OPINI
Rentetan Bencana Alam: Faktor Alami atau Manusia?
Oleh: Anggun Istiqomah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Indonesia sedang diguncang bencana longsor, tanah bergerak, hujan ekstrem yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan hunian, serta penderitaan bagi masyarakat. Di saat tanggap darurat dilakukan, emergensi tersebut juga membuka tabir lemahnya mitigasi dan tata kelola ruang hidup.
Fakta Terkini: Korban, Evakuasi, dan Hambatan Penanganan
Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, longsor besar di Desa Cibeunying membuat puluhan rumah tertimbun, banyak korban tewas dan hilang, serta warga mengungsi. Penanganan darurat dilakukan oleh tim SAR gabungan, termasuk pengerahan alat berat dan anjing pelacak, setelah perintah keras dari presiden untuk percepatan evakuasi (mediaindonesia.com, 15-11-2025).
Di Kabupaten Banjarnegara, longsor menerjang Desa Pandanarum, merusak rumah dan lahan warga. Sebanyak 27 warga awalnya diperkirakan tertimbun tanah longsor. Evakuasi terus dijalankan, tapi kondisi tanah yang belum stabil memperlambat pencarian (cnnindonesia.com, 17-11-2025).
Dari dua contoh itu, terlihat bahwa meskipun upaya darurat telah digencarkan, kendala cuaca, medan, dan keterbatasan tim — bersama dengan proses evakuasi yang berjalan lamban — memperburuk kondisi korban dan penyintas. Kronologi ini menunjukkan bahwa bencana bukan hanya soal alam, melainkan juga soal sistem — tata ruang, mitigasi, dan kebijakan pengelolaan lingkungan serta respons darurat.
Analisis Mengapa Sistem Kita Rentan dan Lamban
Tata ruang dan lingkungan rusak: Alih fungsi lahan, pemukiman di zona rawan longsor, deforestasi, dan perencanaan tanpa kajian geologi/hidrologi membuat banyak wilayah sangat rentan terhadap longsor saat hujan ekstrem.
Mitigasi lemah — baik preventif maupun kuratif: Sistem peringatan dini, edukasi masyarakat, regulasi ruang hidup, hingga infrastruktur mitigasi (seperti drainase, stabilisasi lereng, zona hijau) belum bekerja optimal. Akibatnya, setiap musim hujan menjadi ancaman.
Negara dan pemerintah belum benar-benar serius dalam kebijakan jangka panjang: Penanganan sering reaktif, lebih banyak fokus pada darurat daripada pencegahan. Regulasi ruang dan lingkungan tampak longgar atau diabaikan — padahal amanah negara dalam menjaga jiwa dan lingkungan.
Dengan sistem seperti ini, bencana alam menjadi tidak bisa dianggap “alamiah semata” — ia juga akibat ulah dan kelalaian manusia; serta kegagalan struktur manajemen publik.
Perspektif Islami: Amanah, Perlindungan, dan Tanggung Jawab
Dalam Islam, ada dua dimensi penting dalam memahami bencana:
Dimensi ruhiyah, bencana bisa jadi peringatan dari Allah atas kerusakan dan pelanggaran terhadap amanah manusia terhadap alam. Umat diajak muhasabah, memperbaiki diri, dan menjaga lingkungan serta makhluk.
Dimensi siyasiyah, negara/pemimpin memiliki amanah besar untuk melindungi rakyat dan alam. Ketika lingkungan dan masyarakat terancam, pemimpin wajib bertindak: mencegah, melindungi, menanggulangi secara adil.
Negeri yang benar dalam bingkai syariat harus menjamin keselamatan jiwa, tanah, dan lingkungan — bukan hanya mengejar pembangunan fisik atau ekonomi belaka.
“Barang siapa yang mengambil amanah termasuk menjaga lingkungan, rakyat, dan bumi ia akan dimintai pertanggungjawaban.”
Maka, bencana akibat kelalaian manusia dan kebijakan yang gagal adalah peringatan sekaligus panggilan untuk memperbaiki sistem.
Solusi Islami: Mitigasi, Kebijakan dan Pemulihan Sebagai Amanah Bersama
Berikut langkah-langkah praktis berdasarkan nilai Islam, agar bencana tidak terus menjadi kutukan:
1. Reformasi Tata Ruang dan Lingkungan
- Larang alih fungsi hutan tanpa kajian lingkungan.
- Hindari pemukiman di zona rawan longsor/flood zone.
- Jalankan reboisasi, pelestarian zona hijau, konservasi hulu sungai/pegunungan sebagai amanah lingkungan.
2. Penerapan Mitigasi Preventif dan Sistem Peringatan Dini
- Bangun sistem peringatan dini bencana berbasis data cuaca, tanah, curah hujan — melibatkan ulama/pesantren, masyarakat lokal, dan otoritas lingkungan.
- Edukasi ruhiyah + lingkungan — tanamkan pemahaman bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.
3. Negara dan Pemerintah sebagai Penanggung Jawab Utama
- Siapkan regulasi kuat: larangan pembangunan sewenang-wenang di daerah rentan, insentif perlindungan lingkungan, dan sanksi bagi pelanggar.
- Siapkan infrastruktur mitigasi: drainase, jalur evakuasi, posko bencana, hunian aman — dibiayai dari kas negara atau wakaf/khairat umat jika memungkinkan.
4. Respons Cepat dan Pemulihan Komprehensif saat Bencana
- Ketika bencana terjadi: tindakan evakuasi, bantuan dasar (pangan, sandang, kesehatan), hunian darurat, pendampingan psikososial, dan relokasi jika perlu.
- Setelah bencana: rehabilitasi rumah, sarana, dan ekonomi penyintas — pastikan mereka bisa kembali hidup normal, bukan sekadar didata lalu dilupakan.
5. Budaya dan Pendidikan Lingkungan — Berbasis Nilai Islam
- Pesantren, masjid, komunitas Muslim lokal aktif mengkampanyekan kesadaran menjaga alam, mitigasi bencana, dan solidaritas sosial.
- Integrasikan ajaran amānah lingkungan dalam pendidikan agama — bahwa menjaga bumi dan manusia adalah bagian dari ibadah.
Harapan: Bangkit dari Musibah — Menuju Negeri yang Aman dan Berkah
Bencana bukan hanya masalah teknis — ia adalah panggilan moral dan sosial. Dengan paradigma Islam yang menegaskan bahwa menjaga jiwa, manusia, dan alam adalah amanah terbesar, negara dan umat wajib bersinergi.
Semoga kita bisa memperbaiki sistem — dari tata ruang sampai mitigasi, dari kebijakan sampai kesadaran moral — agar ketika hujan turun, kita tidak lagi melihat rumah ambruk dan air mata berserak. Tapi rahmat, keselamatan, dan keberkahan.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Via
OPINI
Posting Komentar