SP
Menyalakan Kembali Api Peradaban Santri
TanahRibathMedia.Com—Setiap tanggal 22 Oktober, negeri ini kembali dipenuhi semangat peringatan Hari Santri. Di berbagai daerah, upacara, kirab, pembacaan kitab kuning, hingga festival sinema digelar dengan meriah. Sorak kebanggaan dan nostalgia perjuangan para ulama kembali menggema. Namun di balik gegap gempita itu, terselip pertanyaan mendasar: apakah peringatan Hari Santri hari ini benar-benar menjadi momentum kebangkitan peran santri sebagai fakih fiddiin dan agen perubahan, atau sekadar ritual tahunan yang kehilangan ruh perjuangannya?
Fenomena yang terlihat justru menunjukkan bahwa Hari Santri lebih banyak diisi seremoni simbolik ketimbang refleksi substantif. Santri kerap disebut penjaga moral dan pelopor kemajuan, namun arah kebijakan negara belum sepenuhnya mendukung peran strategis mereka dalam menjaga akidah, memperjuangkan syariat Islam, dan melawan penjajahan gaya baru. Pujian terhadap Resolusi Jihad 1945 memang menggugah, tetapi maknanya berhenti di tataran retorika.
Dalam praktiknya, banyak kebijakan yang menjadikan santri sekadar agen moderasi beragama atau penggerak ekonomi, bukan pengawal ideologis yang memperjuangkan kedaulatan umat dan kemuliaan Islam.
Kecenderungan ini menandakan pergeseran makna perjuangan santri dari misi jihad intelektual dan spiritual menuju fungsi pragmatis dalam sistem sekuler kapitalistik. Padahal, tantangan zaman modern jauh lebih kompleks. Penjajahan kini tidak lagi berwujud senjata dan peluru, tetapi hegemoni ekonomi, budaya, dan ideologi. Di titik ini, santri seharusnya hadir sebagai benteng terakhir yang menjaga umat agar tidak larut dalam arus liberalisasi nilai, kemerosotan moral, dan hilangnya arah perjuangan Islam. Ketika pesantren dikerdilkan hanya menjadi tempat pelatihan keterampilan, maka ruh perjuangan Islam yang dahulu menggelora melalui Resolusi Jihad lambat laun kian pudar.
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa semangat perjuangan dan pengorbanan adalah kunci kebangkitan peradaban.
Pada masa Khilafah Islamiyah, setiap momentum keagamaan tidak hanya dirayakan dengan seremoni, tetapi dijadikan titik tolak untuk memperkuat iman, meneguhkan ukhuwah, dan menyalakan semangat jihad. Lihatlah ketika Khalifah Umar bin Khattab menetapkan penanggalan hijriah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi Muhammad ï·º dari Makkah ke Madinah. Hijrah bukan hanya perpindahan tempat, tetapi simbol perjuangan meninggalkan sistem jahiliyah menuju tatanan Islam yang berkeadilan. Dari peristiwa itu, umat belajar bahwa kemenangan Islam hanya dapat diraih melalui pengorbanan, kesadaran, dan persatuan di bawah satu visi besar: tegaknya agama Allah di muka bumi.
Nilai-nilai itulah yang seharusnya dihidupkan kembali melalui Hari Santri. Peringatan ini mesti menjadi momen kebangkitan spiritual dan intelektual, bukan sekadar agenda seremonial yang kehilangan substansi. Santri perlu diarahkan untuk memiliki visi jihad yang komprehensif—berani menentang kezaliman, melawan kemaksiatan sistemik, dan memperjuangkan tegaknya syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti para ulama pejuang dahulu, santri hari ini harus berani tampil sebagai pelopor perubahan, bukan sekadar pelengkap pembangunan nasional yang sekuler.
Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan pesantren tidak tercerabut dari akar perjuangannya. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan tradisional, melainkan pilar peradaban Islam yang melahirkan generasi ulul albab: berilmu, berani, dan berjiwa dakwah. Negara perlu menegaskan peran pesantren dalam membangun umat yang mandiri secara akidah, kuat secara moral, dan tangguh secara ideologis—bukan sekadar mencetak tenaga kerja murah bagi sistem kapitalisme global.
Karena itu, Hari Santri tidak seharusnya berhenti pada nostalgia masa lalu. Ia harus menjadi momentum kebangkitan baru, tempat di mana santri menyadari kembali peran sejatinya sebagai penjaga umat dan penerus risalah Rasulullah ï·º. Seperti hijrah yang menjadi titik awal perubahan peradaban Islam, Hari Santri pun seharusnya menyalakan kembali api perjuangan menuju tegaknya keadilan, kemandirian, dan kemuliaan Islam di tengah dunia modern.
Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Via
SP
Posting Komentar