Opini
Bencana Berulang: Sampai Kapan Kita Menunggu Keseriusan Mitigasi?
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Bencana kembali menghantam negeri ini, dan seperti biasa: rakyat menjadi pihak pertama yang menderita sementara respons negara berjalan tertatih. Di Cilacap, tanah longsor menelan korban jiwa, hingga Presiden meminta agar penanganan dipercepat (Media Indonesia, 18 November 2025). Namun proses evakuasi terus berjalan lambat hingga hari kesepuluh masih ada jenazah yang belum ditemukan (Media Indonesia, 22 November 2025).
Di Banjarnegara, puluhan warga masih diduga tertimbun material longsor (CNN Indonesia, 17 November 2025). Di daerah lain seperti Kepulauan Seribu, Aceh, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Barat, banjir merendam pemukiman dan memaksa warga mengungsi (CNN Indonesia, 23 November 2025; Antaranews, 19 November 2025). BNPB dan BPBD bekerja keras, namun tetap menghadapi medan berat, cuaca ekstrem, dan minimnya sumber daya (BBC Indonesia, 20 November 2025). Rangkaian peristiwa ini memperlihatkan fakta pahit: kita belum benar-benar siap menghadapi bencana.
Bencana: Fenomena Alam atau Akumulasi Kelalaian?
Ahli lingkungan menyebut kawasan terdampak longsor seperti Banjarnegara dan Cilacap mengalami kerusakan ekologis akibat tata ruang yang tidak terkendali dan eksploitasi hutan (Mongabay, 19 November 2025). Artinya, sebagian bencana bukan sekadar “takdir alam,” melainkan akibat campur tangan manusia yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Respons Pemerintah masih bersifat reaktif. Selama bertahun-tahun, pola yang terjadi tetap sama:
1. Bencana datang tiba-tiba.
2. Pemerintah merespons secara darurat.
3. Bantuan dan kesigapan bergantung kondisi lapangan dan relawan.
4. Setelah itu, semuanya kembali sunyi—hingga bencana berikutnya datang lagi.
Mitigasi yang seharusnya menjadi kebijakan permanen dan terukur, justru terlihat seperti proyek insidental yang hanya bergerak saat kamera televisi menyorot lokasi bencana.
Islam: Bencana sebagai Renungan dan Tanggung Jawab Politik
Islam hadir dengan dua sudut pandang dalam memahami bencana:
1. Dimensi Ruhiyah: Alarm Kesadaran
Al-Qur'an mengingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia.” (TQS. Ar-Rum: 41)
Pesan ini bukan sekadar ayat, tetapi prinsip moral bahwa merusak alam adalah dosa, dan bencana sering kali merupakan pesan agar manusia memperbaiki sikapnya terhadap ciptaan Allah.
2. Dimensi Siyasiyah: Negara Wajib Melindungi Warganya
Dalam fikih Islam, menjaga jiwa (hifzhun nafs) adalah kewajiban negara. Karena itu, mitigasi bencana bukanlah pilihan, melainkan mandat yang harus diprioritaskan.
Ketika Negara Benar-Benar Hadir: Pelajaran dari Sejarah Islam
Dua peristiwa besar pada masa kekhilafahan menunjukkan bagaimana negara dapat mengambil peran aktif dan bertanggung jawab saat bencana terjadi:
a. Tahun Ramadah pada Masa Umar bin Khattab
Pada saat kekeringan ekstrem melanda Jazirah Arab, Umar bin Khattab mengambil langkah konkret:
• Menghentikan sementara pungutan zakat ternak agar rakyat tidak terbebani.
• Mengimpor bahan pangan dalam jumlah besar dari Mesir dan Syam.
• Membuka dapur umum dan distribusi logistik harian.
• Mengawasi langsung kondisi rakyat, bahkan memastikan tidak ada satu pun yang tidur dalam keadaan lapar.
• Mengatur ulang sistem ketahanan pangan pasca krisis agar bencana tidak terulang.
Bencana tidak dibiarkan menjadi beban rakyat — negara hadir sepenuhnya.
b. Penanganan Banjir Sungai Eufrat
Ketika Sungai Eufrat meluap dan merusak kawasan permukiman pada masa kekhilafahan, negara tidak berhenti pada evakuasi dan bantuan darurat. Pemerintah saat itu melakukan:
• Rekayasa tata ruang ulang kawasan sungai.
• Pembangunan tanggul dan kanal penahan banjir.
• Relokasi penduduk ke zona aman.
• Pemetaan ulang wilayah rawan agar pembangunan tidak berulang di lokasi berbahaya.
Penanganan ini menunjukkan bahwa mitigasi bukan hanya solusi hari ini, tetapi investasi keselamatan generasi mendatang.
Saatnya Berhenti Menormalisasi Bencana
Indonesia adalah salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Karena itu, kita seharusnya bukan hanya cepat merespons—tetapi paling siap.
Bencana bukan sekadar berita duka atau momentum simpati publik. Ia adalah alarm sistemik bahwa:
• tata ruang kita sedang sakit,
• mitigasi kita lemah,
• dan negara masih melihat bencana sebagai peristiwa insidental, bukan kenyataan permanen.
Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah Indonesia?
Melihat pola bencana yang terus berulang dan penanganan yang masih sporadis, pemerintah perlu mengambil langkah lebih serius dan komprehensif:
1. Reformulasi Tata Ruang Nasional
• Moratorium izin tambang, perkebunan, dan pembangunan properti di wilayah resapan air, sempadan sungai, kawasan rawan longsor, dan garis pantai.
• Reforestasi massif dengan melibatkan masyarakat dan penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan.
2. Penguatan Sistem Mitigasi dan Early Warning
• Modernisasi teknologi peringatan dini berbasis AI, satelit, dan sensor pemantau geologi-hidrometeorologi.
• Penguatan desa tangguh bencana berbasis komunitas.
3. Standarisasi Prosedur Penanganan Bencana
• Tim evakuasi profesional permanen, bukan tim yang baru digerakkan saat bencana.
• Logistik dan shelter yang manusiawi, aman, serta ramah perempuan, anak, dan disabilitas.
4. Pendampingan Pasca Bencana
• Rehabilitasi fisik, psikososial, dan ekonomi korban hingga pulih mandiri.
• Rekonstruksi pemukiman berbasis build back better, bukan kembali ke lokasi rawan.
Bencana memang bagian dari ketetapan Allah, namun kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia adalah tanggung jawab moral dan politik. Indonesia tidak bisa terus mengulang pola yang sama: membiarkan alam rusak, lalu panik ketika bencana datang.
Alam telah memberi peringatan. Kini tinggal menunggu: apakah kita memilih belajar—atau mengulang luka yang sama?
Via
Opini
Posting Komentar