Opini
Makan Bergizi Gratis Berujung Miris; Islam Solusi Ideologis
Oleh: Sunarti Sutrisno
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah telah melaksanakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yakni pemberian makan siang secara gratis kepada siswa sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui sejak awal Januari 2025. Di tilik dari stasiun televisi nasional yaitu TVRI Nasional bahwa Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto mengatakan bahwa tujuan diadakannya makan bergizi adalah untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia dan agar anak-anak yang hanya makan dengan garam saja dapat merasakan makanan yang bergizi.
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) sudah berjalan dari 6 Januari 2025 hingga sekarang. Hampir setahun program ini berjalan, dari target 82 juta anak, 30 juta anak sudah menerima MBG di sekolah masing-masing. Dan dana yang diperlukan untuk satu tahun dengan jumlah anak 82,9 juta anak mencapai 400 triliun. Perwakilan dari Partai NasDem, Nurhadi menyampaikan bahwa sasaran dari MBG tidak hanya siswa pelajar dari TK - SMA melainkan juga untuk ibu hamil dan ibu menyusui dan daerah yang diutamakan untuk mendapatkan MBG adalah daerah 3 T (Terdepan, Tertinggal, Terluar).
Alih-alih hendak memperbaiki gizi anak-anak bangsa, belum sebulan program MBG berjalan sudah terjadi keracunan di sekolah-sekolah yang menerima MBG. Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang mengatakan, kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat di luar nalar. Nanik mengaku terheran-heran dengan petugas dapur MBG setempat yang menyediakan bahan baku, tapi tidak fresh. Dia memaparkan, ayam yang kemudian dijadikan lauk untuk MBG sebenarnya sudah dibeli sejak Sabtu. Namun, ayam itu baru dimasak hari Rabu, atau empat hari kemudian
Menurut Ombudsman RI, ada delapan masalah utama penyelenggaraan program MBG, di antaranya kesenjangan yang lebar antara target dan realisasi capaian, maraknya kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah, permasalahan dalam penetapan mitra yayasan dan SPPG yang belum transparan dan rawan konflik kepentingan, keterbatasan dan penataan sumber daya manusia, termasuk keterlambatan honorarium serta beban kerja guru dan relawan, ketidaksesuaian mutu bahan baku akibat belum adanya standar Acceptance Quality Limit (AQL) yang tegas; Penerapan standar pengolahan makanan yang belum konsisten, khususnya Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), distribusi makanan yang belum tertib dan masih membebani guru di sekolah; serta sistem pengawasan yang belum terintegrasi, masih bersifat reaktif, dan belum sepenuhnya berbasis data.
Kita ketahui bahwa anggaran MBG dalam APBN 2025 sebesar Rp71 Triliun dan di APBN 2026 mengambil hampir separuh anggaran pendidikan dalam APBN tepatnya 44,2 persen atau sebesar Rp335 Triliun. Jumlah yang sangat fantastis. Hal ini mendapat kritik dari peneliti Center for Indonesian at berisiko mengganggu konsistensi kebijakan dan pengembangan sektor pendidikan, terutama jika pemangkasan diambil dari Transfer ke Daerah (TKD). Padahal, pemerintah masih menghadapi tantangan serius dalam memperbaiki ketimpangan pendidikan Policy Studies (CIPS). Dijelaskan bahwa mengurangi anggaran pendidikan demi MBG sangi Indonesia. Kompleksitas masalah sumber daya manusia tidak bisa hanya diselesaikan dengan program MBG.
Selain berisiko terhadap terganggunya layanan pendidikan, di lapangan banyak hal yang menunjukkan adanya kesalahan dalam tata kelola program MBG ini. Hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menemukan sejumlah masalah yang menghambat efektivitas program ini. CIPS mencatat belum ada kerangka regulasi yang menjadi payung hukum bagi program MBG tersebut. Hingga kini, MBG tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Presiden (Perpres). Kekosongan hukum ini dinilai membuat pembagian peran antar lembaga tidak jelas. Kontrol pun tidak terlalu ketat. Salah satu akibat longgarnya kontrol diungkap oleh anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi terkait dugaan 5.000 titik dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Program Makan Bergizi Gratis (MBG) fiktif (detik.com, 19-09-2025).
Bahkan ada temuan berdasarkan laporan dari Kemenkes per 22 September 2025, dari total 8.583 dapur MBG, hanya 34 yang memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) dan implementasi SOP keamanan pangan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang saat ini masih menjadi persoalan.
Dari rentetan kasus yang muncul harus diakui bahwa persoalan yang menyelimuti Program MBG—khususnya keracunan makanan—tidak akan selesai hanya dengan evaluasi. Ini memperlihatkan ketidak seriusan negara dalam merencakan dan menjalankan program ini. Kelalaian pemerintah tampak jelas dalam memenuhi standart operasional prosedur yang matang.
Lemahnya pengawasan terhadap satuan pemenuhan pelayanan gizi serta buruknya aspek higienitas dan sanitasi yang mestinya menjadi prioritas. Terlebih lagi MBG sejatinya bukanlah solusi fundamental bagi persiapan gizi buruk dan starting sebab akar persoalan terletak pada gagalnya negara menjamin ketersediaan lapanga pekerjaan yang kayak bagi para pencari nafkah sehingga keluarga bisa memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya secara mandiri.
Di samping itu negara juga gagal menyediakan pelayanan kesehatan gratis berkualitas dan merata bagi seluruh rakyat serta abai dalam memberikan edukasi bagi para ibu dan calon ibu mengenai pentingnya pemenuhan gizi bagi anak. Semua itu tidak lepas dari sistem kapitalisme yang ditetapkan hari ini. Dalam sistem ini negara lebih berperan sebagai regulator kepentingan korporasi ketimbang pengurus sosial seperti MBG hanya menjadi proyek politos jangka pendek yang sarat pencitraan tanpa mampu menjawab akar masalah. Selama sistem kapitalisme masih di pertahan kan, rakyat akan terus menanggung resiko sementara solusi hakiki untuk memastikan pemenuhan gizi, kesehatan dan kesejahteraan generasi tidak pernah benar-benar terwujud.
Persoalan gizi buruk, stunting dan keracunan massal akibat program MBG sejatinya akan selesai hanya dengan sistem Islam, sebab dalam Islam negara diwajibkan menjamin kesejahteraan rakyatnya secara menyeluruh termasuk pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan pendidikan.
Dengan sistem ini masalah stunting dan persiapan gizi dapat docegah sedari dini, karna negara hadir sebagai pengurus bukan sekedar regulator atau oemberi proyek politik. Lebih dari itu kehadiran khilafah bukan hanya kebutuhan mendesak bagi umat slam melainkan kewajiban syara.
Rasulullah saw. bersabda:
"Barang siapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat kholifah, maka matinya mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Walhasil, solusi hakiki atas persiapan gizi, kesehatan dan kesejahteraan hanya dapat terwujud apabila kembali kepada syariah dan khilafah. Jika telah terwujud Khilafah maka akan mendapatkan keberkahan dari Allah Swt.
Via
Opini
Posting Komentar