Opini
Bullying, Dosa Pendidikan yang Tak Pernah Habis
Oleh: Muezza Amanda
(Psikolog)
TanahRibathMedia.Com—Tahun 2025 ini merupakan tahun yang luar biasa kelam bagi dunia pendidikan. Ratusan kasus yang menyorot perhatian publik terjadi di ruang lingkup pendidikan. Mulai dari masalah hilangnya rasa hormat dari siswa kepada guru, serta berbagai kasus balas dendam korban bullying terhadap pelaku dan sistem pendidikan. Selama ini, dari sekian banyak kasus bullying, biasanya ketika mencapai puncak permasalahnnya, korban memilih untuk bunuh diri, memilih untuk meninggalkan dunia yang memperlakukan mereka dengan “kejam”. Namun sekarang kita lihat bahwa korban tidak puas dengan hanya menghilangkan nyawanya sendiri, namun memberikan dampak yang lebih luas terhadap lingkungan sekitarnya. Inilah Fenomena “Balas Dendam” yang terjadi pada korban bullying saat ini.
Laman Beritasatu.com (8-11-2025) mengabarkan, seorang santri yang merasa sakit hati akibat menjadi korban bulyiing teman-temannya, memilih untuk membalas dendam dengan membakar asrama pondok pesantrennya tempat ia tinggal. Selain kasus tersebut ada juga kasus peledakan masjid ketika shalat jumat di SMA negri di Jakarta. Kesemuanya ini adalah, “balas dendam” yang dilakukan oleh “Korban” bullying. Para korban ini mengalami tekanan sosial yang berat akibat ejekan, pelecehan dan pengucilan yang terjadi dalam lingkungan sosial sekolah, tekanan sosial dan psikologis yang dirasakan mendorong mereka pada keputusan tersebut.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menungkapkan bawah kasus kekerasan terhadap anak meningkat tajam pada tahun 2024 dengan kenaikan lebih dari 100%, pada tahun 2025, KPAI mencatat terjadi 1.052 kasus pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2025. SIMFONI PPA semester 1 tahun 2025 mencatat sebanyak 392 kasus kekerasan dengan 426 Korban. Angka tersebut terus meningkat, mencapai 519 kasus hingga agustus 2025 ini dan telah mencapai 586 kasus per september 2025. Jumlah anak-anak yang mengalami kekerasan sebanyak 72% dari jumlah korban yang ada. KPAI juga mencatat bahwa 16% kasus ini terjadi di ruang sekolah, dari sekian kasus yang terjadi 26 diantaranya menelan korban jiwa, sepertiga dari korban kasus bunuh diri terjadi pada satuan pendidikan.
Berbagai kasus yang terjadi saat ini bukanlah permasalah individu, Sejatinya apa yang terjadi sekarang adalah luka kolektif pada anak-anak akibat sistem pendidikan dan negara yang menghapuskan “ruang tumbuh dan ruang aman” bagi mereka. Keluarga sebagai tempat mereka “berlindung” kini kian rapuh dan mudah hancur, dengan orang tua yang sulit hadir untuk mereka karena sibuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, dan juga tanggung berbagai biaya demi harapan memperbaiki masa depan keluarga. Masyarakat sudah tidak lagi ramah anak, yang karena yang diharapkan adalah “pekerja” yang bisa menghasilkan yang ditunggu oleh masyrakat adalah mereka yang mampu menjadi anggota produktif, bukan “beban”. Dan disekolah, bukan lagi tempat menimba ilmu dan berkembang untuk menjadi manusia, namun “tempat berkompetisi”, saling berjuang untuk mendapatkan tempat nanti di masyarakat.
Anak-anak ini kehilangan tempat tumbuh dan berkembang, untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Dan dalam perjalanannya, berbagai ekspektasi yang tak masuk akal dan sehat membuat mereka demikian terluka. Tak ada yang mendengar jeritan, hanya bisa mencari pelarian dalam dunia maya, namun yang didapat bukanlah tempat aman. Namun justru semakin menepi ke jurang dengan berbagai informasi yang tak disaring, baik dan buruknya semuanya masuk ditengah pikiran mereka yang begitu sepi dan kacau balau. Sosial media yang selalu “memvalidasi korban” menyebabkan mereka berpikir bahwa yang menindas mereka adalah “musuh”. Padahal nyatanya, korban dan pelaku, hanya memiliki label yang satu yaitu “Korban dari sistem”.
Sistem pendidikan sekuler yang berfokus pada materi, membuat kepribadian anak-anak yang begitu rapuh. Mereka didorong untuk terus memvalidasi “Perasaan”, yang sejatinya adalah variabel yang sangat mudah untuk berubah, tergantung pada stimulasi eksternalnya, sesuatu yang begitu “labil” untuk menjadi patokan sebuah tindakan. Segala capaian disandingkan dengan kepemilikan materi, sehingga ketika tidak terpenuhi standar untuk mencapai kesana, akhirnya masyarakat secara otomatis “menyingkirkan” mereka yang tak mampu bersaing, dengan berbagai cemoohan dan hukuman sosial lainnya, termasuklah apa yang terjadi dalam satuan pendidikan saat ini. Pendidikan yang hanya beruapay untuk mempersiapkan “tenaga kerja.” takkan pernah bisa “memanusiakan” manusia.
Dalam kondisi seperti ini, perlu disadari dengan lekat bahwa bullying adalah tanggung jawab sosial, bukan individu, karena sejatinya bullying terjadi karena pelaku, dulunya menjadi korban. Untuk bisa memutus mata rantai ini, dibutuhkan pendidikan yang mendidik karakter anak-anak ini, menjadi sebuah karakter manusia yang “mulia.”
Harus disampaikan pada anak-anak secara intensif untuk mengenali diri mereka, mengenai hakikat kehidupan mereka, bahwa nyawa mereka, segala apa yang ada pada tubuh dan sekitar mereka semuanya adalah titipan, dan merupakan sesuatu yang semu. Mengeluarkan pola pikir mereka dari materialis kepada nilai maknawi dan ruhiyan memerlukan sistem pendidikan yang konkrit dengan tahapan yang jelas. Disinilah peran negara untuk memastikan sebuah sistem pendidikan dari unit terkecil sampai terbesar. Negara akan memastikan keberadaan orang tua sebagai pendidikan pertama bagi anaknya, akan dipastikan bahwa orang tua memiliki kesiapan untuk melakukan pendidikan pertama didalam keluarga. Keberadaan kedua orang tua yang dekat, lengkap dan intim dengan anak akan memberikan stabilitas yang akan berpengaruh luar biasa pada perkembangan anak baik secara emosional maupun kognitif.
Kurikulum yang didasarkan pada akidah, dimana seorang manusia memposisikan dirinya sebagai hamba, akan menghasilkan kepribadian yang islami, dimana tak akan berani seorang individu mencela dan menghina mahluk Penciptanya. Setelah terbentuk pemikiran dan kepribadian islam melalui sistem pendidikan yang terintegrasi kedalam masyarkat, kemudian negara wajib mejadi penjamin utama keberlangsungan pendidikan tersebut, menjaga dan membina moral umat dan melindungi generasi dari fenomena kezaliman yang terjadi ditengah masyarakat, dan yang pasti melakukan penjaringan bahwa sebelum bibit-bibit fenomena itu bercokol ditengah masyarakat. Inilah sistem pendidikan yang akan melahirkan idividu yang kuat mentalnya dan tinggi adabnya, karena sungguh hanya akidah islam yang kaffah yang bisa menyelamatkan generasi anak-anak kita pada saat ini.
Wallahu a'lam bi shawab.
Via
Opini
Posting Komentar