Opini
Saat Anak Tak Lagi Aman, Bahkan dari Orangtuanya Sendiri
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Di era sekarang, keselamatan anak tidak lagi bisa dianggap pasti, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Hal ini terlihat dari kasus tragis yang menimpa seorang siswi kelas 3 SD di Samarinda, Kalimantan Timur. Sejak duduk di bangku kelas 1, ia harus rela dijual oleh ibu kandungnya sendiri kepada pria hidung belang. Lebih ironis lagi, ayah tirinya turut melakukan pemerkosaan terhadap dirinya. Peristiwa ini baru terungkap setelah pihak sekolah melaporkannya kepada Tim Respons Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur (Kumparan.com, 21-9-2025).
Kasus tragis berikutnya dialami oleh Melati (bukan nama sebenarnya) di Lampung Tengah, yang diperkosa oleh bapak kandungnya sendiri sejak dirinya duduk di bangku kelas 3 SD hingga kelas 1 SMP (Tribratanews, 9-5-2025). Adapun kasus-kasus mengenai pemerkosaan anak oleh ayah kandungnya sendiri juga bukan hanya sekali ini saja. Bahkan di platform sosial media Facebook terdapat grup yang menaungi orang-orang sakit yang tega mencabuli darah dagingnya sendiri bernama grup “Fantasi Sedarah” dan “Suka Duka”
Mirisnya grup tersebut berisi sebanyak 32.000 anggota dan menyebarkan foto/video seksual anak, foto-foto anak balita mereka, uraian-uraian status yang berisi tentang bagaimana mereka bernafsu dan berkeinginan kuat mencicipi tubuh anak mereka sendiri, maupun testimoni-testimoni bagaimana hubungan intim mereka dengan saudara kandung maupun ayah kandungnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa fitrah penjagaan dan pengasuhan seorang ibu dan ayah kepada anak-anak mereka seolah hilang, hingga seperti tak memiliki nurani?
Beberapa studi dan literatur psikologi dan hukum mengungkapkan faktor-penyebab yang memungkinkan kasus-kasus tersebut terjadi, bahkan oleh orang terdekat, seperti:
1. Disfungsi Keluarga (Family Dysfunction)
Studi “Examining Child Victims of Incest in Indonesia: Between the Legal System and Family Dysfunction” menemukan bahwa keluarga yang terpecah (divorce), miskin, atau kurangnya pemahaman moral/agama cenderung memperparah risiko incest.
2. Lemahnya penegakan hukum dan kurang ada pencegahan komprehensif membuat pelecehan dalam keluarga sering tidak terdeteksi.
3. Family Systems Approach: ketika peran dalam keluarga kabur, hierarki relasi tak jelas, sehingga batas antara anggota keluarga menjadi tidak jelas juga.
4. Psychoanalytic / Psikoseksual Development: gangguan dalam perkembangan psikoseksual, terutama ketika orang tua atau calon pelaku tidak mampu menahan dorongan mereka atau tidak mendapat regulasi internal yang kuat.
5. Normalisasi dan Paparan Digital
Dengan media sosial dan platform digital, konten pornografi dan fantasi seksual dapat tersebar lebih mudah dan cepat dan bahkan dianggap biasa.
Pemaparan para ahli tentang faktor penyebab hilangnya fitrah pengasuhan dan penjagaan orang tua terhadap anak sering kali hanya menekankan aspek individual. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, kasus serupa jumlahnya tidak sedikit dan terus bermunculan.
Fakta keberadaan grup Facebook “Fantasi Sedarah” dengan 32.000 anggota menjadi bukti nyata. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari puluhan ribu manusia yang pikirannya sudah rusak. Mustahil kerusakan moral sebesar itu lahir hanya dari kesalahan pola asuh atau disfungsi keluarga semata. Ada persoalan yang lebih mendasar, yakni sistem yang membentuk dan melanggengkan lahirnya generasi dengan moral yang rusak seperti hari ini.
Sistem Sekuler-Kapitalisme Akar Masalah
Sistem ini menyingkirkan peran agama dalam mengatur kehidupan, sekaligus menjadikan materi dan kepuasan pribadi sebagai tolok ukur utama. Akibatnya, naluri pengasuhan dan fitrah keorangtuaan terkikis. Orang tua yang seharusnya menjadi pelindung justru bisa berubah menjadi predator. Dalam logika kapitalisme, anak bisa dilihat sebagai “komoditas” untuk mendapatkan uang, bahkan dengan cara menjual kehormatan dan masa depan mereka. Sementara sekularisme memutus keterikatan manusia dengan nilai halal-haram, sehingga perilaku menyimpang dianggap sekadar pilihan pribadi, bukan bagian dari dosa besar atau ancaman bagi masyarakat.
Fenomena ini juga diperparah dengan arus pornografi tanpa batas di ruang digital. Tanpa kendali moral yang kuat, ribuan orang bisa bergabung dalam grup menyimpang, saling menguatkan perilaku bejat mereka, dan melanggengkan normalisasi kejahatan. Inilah potret nyata dari masyarakat yang dibentuk oleh sistem yang rusak sekuler-kapitalisme. Sistem yang gagal menjaga fitrah keluarga, merusak batas-batas moral, dan menciptakan generasi yang kehilangan arah.
Pun demikian dengan masalah pelecehan anak yang bukan hanya sekadar soal individu atau keluarga yang disfungsional. Ia adalah buah dari sistem sekuler-kapitalisme yang menihilkan peran agama dalam kehidupan, menjadikan manusia lebih dekat pada hawa nafsu daripada fitrah kemanusiaannya.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, para orang tua dibentuk dan dibina untuk menjadi pelindung serta pengasuh yang sesuai dengan fitrahnya. Mereka memahami bahwa merawat, menjaga, dan mendidik anak adalah amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Pengasuhan dilakukan bukan hanya karena ikatan darah, tapi karena ikatan akidah dan ketakwaan.
Islam juga memiliki mekanisme penyaringan informasi dan hiburan yang ketat sebelum tersebar ke masyarakat. Konten-konten merusak seperti pornografi atau penyimpangan seksual tidak akan dibiarkan tumbuh bebas. Selain itu, hukum ditegakkan dengan adil dan tegas. Dalam Islam, pelaku zina yang belum menikah akan dicambuk 100 kali, sedangkan pelaku zina yang sudah menikah akan dirajam hingga mati. Hukum ini bukan sekadar hukuman fisik, tetapi juga pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir), sekaligus memberi efek jera bagi masyarakat.
Inilah perbedaan mendasarnya. Sistem Islam melindungi keluarga dan anak-anak dari akarnya, sementara sistem kufur sekuler-kapitalisme justru membuka peluang besar yang membuat keluarga rentan menjadi sumber ancaman itu sendiri. Oleh karenanya selama sistem kufur ini tetap dipertahankan, maka kasus serupa akan terus bermunculan, dan anak-anak akan selalu berada di ambang bahaya, bahkan dari orang tua mereka sendiri.
Untuk itu, satu-satunya cara untuk menghentikan maraknya kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak bukanlah sekadar dengan menambal celah hukum atau menyalahkan individu, melainkan dengan mengganti sistem rusak sekuler-kapitalisme yang menjadi akar masalahnya dengan sistem Islam. Hanya Islam yang memiliki ketegasan dan kejelasan dalam mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan syariat.
Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, masyarakat akan perlahan sembuh dari berbagai penyakit moral, bangkit menjadi masyarakat yang sehat, baik dalam pemikiran maupun perbuatan, hingga mampu menyongsong masa depan yang lebih gemilang.
Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, melihat realitas hari ini di bawah sistem kufur yang rusak dan memahami bahwa hanya Islam yang mampu memulihkan kondisi ini, maka sudah menjadi suatu kewajiban umat untuk memperjuangkan tegaknya hukum Islam. Perjuangan ini dimulai dari mempelajari Islam secara kaffah, mendakwahkannya kepada masyarakat, lalu bersatu menuntut kepada penguasa agar mengganti sistem sekuler-kapitalisme dengan sistem Islam.
Dengan tegaknya sistem Islam, keluarga akan kembali kokoh sebagai benteng pertama penjaga kehormatan manusia, anak-anak juga akan tumbuh dalam lingkungan yang aman, terjaga, serta dipenuhi nilai ketakwaan.
Via
Opini
Posting Komentar