OPINI
Batam Darurat Sampah: Mengurai Benang Kusut Akar Masalah
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Sepekan terakhir, Batam kembali menjadi sorotan akibat tumpukan sampah yang menggunung di berbagai titik. Media sosial penuh dengan foto jalanan yang dipenuhi kantong sampah dengan bau menyengat yang dikeluhkan warga, sampai pada kritik tentang lambannya penanganan dari pihak-pihak terkait. Pemerintah Kota Batam mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus berusaha mengatasi krisis sampah ini dengan berbagai langkah strategis dari hulu hingga hilir (Batamnews, 21 November 2025).
Persoalan sampah di Batam sebenarnya bukanlah hal baru. TPA Telaga Punggur yang beroperasi sejak 1997 itu kini sudah hampir di ambang maksimal. Sementara itu, armada pengangkut juga tidak sebanding dengan jumlah sampah yang terus meningkat. Pengelolaan TPA pun belum menerapkan sanitary landfill secara ideal. Kondisi ini diperparah dengan jumlah armada pengangkut yang terbatas dan sering mengalami kerusakan hingga membuat proses pengangkutan tidak optimal.
Perihal kesejahteraan petugas kebersihan juga masih jauh dari kata layak. Padahal beban kerja mereka sangat berat dan berhadapan langsung dengan risiko kesehatan, dan peran mereka justru adalah peran paling vital dalam menjaga kebersihan kota meski tanpa perlindungan yang memadai.
Di sisi lain, persoalan di masyarakat juga ikut memperburuk keadaan. Rendahnya kesadaran individu dalam menjaga lingkungan menjadi salah satu akar masalah yang paling mendasar. Kebiasaan membuang sampah sembarangan seolah sudah dianggap hal biasa, sehingga perilaku itu terus berulang tanpa rasa bersalah. Pemandangan warga yang melempar kantong sampah ke pinggir jalan, selokan, sungai, bahkan ke laut, menunjukkan betapa kuatnya kebiasaan ini melekat dan betapa sulitnya mengubah pola pikir tersebut.
Minimnya edukasi tentang pemilahan sampah, lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pembuang sampah sembarangan, serta tingginya penggunaan plastik membuat volume sampah terus meningkat tanpa kendali. Pertumbuhan penduduk yang cepat juga menambah tekanan besar terhadap kapasitas TPA yang sudah hampir penuh. Rangkaian faktor ini menunjukkan bahwa persoalan sampah di Batam bukan sekadar masalah teknis di lapangan, tetapi masalah struktural yang membutuhkan pembenahan menyeluruh dari hulu hingga hilir.
Di tengah situasi ini, baik masyarakat maupun pemerintah juga tak lepas dari sikap tuduh. Pemerintah, meski telah berupaya mengatasi darurat sampah yang tidak bisa ditunda, juga kerap menyoroti sebagian warga yang dinilai kurang disiplin dalam membuang sampah. Sebaliknya, warga juga menilai pemerintah lambat dan kurang tegas dalam menangani masalah ini. Para pemerhati lingkungan menambah kritik dengan menyebut bahwa kebijakan yang ada tidak pernah benar-benar menyentuh akar persoalan. Sementara itu, media sosial menambah keruh keadaan dengan memperbesar keluhan dan memecah opini publik. Alhasil, masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama malah berubah menjadi ajang mencari kambing hitam.
Jika semua persoalan ini ditelaah lebih dalam, mulai dari buruknya tata kelola, minimnya fasilitas, rendahnya kesadaran individu, lemahnya penegakan hukum, hingga ketidakadilan terhadap para petugas kebersihan, semuanya tidak berdiri sendiri. Masalah-masalah ini lahir dari paradigma besar yang membentuk cara negara, masyarakat, dan dunia usaha memandang lingkungan, yakni paradigma sekuler-kapitalisme.
Sistem ini menempatkan keuntungan ekonomi di atas kemaslahatan publik, menjadikan pembangunan hanya berorientasi profit, serta memisahkan nilai moral dari kebijakan pengelolaan lingkungan. Dampaknya, sampah tidak pernah benar-benar dianggap sebagai amanah bersama, melainkan beban yang diurus sebatas “yang penting jalan”. Selama pola pikir sistemik ini tidak berubah, berbagai upaya teknis hanya akan menambal, bukan menyelesaikan akar persoalan.
Pada level masyarakat, perilaku membuang sampah sembarangan sebenarnya merupakan cerminan kecil dari cara pandang sekuler yang makin mengakar, yakni memisahkan nilai moral dan tanggung jawab publik dari tindakan sehari-hari. Ketika seseorang merasa urusan sampah hanyalah “urusan pribadi” dan bukan amanah sosial, ia menjadi cuek terhadap dampaknya pada lingkungan.
Pola pikir ini membuat banyak orang hanya fokus pada kenyamanan dirinya. "Ah, yang penting rumah saya bersih, urusan sampah selanjutnya bukan tanggung jawab saya." Sehingga mudah sekali melempar sampah ke jalan, selokan, atau laut tanpa rasa bersalah. Sikap ini bukan sekadar masalah disiplin, tetapi lahir dari pola pikir yang tidak menempatkan menjaga lingkungan sebagai kewajiban moral maupun bagian dari ibadah.
Persoalan sampah di Batam, dan Indonesia secara umum, sudah jelas bukan sekadar masalah teknis atau operasional. Ia telah menjadi persoalan sistemik, karena akar masalahnya menjalar dari pola pikir individu, tata kelola pemerintah, orientasi pembangunan, hingga nilai yang dianut negara. Selama sistem yang dipakai masih membiarkan pemisahan antara nilai moral dan kebijakan publik, serta menjadikan keuntungan ekonomi sebagai ukuran utama, masalah lingkungan akan terus berulang.
Upaya pemerintah dalam memperbaiki armada, menambah TPA, atau membuat kampanye kesadaran hanyalah tambalan di permukaan, apabila solusi tak menyentuh akar persoalannya. Karena itu, solusi jangka panjang tidak cukup dengan memperbaiki beberapa kebijakan. Dibutuhkan pergantian sistem secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir. Sistem yang mampu menyatukan kesadaran individu, aturan negara, dan arah pembangunan agar selaras dengan prinsip menjaga lingkungan dan kemaslahatan umum.
Dalam konteks ini, sistem Islam menawarkan kerangka yang berbeda secara fundamental. Ia menempatkan pengelolaan lingkungan sebagai amanah, mengatur peran negara secara tegas dalam mengurus publik, menerapkan sanksi yang membuat jera, sekaligus membentuk masyarakat agar tak memisahkan moral dari perilaku sehari-hari. Sistem Islam tidak menunggu kesadaran muncul secara sukarela, tetapi menciptakan mekanisme yang memastikan masyarakat dan negara bergerak dalam arah yang sama.
Sistem Islam juga menata pembangunan dengan prinsip kemaslahatan, bukan keuntungan jangka pendek. Lingkungan menjadi bagian dari tanggung jawab negara yang harus dijaga, bukan collateral damage dari ekspansi ekonomi. Negara wajib menyediakan teknologi, armada, dan fasilitas yang memadai, sambil memastikan keadilan bagi para petugas kebersihan yang berada di garis depan.
Selain itu, masyarakat dibentuk dengan pemahaman bahwa menjaga kebersihan adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar aturan sosial. Ketika moral, aturan, dan tata kelola berjalan seirama, barulah persoalan sampah dapat diselesaikan secara tuntas. Karena pada akhirnya, memperbaiki sistem lama tidak cukup, namun butuh sistem yang benar dari akarnya.
Via
OPINI
Posting Komentar