OPINI
Belajar dari Tsunami di Masa Silam, Solusi Banjir Hanya Tambal Sulam
Oleh: Lisa Herlina
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Duka mendalam menyelimuti korban banjir Sumatera. Mengutip situs BNPB, Selasa (2/12) pagi, korban jiwa mencapai 604 orang. Paling banyak di Sumut dengan 283 jiwa meninggal dunia. Sumbar 165 jiwa dan Aceh 156 jiwa. Belum jumlah lain yang baru ditemukan. Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Sumatera Utara mencatat dalam 10 tahun terakhir, 2 ribu hektar hutan di Sumut rusak.
Dilihat dari pantauan satelit adanya daya dukung di wilayah Sumatera dari hulu yang terjadi deforestasi sangat massif. Sebut saja beberapa perusahaan yang turut menyumbang peran dalam alih fungsi lahan di Sumatera Utara. PT. TPL (Toba Pulp Lestari), pertambangan Martabe, pembangunan PLTA Batang Toru, perkebunan sawit, dan masih banyak lagi. Alih-alih titik balik tata kelola hutan di Sumatera, seperti kata Menteri Kehutanan, yang ada justru bencana bagi makhluk yang ada di dalamnya.
Hutan Bagi Makhluk Hidup
Ketika hutan ditebang, sampah menumpuk, deforestasi massif, ada hal dasar yang hampir kita lupakan yakni 1 pohon dewasa bisa mengolah 100-1000 lebih liter/hari yang dilakukan evapotranspirasi. Ketika hujan turun, tajuk pohon yang rindang mampu mengintersepsi 30% - 60% lebih air hujan sebelum menyentuh tanah. Artinya sebagian air tidak langsung menjadi lintasan. Lalu ketika hujan ditahan, disaring dan dilepas secara perlahan oleh hutan.
Bisa dibayangkan ketika 100 hektar hutan yang memiliki tutupan yang lebat dan tajuk yang rapat bisa mengelola jutaan liter air hujan sehingga tidak langsung lepas ke pemukiman. Tapi saat hutan digunduli, maka kapasitas ini akan menghilang. Air yang seharusnya ditahan oleh hutan pada akhirnya akan melaju dengan deras kemudian meluber, menjadi banjir ke pemukiman warga.
Padahal untuk membuat pohon sampai pada usia fungsi ekologis seperti itu membutuhkan waktu puluhan tahun. Satu pohon bisa menghilang dalam waktu 5 menit melalui mesin. Tapi satu pohon bisa mencapai fungsi ekologis yang maksimal membutuhkan waktu 30-50 tahun lamanya. Itulah mengapa betapa bermanfaatnya hutan tropis ini bagi keberlangsungan makhluk hidup. Baik manusia, binatang bahkan tumbuhan-tumbuhan di dalamnya.
Bukan Alam yang Menyebabkan Bencana
Lantas mengapa semua ini bisa terjadi? Tentu saja yang membuat bencana adalah manusia. Pembalakan liar, bukit-bukit, lahan-lahan, sawah-sawah sudah gundul. Tanaman sawit yang monokultur tidak bisa diandalkan untuk mengganti penyerapan air jika terjadi hujan yang tinggi. Kemampuan sawit jauh di bawah kapasitas untuk penyerapan air. Yang dibangga-banggakan itu sawit adalah pohon juga namun jauh di bawah ekosistem sebelumnya yang tidak mampu menerobos banjir.
Inilah dampak problem ekologi yang menyebabkan bencana terutama di pihak pembuat kebijakan. Dari lintas sektor kita melihat ada sektor pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, energi sumber daya mineral. Namun tetap saja pemegang kekuasaan tertinggi hari ini adalah penguasa yang tidak boleh ada campur tangan dari pengusaha (oligarki).
Peran Strategis Pemerintah
Dari video yang beredar di medsos, kurang lebih 95% kawasan Gayo, Aceh Timur misalnya stok makanan hanya bisa untuk dua hari. Kemudian Walikota Sibolga yang dikabarkan hilang kontak selama 4 hari artinya rakyat Sibolga kehilangan pemimpin dalam menyelesaikan masalahnya, hingga akhirnya masyarakat bergerak sendiri.
Ketika bantuan sudah datang lewat udara, helikopter, dan evakuasi bantuannya sudah ada tapi kurang. Sampai turun bantuan dari Malaysia yang digadang-gadang jumlah bantuan sebanyak 4 miliar rupiah. Ada juga yang meminta bantuan dari Thailand. Yang akhirnya dari Elon Musk, penggunaan starlink digratiskan hingga minimarket yang mengizinkan diambil semua barang di dalamnya asal jangan dirusak bagian bangunan tersebut.
Selayaknya penyedia semua fasilitas serta kebutuhan korban banjir tersebut adalah tugas pokok pemerintah. Pemerintah perlu belajar dari bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh. Setelah Tsunami yang luar biasa besar kerusakannya, terbitlah panduan penanganan penanggulangan bencana dalam hal ini BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), ada undang-undang, ada peraturan pemerintah dari bencana ke bencana. Namun jangan gagap dan lambat harus ada eksekusi langsung karena korban tidak menunggu validasi di media akan arahan penguasa. Buktinya jeritan korban di sana-sini mengharap bantuan yang tak menyentuh wilayahnya.
Paradigma Kapitalisme Versus Islam dalam Penanganan Bencana Alam
Solusi pemerintah tidak sistematis dalam menyelesaikan problematika bencana. Sistem sekuler kapitalisme meniscayakan keserakahan dan ketamakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan penguasa dan pengusaha. Mereka tak peduli dengan nasib masyarakat luas yang terdampak hingga berjatuhan korban jiwa. Sebab inilah kita tidak layak berharap pada solusi dari kapitalisme yang selalu tambal sulam. Selesai satu masalah timbul masalah lainnya.
Bantuan yang diharapkan berupa bantuan yang lebih strategis dibanding sekedar logistik antara lain, bantuan dana, alat berat, jumlah personil penyelamat yang memadai, pembukaan jalur transportasi dan alternatif yang putus, serta kebijakan publik agar melarang alih fungsi hutan menjadi perkebunan, non hutan.
Miris sekali ketika faktor keterbatasan anggaran menjadi alasan kelambanan di lapangan. Bantuan yang datang seadanya, kerap datang terlambat datang dengan alasan lokasi yang susah dijangkau dan personel yang belum tiba di lokasi karena masih menangani bencana di wilayah lain. Alih-alih mitigasi, untuk tanggap darurat pemerintah malah gagap.
Lambannya negara dalam menangani bencana alam tidak terlepas dari paradigma sekuler kapitalis yang menyebabkan para penguasa tak memiliki empati, kepedulian dan keinginan serius untuk mengatasi bencana secara tuntas. Pembukaan lahan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan adalah bukti nyata munculnya bencana. Maka dari itu paradigma usang kapitalisme ini harus diubah dengan paradigma shahih, yaitu Islam.
Allah menjelaskan dalam Qur'an Surah Ar Rum ayat 41 yang artinya:
"Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Terkait penanganan bencana, pemimpin dalam Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana dan menghindarkan masyarakat dari resiko bencana. Keharusan dalam menerapkan aturan yang tidak merusak lingkungan terutama dalam hal-hal yang mengundang azab Allah Ta'ala menjadi yang paling mendasar.
Mitigasi, tanggung jawab penuh sang penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya. Lalu aktivitas menolong bisa dilakukan oleh masyarakat secara mandiri dan itu merupakan amal shaleh yang dianjurkan dalam Islam. Pemimpin dalam Islam akan membuat kebijakan tentang penataan lingkungan dan lahan. Lahan konservasi khusus yang tidak boleh dialihfungsikan menjadi pemukiman, pertanian, infrastruktur dan pariwisata. Kawasan yang berperan sebagai penyangga ekosistem.
Kemudian dalam hal kawasan yang rawan bencana, aturannya mulai dari edukasi terjadi bencana, pembangunan infrastruktur seperti bangunan anti gempa serta sistem peringatan dini yang sistemis. Soal logistik pun diatur. Dalam kondisi darurat bencana logistik dan kesehatan merupakan bagian integral yang harus diperhatikan. Dengan demikian korban bencana yang tak dapat bekerja sebagaimana biasanya tetap mendapatkan jaminan kebutuhan primer bagi diri dan keluarganya.
Serta yang sakit ditangani secepatnya.
Terkait anggaran, negara Islam (khilafah) mempunyai pos keuangan untuk merehabilitasi bencana. Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitab Sistem Ekonomi Islam, bab Baitulmal menjelaskan bahwa uang kas negara Islam memiliki pos pengeluaran khusus, yaitu pos yang hak pembelanjaannya dikarenakan adanya unsur keterpaksaan, contoh bencana alam.
Dengan demikian, problem dana tidak akan menjadi halangan serius bagi mitigasi penanggulangan bencana ataupun menjadi alasan pemerintah maupun non pemerintah untuk membangun politik melalui tawaran hutang dan bantuan. Walhasil, tak layak bagi kita jika masih betah mengambil solusi yang tambal sulam.
Sebagai bahan renungan ayat Allah ini adalah Qur'an surah Al An'am ayat: 46 yang artinya:
"Katakanlah (Muhammad), terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu? Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang (kepada mereka) tanda-tanda kekuasaan (Kami), tetapi mereka tetap berpaling."
Wallahualam bissawab.
Via
OPINI
Posting Komentar