OPINI
Batam dalam Cengkeraman Limbah Asing: Ketika Tanah Kita jadi Tempat Sampah Dunia
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Masuknya limbah elektronik asal Amerika Serikat ke Batam kembali membuka tabir kelam tentang bagaimana Indonesia, terutama wilayah perdagangan bebas seperti Batam, masih menjadi target empuk pembuangan limbah berbahaya. Laporan mengenai temuan kontainer yang berisi limbah B3 dari luar negeri, sebagaimana diungkap dalam berbagai pemberitaan (Batamnews, 07-11-2025) dan investigasi lanjutan yang menyoroti ketidakjelasan penanganannya (Mongabay, 07-11-2025), bukan hanya menunjukkan celah dalam pengawasan, tetapi memperlihatkan bagaimana kepentingan ekonomi sering kali dibangun di atas ancaman terhadap kelestarian alam dan kehidupan manusia.
Ketika Batam diproyeksikan sebagai pintu investasi dan kawasan industri strategis, kenyataan bahwa tanahnya justru dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya menunjukkan bahwa keamanan ekologis belum menjadi prioritas utama.
Masalah limbah elektronik bukan sekadar catatan statistik atau isu teknis kepabeanan. Ia adalah ancaman serius terhadap kehidupan. Limbah elektronik mengandung logam berat seperti merkuri, timbal, arsenik, dan cadmium yang mampu mencemari air, udara, dan tanah secara permanen. Jika masuk dalam jumlah besar, efeknya tidak dapat dipulihkan dalam hitungan tahun. Air bawah tanah menjadi racun bagi masyarakat, partikel berbahaya terhirup oleh anak-anak, tanah tidak lagi produktif, dan ekosistem pesisir mengalami degradasi.
Masyarakat sekitar kawasan industri atau pemukiman yang dekat dengan titik penampungan limbah adalah pihak pertama yang merasakan akibatnya—mulai gangguan pernapasan, penyakit kulit, kelainan saraf, hingga penyakit kronis seperti kanker. Dalam konteks ini, persoalan limbah bukan lagi masalah teknis, tetapi persoalan nyawa manusia.
Akar persoalan yang paling menonjol adalah lemahnya pengawasan di kawasan Free Trade Zone (FTZ). Kawasan FTZ dirancang untuk mempercepat investasi dan memudahkan arus logistik. Namun kelonggaran birokrasi ini sering kali diterjemahkan sebagai kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh jaringan impor-illegal. Pelaku dengan mudah menyamarkan limbah elektronik sebagai “bahan baku daur ulang”, “scrap metal”, atau “barang bekas layak pakai”. Celah-celah administratif ini memungkinkan kontainer berisi limbah berbahaya masuk tanpa terdeteksi. Bahkan, ketika ada temuan, dicurigai terdapat keterlibatan oknum aparat yang bukan hanya lalai tetapi ikut memuluskan proses masuknya limbah tersebut. Inilah pengkhianatan paling nyata terhadap amanah publik—ketika mereka yang ditugaskan menjaga justru membantu perusakan tanahnya sendiri.
Lebih jauh, persoalan ini memperlihatkan kegagalan negara dalam menegakkan hukum secara tegas. Banyak kasus impor limbah yang sebelumnya mencuat akhirnya meredup tanpa kejelasan. Proses hukum kerap kali berjalan lambat dan tidak transparan, sementara pelaku industri yang nyata-nyata mengimpor limbah berbahaya dapat berlindung di balik celah hukum. Di sinilah terlihat jelas bagaimana kapitalisme bekerja: sistem yang menempatkan keuntungan sebagai satu-satunya ukuran tindakan, tanpa memperhitungkan kerusakan ekologis dan ancaman kesehatan masyarakat. Negara-negara maju mencari jalan termurah untuk membuang limbahnya, sementara pelaku usaha dalam negeri melihat peluang cuan dari menerima limbah tersebut. Selama angka keuntungan naik, selama putaran transaksi meningkat, kerusakan alam dianggap sebagai harga yang dapat dinegosiasikan.
Padahal dalam perspektif Islam, kerangka berpikir seperti ini sama sekali tidak dapat diterima. Islam menempatkan penjagaan jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal, harta, dan lingkungan sebagai bagian dari tujuan syariah (maqasid syariah). Negara berkewajiban total menjaga keselamatan rakyatnya dan melarang keras segala sesuatu yang membahayakan kehidupan mereka. Limbah beracun adalah ancaman langsung terhadap nyawa manusia; karena itu, dalam pandangan Islam, menerima limbah semacam ini adalah bentuk kelalaian besar. Syariah memandang pencemaran lingkungan sebagai tindakan fasad (kerusakan di bumi) yang wajib dicegah dan diberi sanksi seberat-beratnya. Bahkan aparat negara yang terlibat dalam kejahatan ekologis dapat dikenai hukuman ta’zir tambahan karena mereka menyalahgunakan kekuasaan, sebuah dosa besar dalam sistem pemerintahan Islam.
Sejarah pemerintahan Islam memberikan contoh konkret bagaimana masalah serupa ditangani. Pada masa Kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz, pernah terjadi kasus pedagang asing yang membawa bahan berbahaya dan mencoba memasukkannya ke wilayah Islam. Aparat negara segera memeriksa muatan kapal tersebut, dan ketika ditemukan bahwa barang tersebut mengancam kesehatan masyarakat, negara memerintahkan kapal itu kembali ke negaranya dan melarang pedagang tersebut mengakses pelabuhan Islam di masa mendatang. Bahkan pejabat pelabuhan yang hampir lalai diperiksa dan dikenai sanksi ta’zir. Tidak ada kompromi. Tidak ada negosiasi yang mengorbankan rakyat. Negara Islam memahami bahwa keamanan masyarakat adalah prioritas yang tidak boleh ditukar dengan keuntungan materi.
Dari sudut pandang ini, Batam membutuhkan solusi yang jauh lebih mendasar daripada sekadar pengetatan SOP atau pembentukan satgas sementara. Batam membutuhkan paradigma baru—paradigma Islam—yang mengatur hubungan antarmanusia, negara, dan lingkungan secara harmonis.
Pertama, negara harus berfungsi sebagai pelindung total (junnah) bagi rakyatnya. Pengawasan pelabuhan harus didesain sebagai benteng penjaga nyawa, bukan sekadar pintu lalu lintas barang. Pemeriksaan ketat, audit muatan, dan pembatasan terhadap kategori barang sensitif adalah langkah wajib, bukan pilihan.
Kedua, Islam mengajarkan politik luar negeri yang independen. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan dagang dari negara asing. Setiap barang yang masuk harus dinilai dari manfaat dan dampaknya terhadap rakyat. Segala bentuk limbah atau barang berbahaya harus ditolak tegas, apa pun tawaran keuntungan ekonomi jangka pendeknya.
Ketiga, perlu ditegakkan sanksi syar’i yang berat bagi pelaku perusakan lingkungan. Individu, perusahaan, bahkan aparat negara harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hukuman penjara, denda besar, pemecatan, hingga larangan aktivitas usaha dapat diterapkan dalam syariat melalui mekanisme ta’zir.
Keempat, negara Islam wajib menyediakan sistem pengelolaan limbah yang terpusat dan aman, dikelola langsung oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta yang berorientasi profit. Pengelolaan yang benar akan mencegah limbah berbahaya bocor ke lingkungan.
Kelima, masyarakat harus diberikan edukasi yang berkelanjutan tentang pentingnya menjaga lingkungan dan bahaya pencemaran, tidak hanya sebagai pengetahuan teknis, tetapi sebagai amanah moral dan ibadah.
Dengan kerangka ini, Batam dapat keluar dari ancaman menjadi “tempat sampah dunia”. Kota ini dapat menjadi pusat industri yang maju tetapi tetap sejalan dengan prinsip penjagaan lingkungan dan kemanusiaan. Islam menawarkan solusi yang tidak hanya teknis, tetapi mencakup visi jangka panjang: menjaga bumi sebagai amanah Allah, melindungi rakyat sebagai kewajiban negara, dan memastikan bahwa perkembangan ekonomi tidak dibangun di atas kerusakan alam.
Batam tidak boleh menjadi halaman belakang negara lain. Batam harus berdiri tegas sebagai wilayah yang menjaga martabatnya—dengan negara yang hadir, hukum yang ditegakkan, dan lingkungan yang dilindungi dengan penuh tanggung jawab.
Via
OPINI
Posting Komentar