Opini
Negeri dengan Sejuta Bencana, Namun Minim Siaga
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Sungguh memprihatinkan kondisi alam negeri ini. Dalam beberapa pekan terakhir, banjir, longsor, hingga puting beliung kembali melanda berbagai daerah. Ribuan warga terdampak masih menunggu pertolongan, banyak di antara mereka belum terevakuasi, belum mendapatkan tempat pengungsian yang layak, dan belum memperoleh jaminan keselamatan.
Ironisnya, respons negara kembali menunjukkan pola yang sama: lamban, insidental, dan jauh dari kesiapan struktural. Padahal setiap tahun banjir dan longsor adalah “langganan tetap”. BNPB dan BPBD pun mengakui kesulitan di sejumlah lokasi karena keterbatasan tim, peralatan, hingga akses. Namun, mengapa narasi yang muncul selalu identik, kurang personel, minim alutsista sipil, anggaran mitigasi terbatas, dan koordinasi yang lambat? (MediaIndonesia, 15 Nopember 2025).
Indonesia dikenal rawan bencana, baik hidrometeorologi maupun geologi. Sayangnya, pemerintah masih bersikap reaktif daripada preventif. Alih-alih membangun sistem mitigasi jangka panjang yang berbasis kesiapsiagaan, negara justru disibukkan proyek mercusuar dan pembangunan bukan untuk rakyat. Padahal rakyat membutuhkan perlindungan nyata, bukan sekadar kunjungan pejabat atau instruksi lisan yang tidak mengubah keadaan di lapangan.
Kondisi ini tampak jelas dalam peristiwa longsor di Cilacap, ketika Presiden harus meminta percepatan penanganan korban karena proses penyelamatan berjalan lambat. Di banyak wilayah lain, hambatan serupa terjadi akibat cuaca buruk, medan berat, serta minimnya peralatan. Semua ini menunjukkan bahwa bencana yang terus berulang bukan sekadar persoalan curah hujan, tetapi buah dari kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan yang dibiarkan berlangsung bertahun-tahun.
Selain itu alih fungsi lahan, pengerukan kawasan resapan, pembukaan hutan, pembangunan yang tidak sesuai daya dukung, serta orientasi ekonomi jangka pendek telah membuat ruang hidup rakyat rapuh. Maka tidak heran bila bencana alam yang terjadi sejatinya merupakan konsekuensi kebijakan yang abai terhadap keseimbangan ekologis. Selama tata ruang tunduk pada kepentingan investasi, risiko bencana akan terus berulang dan kian parah.
Di sisi lain, penanganan yang lamban menunjukkan bahwa mitigasi masih sebatas wacana. Edukasi kebencanaan tidak terbangun dari hulu, masyarakat tidak dibentuk menjadi komunitas tangguh, dan negara tidak menyediakan infrastruktur respons cepat yang memadai. Setiap bencana selalu diiringi gagap koordinasi dan evakuasi terlambat. Ini membuktikan bahwa mitigasi belum menjadi prosedur yang terinternalisasi dalam sistem.
Padahal pemerintah sebagai penanggung jawab utama seharusnya menyiapkan dua hal: kebijakan preventif dan kuratif. Preventif diwujudkan melalui penataan ruang yang disiplin, pengawasan lingkungan yang tegas, pembangunan sesuai daya dukung, serta pendataan risiko yang akurat. Sementara kebijakan kuratif menuntut kesiapan logistik, personel, teknologi, jalur distribusi, hingga protokol penyelamatan yang cepat dan terintegrasi. Sayangnya, keduanya belum dijalankan secara sungguh-sungguh.
Dengan demikian, akar persoalan bukan pada alam atau cuaca, tetapi pada paradigma pengelolaan negeri yang tidak menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas. Di sinilah Islam menawarkan konstruksi yang komprehensif dengan dua dimensi: ruhiyah dan siyasiyah.
Dimensi ruhiyah memandang bencana sebagai tanda kekuasaan Allah sekaligus momentum tadabbur dan muhasabah. Kesadaran ini menuntun manusia untuk bertaubat, memperbaiki akhlak, dan kembali kepada hukum-hukum-Nya secara kaffah. Sementara dimensi siyasiyah menuntut penguasa menjalankan amanah penjagaan jiwa (hifzhun-nafs) melalui tata kelola ruang yang benar, eksploitasi alam yang tidak berlebihan, mitigasi yang efektif, dan respons bencana yang cepat dan terkoordinasi. Kelalaian dalam aspek ini adalah kelalaian menjaga nyawa rakyat.
Negara juga berkewajiban memberikan edukasi ruhiyah kepada umat, menanamkan pemahaman bahwa kerusakan alam adalah akibat ulah manusia. QS Ar-Rûm ayat 41 menegaskan bahwa merusak lingkungan bukan sekadar pelanggaran teknis, tetapi dosa yang mengancam keberlanjutan hidup. Rasulullah ﷺ pun melarang merusak pohon, mencemari air, dan menghancurkan sumber daya yang bermanfaat bagi kehidupan.
Ketika bencana terjadi, negara wajib memberikan bantuan yang layak dan cepat, menyediakan kebutuhan dasar, layanan kesehatan, hunian sementara, serta pendampingan sosial. Negara juga bertanggung jawab memulihkan kehidupan penyintas hingga mereka kembali hidup normal tanpa birokrasi berbelit atau diskriminasi.
Namun semua itu tidak akan terwujud tanpa Islam sebagai institusi. Selama sistem tetap sekuler, mitigasi bencana akan tetap parsial dan reaktif. Islam memerlukan wadah politik yang menerapkan syariah secara menyeluruh, aturan yang menegakkan keadilan, menjaga alam, dan melindungi jiwa manusia. Dengan penerapan syariah total, negara mampu membangun tata kelola ruang hidup yang berkelanjutan dan mitigasi bencana yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Karena itu, kembalinya kehidupan Islam bukan hanya kebutuhan umat, tetapi tuntutan zaman agar bencana tidak terus menjadi lingkaran penderitaan yang berulang. Dengan Islam, adalah harapan paripurna bagi alam, manusia, dan seluruh kehidupan.
Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar