OPINI
‘Bullying’ dan Ledakan Emosi Remaja: Ketika Korban Tak Lagi Diam
Oleh: Darnia
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena gangguan mental di kalangan remaja Indonesia kian memprihatinkan. Survei Indonesia National Mental Health 2024 mencatat 39,4 persen remaja mengalami masalah mental, dan angkanya terus meningkat 20–30 persen setiap tahun. Angka itu bukan sekadar data, tetapi potret rapuhnya kondisi kejiwaan generasi muda kita.
Beragam aturan dan program edukasi telah dibuat untuk mencegah bullying/perundungan. Namun, seperti kaset kusut, perundungan tetap berulang. Mirisnya, bentuknya kini semakin ekstrem dan berujung pada kekerasan fisik bahkan nyawa. Kasus terbaru terjadi di Aceh Besar: seorang santri di bawah umur nekat membakar asrama pondok pesantrennya karena sakit hati kerap dibully oleh rekan-rekannya (Beritasatu.com, 8-11-2025).
Kasus ini menggambarkan bahwa bullying bukan lagi sekadar ejekan ringan, melainkan telah menjadi ancaman serius bagi keselamatan fisik dan mental pelajar. Jika dibiarkan, sekolah bukan lagi ruang aman pembentukan karakter, melainkan ladang subur bagi kekerasan dan dendam terpendam.
Akar Masalah Sistemik
Keluarga, sekolah, dan masyarakat sering menjadi pihak pertama yang disorot dalam kasus bullying. Orang tua sibuk bekerja, pengawasan melemah, anak lebih banyak belajar dari internet yang sarat konten kekerasan. Namun, faktor-faktor itu sejatinya hanyalah dampak permukaan. Akar masalah sebenarnya terletak pada sistem kehidupan yang diterapkan yaitu sekuler kapitalisme. Sistem ini menyingkirkan nilai-nilai agama dari kehidupan publik dan menggantinya dengan paham kebebasan tanpa batas. Akibatnya moralitas memudar, empati tumpul, dan perilaku kasar dianggap hal lumrah.
Kurikulum pendidikan sekuler juga gagal membentuk kepribadian beradab. Peserta didik didorong untuk berkompetisi, tapi tidak diajarkan bagaimana menghargai dan menyayangi sesama. Akibatnya, sekolah justru menjadi tempat tumbuhnya sikap saling menjatuhkan.
Dengan demikian, perundungan yang marak saat ini bukan sekadar masalah perilaku individu, tetapi hasil dari sistem yang rusak dan merusak. Sistem ini menggiring manusia, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak pada jurang keburukan yang dalam.
Solusi Islam yang Menyeluruh
Islam menawarkan solusi yang bersifat sistemik, bukan tambal sulam. Dalam sistem Islam (Khilafah), akidah Islam menjadi asas seluruh kebijakan — termasuk dalam membina generasi. Islam menetapkan bahwa melindungi anak dari kezaliman adalah tanggung jawab bersama: keluarga, masyarakat, dan negara.
1.Ketakwaan Individu dan Keluarga
Islam menanamkan kontrol diri melalui ketakwaan. Anak dididik untuk takut berbuat zalim karena sadar Allah selalu mengawasi. Keluarga menjadi benteng pertama pendidikan akhlak, bukan sekadar tempat memenuhi kebutuhan fisik.
2. Kontrol Masyarakat
Budaya amar makruf nahi mungkar harus hidup di tengah masyarakat. Lingkungan yang tidak permisif terhadap kemaksiatan akan mencegah tumbuhnya perilaku kasar, kejam, atau apatis terhadap sesama.
3. Peran Negara
Negara Islam wajib menegakkan aturan syariat secara total. Pendidikan diselenggarakan dengan kurikulum Islam yang membentuk kepribadian mulia dan ilmuwan yang beradab. Negara juga menjamin keamanan publik, membersihkan ruang media dari konten merusak, serta menindak tegas pelaku kejahatan sesuai hukum syariat.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Muslim dan Ahmad)
Sanksi bagi Pelaku Anak
Dalam hukum Islam, anak yang belum baligh tidak dikenai sanksi pidana (‘uqubat) karena belum mukalaf. Rasulullah saw. bersabda, “Telah diangkat pena dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia waras.” (HR Abu Dawud)
Namun, wali yang lalai dalam mendidik anak bisa dikenai sanksi atau pembinaan. Negara juga bertanggung jawab melakukan edukasi dan pembinaan agar perilaku menyimpang anak tidak berulang. Ketika seseorang sudah baligh, barulah ia dikenai tanggung jawab hukum penuh, termasuk sanksi diyat jika menyebabkan luka atau kerusakan pada orang lain.
Ibrah dari Rasulullah saw.
Rasulullah saw. pernah menegur keras sahabat Abu Dzar al-Ghifari yang menghina Bilal bin Rabah dengan ucapan bernada rasialis. Beliau bersabda, “Sungguh, dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliah.” Teguran ini membuat Abu Dzar menangis, menyesal, dan meminta maaf dengan kerendahan hati. Peristiwa itu menunjukkan bahwa Islam sangat tegas melawan segala bentuk penghinaan dan perundungan. Islam tidak hanya menolak bullying, tapi juga menumbuhkan empati, keadilan, dan kesetaraan di antara manusia.
Kasus demi kasus bullying yang muncul hari ini seharusnya menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Selama sistem sekuler kapitalisme tetap dipertahankan, kekerasan akan terus berulang dengan wajah yang berbeda. Sudah saatnya kita berani beralih pada sistem yang benar-benar menyehatkan jiwa manusia dan membina generasi beradab yaitu sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah.
Wallahu a‘lam bisshawab.
Via
OPINI
Posting Komentar