OPINI
Whoosh, Kebanggaan atau Kebangkrutan?
Oleh: Desi Andriani
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kasus utang kereta cepat Jakarta-Bandung menuai polemik berkepanjangan dari berbagai pihak. Banyak kepentingan masa yang ikut andil dalam menentukan arah kebijakan hingga menuai kontroversi antara kepentingan rakyat bahkan menutupi kebobrokan kebijakan masa lalu.
Kabarnya, proyek Kereta Cepat Jakarat-Bandung yang resmi beroperasi sejak 2 Oktober 2023 mengalami pembengkakan biaya sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar 19,54 truliun. Alhasil, untuk menutupi pembengkakan biaya tersebut, proyek ini memperoleh pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai 230,99 dollar AS dan 1,54 miliar renmibi setara dengan Rp 6,98 triliun. Melihat besarnya utang tersebut, Menteri Keuangan Purbaya menolak pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dibebankan pada Anggaran Belanja Negara.
Menurut Direktur Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementrian Keuangan Suminto, utang kereta cepat ini bentuknya business to business. Artinya, tidak ada utang pemerintah karena dilakukan oleh badan usaha, konsorsium badan usaha Indonesia, dan China. Di mana, konsorsium Indonesia PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) memiliki saham 60 persen. Sedangkan, konsorsium China Beijing Yawan HSR Co.Ltd sebagai pemegang saham 40 persen (tribunnews.com, 11-11-2025).
Menambah Beban Negara
Utang kereta cepat Whoosh menjadi beban yang cukup berat. Begitu juga dengan konsorsium BUMN, Indonesia harus menanggung kerugian besar bagi BUMN yang terlibat. Kerugian operasional pun terus menerus dialami oleh PT PSBI hingga menanggung kerugian dari beban KCIC. Ditambah lagi, perhitungan ekonomi yang tidak tepat dalam pembangunan proyek tersebut menjadi salah satu penyebab masalah ini.
Para pendukung proyek ini boleh saja berkoar tentang potensi masa depan kereta cepat. Akan tetapi, itu baru analisis, belum terjadi, dan masih prediksi. Sementara, negara sudah membuat utang ke China sejak 2017 demi proyek ini. Utang tersebut digunakan untuk pembelian bahan baku, kepemilikan saham, keuntungan bunga pinjaman dan lain-lain.
Di sisi lain, perjanjian kontrak antara pemerintah masa lalu dan investor asing menjadikan para penguasa terikat secara hukum untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang. Sehingga investor asing menganggap pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk membayar utang proyek tersebut. Karena, pemerintah memberikan jaminan kepemilikan BUMN, kepentingan publik, dan kontrak yang sah.
Islam Solusi Tuntas
Di antara masalah yang dihadapi negeri-negeri kaum muslim saat ini termasuk Indonesia adalah privatisasi aset publik atau negara. Penguasa negeri-negeri kaum muslim adalah boneka negara-negara kafir penjajah.
Dalam Islam, utang ada yang diperbolehkan dan tidak. Utang yang diperoleh dari siapapun, baik domestik maupun asing, boleh dilakukan dengan syarat tidak disertai riba. Karena akad utang riba tersebut jelas batil, dan haram.
Utang yang diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara juga tidak boleh, misal dengan konsesi penguasaan hak milik umum tertentu untuk diserahkan kepada pemberi utang.Jika utang tersebut sah, secara syari', maka utang piutang tersebut boleh. Jika tidak sah, maka utang tersebut jelas tidak boleh.
Meski demikian, dua-duanya wajib dibayai, karena pembayaran ini merupakan pengembalian hak oleh penerima utang kepada pemberi utang. Dengan catatan, jika ada riba, atau syarat lain yang bertentangan, maka riba atau syarat lainnya harus dibatalkan. Dengan begitu yang wajib dikembalikan hanya uang pokoknya saja.
Allah Swt. telah mewajibkan kita, baik sebagai individu maupun penguasa di dalam Khilafah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad) baik antar sesama muslim maupun dengan orang negara kafir. Dengan catatan,s elama transaksi atau akad tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Allah Swt. berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." (TQS al-Ma'idah [5]:1)
Ayat ini merupakan perintah Allah kepada kaum muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan. Utang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara adalah salah satu jenis transaksi (akad). Maka harus menunaikan transaksi itu hingga transaksi itu selesai.
Lalu bagaimana cara khilafah membayar cicilan utang pokoknya? Utang sebelumnya akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaam yang dimilki secara tidak sah oleh "rezim" sebelumnya beserta kroni-kroninya. Seluruh aset mereka di berbagai tempat akan dijadikan jaminan oleh negara untuk pembayaran sisa utang luar negeri. Seandainya akumulasi harta kekayaan mereka masih kurang untuk menutupi sisa utang, Khilafah harus mengambil alih utang tersebut dan menalangi dari pendapatan negara, misalnya dari pos jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara.
Khilafah sejauh mungkin menghindari penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil barang tambang, hutan, dan sebagainya) untuk pembayaran utang sebab yang berutang adalah penguasa "rezim" sebelumnya, bukan rakyatnya.
Namun demikian, hal ini hanya bisa dilakukan takkala khilafah sudah berdiri. Sebab saat ini tak satu pun negeri Islam dan penguasanya yang berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar negeri karena hal itu sama saja dengan cengkeraman Lembaga-lembaga keuangan internasional yang didukung negara asing.
Via
OPINI
Posting Komentar