OPINI
Bencana Berdatangan, Sistem Mitigasi Urgen Butuh Perbaikan
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Deretan bencana datang melanda saat masa pancaroba. Banjir, longsor, puting beliung dan berbagai bencana lainnya. Perubahan musim memang biasa diiringi dengan berbagai perubahan kondisi yang tidak stabil.
Salah satu bencana yang kini menjadi sorotan adalah bencana tanah longsor di Cilacap, Jawa Tengah. Bencana yang terjadi pada Kamis, 13 November 2025 lalu menyisakan pilu. Banyak orang diperkirakan masih tertimbun di dalam tanah (kompas.com, 14-11-2025). Curah hujan yang tinggi disebutkan sebagai penyebab utama terjadinya longsor. Tidak kurang dari 21 orang dilaporkan meninggal dunia akibat bencana tersebut (metrotvnews.com, 22-11-2025). Operasi pencarian masih terus dilakukan. Namun sayang, kendala di lapang menyebabkan hasil pencarian tidak bisa secepat yang diharapkan. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) terkendala cuaca, medan yang sulit dan adanya keterbatasan tim pencarian.
Dampak Rusaknya Lingkungan
Memang betul, bencana datang karena kehendak Dzat Maha Pencipta. Namun, kita sebagai makhlukNya mestinya mampu mengusahakan perlindungan dan usaha preventif yang optimal untuk mengurangi dampak yang terjadi. Bencana tahunan terus berulang. Korban terus bertambah dari tahun ke tahun karena layanan tanggap darurat sering terkendala.
Selayaknya, pemerintah mampu menetapkan langkah antisipatif yang serius dengan tatanan jelas. Mitigasi tanah longsor dan bencana lainnya, wajib disiapkan dengan mekanisme dan strategi yang matang, mengingat Indonesia merupakan negara dengan kontur tanah yang rentan bencana.
Longsor yang terus berulang seharusnya menjadi pelajaran penting agar negara mampu memperkuat upaya pencegahan dan penanganan secara optimal. Namun sayang, mitigasi bencana belum dianggap sebagai program kebijakan yang mendesak. Banyak program lain yang tidak terlalu penting justru dijadikan prioritas, seperti pembangunan infrastruktur yang kurang tepat sasaran dan tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, program mitigasi yang sifatnya preventif selalu terhambat oleh masalah anggaran.
Datangnya bencana berkali-kali ditanggapi dengan gagap. Anggaran penanggulangan bencana tidak disiapkan secara memadai sehingga tidak maksimal mengurangi resiko yang terjadi. Proses penganggarannya pun berbelit-belit. Alhasil, masyarakat yang terdampak bencana sering kali terlalaikan tanpa kepastian bantuan. Banyak warga akhirnya bergerak sendiri, menanggung biaya sendiri, bahkan mencari solusi sendiri. Kondisi ini sungguh memprihatinkan.
Betapa buruknya penerapan sistem yang tidak mampu menjaga keselamatan rakyat. Inilah sistem kapitalisme sekuleristik yang hanya mengedepankan kebijakan populis ketimbang urgensi layanan rakyat. Dalam sistem ini, kepentingan masyarakat kerap dipandang sebelah mata. Negara hanya bisa lepas tangan ketika rakyat menghadapi musibah.
Tata kelola negara dalam cengkeraman kapitalisme memang buruk. Kebijakan negara lebih mengutamakan keuntungan materi meski masyarakat sedang menderita. Sistem sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan semakin memperburuk keadaan. Rakyat tidak dipandang sebagai amanah yang harus dijaga, melainkan beban. Tidak heran jika pelayanan publik jauh dari optimal.
Kerusakan ini mengancam keselamatan masyarakat. Lemahnya mitigasi menunjukkan bahwa negara tidak mampu menjadi ra’in, penjaga rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya menjadi regulator dan fasilitator bagi kepentingan pemilik modal. Wajar bila kebutuhan rakyat terabaikan.
Bencana pun tidak selalu murni bersifat alamiah. Banyak bencana terjadi akibat pembangunan ala kapitalisme yang memberi ruang luas kepada kapitalis oligarki. Mereka mengubah kawasan resapan air menjadi area bisnis, seperti mengalihfungsikan hutan lindung untuk pemukiman atau membuka industri di wilayah serapan air. Kelestarian lingkungan diabaikan, sementara dalih “pertumbuhan ekonomi” terus digaungkan.
Tata Kelola Bijaksana
Dalam sistem Islam, negara wajib menjauhkan rakyat dari bahaya, termasuk bencana. Negara menetapkan strategi dan mekanisme pembangunan yang sesuai untuk kota maupun desa, semuanya berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
Islam juga mengatur pembangunan berbasis mitigasi bencana. Konservasi lingkungan diwajibkan, termasuk melarang perusakan tanaman maupun satwa untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Islam mewajibkan pemetaan wilayah berdasarkan potensi bencana sehingga tata ruang dapat disusun sesuai kondisi geografis. Salah satunya usaha negara untuk mengedukasi masyarakat agar tidak menempati wilayah rawan bencana. Tujuannya jelas, yakni menjaga keselamatan rakyat dan menjaga keseimbangan alam.
Demikianlahl konsep Islam yang berjalan dalam satu institusi khas, yakni khilafah. Satu-satunya institusi yang mampu menjamin keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan.
Allah Swt. berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari dampak perbuatan mereka, agar mereka kembali.”
Ayat ini menegaskan bahwa berbagai kerusakan adalah akibat ulah manusia. Karena itu, negara selaku penjaga rakyat, wajib membuat kebijakan yang menjaga kelestarian lingkungan dan keselamatan setiap individu rakyat.
Sungguh, tata kelola bijaksana hanya mampu diterapkan saat tatanan kehidupan mampu memposisikan agama (Islam) sebagai satu-satunya aturan mendasar dalam mengelola kepentingan umat. Hanya dengannya umat terjaga, keselamatan nyawa pun terpelihara.
Wallahu a’lam bishshawab.
Via
OPINI
Posting Komentar