungkin timbul dari pengelolaan tambang:
"Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan bahaya bagi orang lain (dhirār).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Daraquthni).
Atas dalil-dali di atas maka kejadian atau fenomena yang terjadi di daerah di mana tambang itu beroperasi tidak akan terjadi. Sebab, pengelolaan tambang tidak akan langsung dilaksanakan. Sebab, pertambangan adalah milik bersama dalam Islam. Dengan demikian, pengelolaannya akan dikuasai oleh negara, bukan individu atau kelompok, terlebih lagi Islam melarang bahaya (dharar) dan dampak merugikan bagi orang lain (dhirār) dalam segala aspek.
Jadi, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan dalam Islam tidak akan terjadi walaupun terjadi akan dicegah sebelum terjadi, seperti dilakukan kajian AMDAL terhadap lingkungan sekitarnya supaya aktivitas yang dapat berdampat bahaya dan bahaya bagi orang lain dihilangkan. Tapi itu semua terwujud hanya jika Islam dapat diterapkan.
Wallāhu a’lam.
Via
Opini
Posting Komentar