OPINI
Air Bukan Lagi Hak Rakyat, Tapi Bisnis Miliaran Rupiah
Oleh: Rahma Inayah
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
TanahRibathMedia.Com—Air, sumber kehidupan yang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat, kini menjelma menjadi komoditas bisnis bernilai miliaran rupiah. Di berbagai daerah, sumber mata air yang dulu menghidupi warga sekitar justru dikuasai perusahaan air minum besar. Ironisnya, masyarakat yang tinggal paling dekat dengan sumber air itu malah kesulitan memperoleh air bersih.
Kasus terbaru yang ramai dibicarakan ialah polemik sumber air Aqua. Isu ini mencuat setelah Guberbur Jawa Barat Dedi Mulyadi melakukan inspeksi mendadak ke salah satu lokasi sumber air di Jawa Barat. Sidak tersebut memantik perdebatan publik tentang siapa yang berhak atas sumber air—rakyat atau korporasi.
Air Dikuasai Korporasi
Menurut laporan Tempo.co (24-10-2025) berjudul “Danone Jelaskan soal Sumber Air Aqua usai Sidak Dedi Mulyadi”, pihak Danone menegaskan bahwa pengambilan air dilakukan dari sistem akuifer alami, bukan sekadar sumur bor. Meski demikian, penjelasan tersebut belum menenangkan publik. Warga tetap menuntut transparansi dan mempertanyakan dampak eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan.
Sementara itu, Media Indonesia (23-10-2025) menurunkan artikel berjudul “Polemik Sumber Air Aqua, Pakar Hidrogeologi Meluruskan Pendapat KDM.” Pakar ITB, Prof. Lambok M. Hutasoit, menjelaskan bahwa pengambilan air dilakukan dari zona dalam yang secara teknis aman. Namun, warga di sekitar lokasi tetap merasakan perubahan: debit mata air melemah, bahkan ada yang mengering.
Berita berikutnya, Media Indonesia (25-10-2025), memuat “Polemik Isu Sumber Air Aqua, Indonesia Halal Watch Ingatkan Potensi Sanksi Berat.” Lembaga itu mengingatkan bahwa perusahaan dapat dikenai sanksi jika pengambilan air tidak sesuai dengan izin atau sertifikasi halal yang berlaku.
Dari tiga pemberitaan berbeda tersebut, tampak benang merah yang sama: pengelolaan air di Indonesia belum berpihak pada rakyat. Sumber daya alam yang seharusnya dinikmati bersama malah dijadikan ladang bisnis korporasi besar.
Kerusakan Ekologis dan Ketimpangan Sosial
Eksploitasi air tanah dalam skala besar tentu menimbulkan risiko serius. Secara ilmiah, pengurasan akuifer dapat menyebabkan turunnya muka air tanah, mengeringnya mata air di permukaan, hingga amblesan tanah. Banyak wilayah di Jawa Barat kini mulai menunjukkan gejala penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air yang berlebihan.
Lebih tragis lagi, masyarakat yang hidup di sekitar pabrik kerap mengalami kekeringan. Mereka harus membeli air galon atau menggali sumur lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, truk-truk tangki perusahaan berlalu-lalang membawa ribuan liter air dari tanah yang sama—tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan warga sekitar.
Inilah wajah nyata sistem ekonomi kapitalistik. Air yang mestinya menjadi hak semua orang justru berubah menjadi sumber keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Prinsip pasar bebas memberi jalan bagi siapa pun yang memiliki izin dan modal besar untuk menguasai sumber daya alam, tanpa memperhatikan dampak sosial maupun ekologisnya.
Sayangnya, regulasi pemerintah masih lemah. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR belum sepenuhnya mampu menghentikan praktik kapitalisasi air. Negara lebih sering tampil sebagai pemberi izin, bukan pelindung hak rakyat.
Pandangan Islam: Air Milik Umat
Islam memiliki pandangan yang tegas terkait pengelolaan sumber daya alam. Air termasuk kategori milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai individu maupun korporasi. Rasulullah ï·º bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan bahwa air adalah hak bersama, bukan komoditas dagang. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk mengelola sumber air dan menjamin distribusinya merata bagi seluruh rakyat.
Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan air kepada pihak swasta karena hal itu membuka jalan bagi monopoli dan ketimpangan. Pemerintah dalam sistem Islam bertindak sebagai pengelola dan pengawas, memastikan air tidak menjadi sumber konflik maupun ketidakadilan.
Selain itu, Islam menuntut agar setiap bentuk usaha tidak menimbulkan kerusakan (fasad). Eksploitasi berlebihan yang mengganggu keseimbangan alam jelas bertentangan dengan prinsip syariah. Pengelolaan sumber daya dalam Islam berorientasi pada kemaslahatan umat, bukan keuntungan segelintir pihak.
Saatnya Negara Hadir
Polemik sumber air seperti kasus Aqua bukanlah yang pertama dan tampaknya tidak akan menjadi yang terakhir. Namun, peristiwa ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk segera berbenah.
Negara seharusnya hadir bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai pelindung hak dasar rakyat. Air tidak pantas diperjualbelikan layaknya komoditas pasar. Ia adalah amanah Allah yang harus dikelola dengan adil, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil.
Jika negara terus membiarkan sumber air dikuasai korporasi, maka yang akan lahir bukan hanya krisis lingkungan, tetapi juga krisis moral dalam tata kelola sumber daya alam.
Islam telah menawarkan solusi yang nyata: kembalikan pengelolaan air kepada negara untuk kepentingan publik. Dengan begitu, setiap tetes air benar-benar menjadi berkah, bukan alat eksploitasi. Air adalah hak rakyat, bukan barang dagangan. Negara sejatinya adalah penjaga, bukan penjualnya.
Via
OPINI
Posting Komentar