Opini
Magang Berbayar untuk ‘Fresh Graduate’, Potret Suram Politik Ekonomi Kapitalisme
Oleh: Wiwin Andriani
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dari tahun ke tahun, pengangguran masih menjadi masalah serius negeri ini. Tidak bisa dimungkiri, dengan semakin banyaknya perguruan tinggi yang meluluskan anak didiknya namun tidak sejalan dengan lapangan pekerjaan yang tersedia, sehingga lulusan-lulusan baru perguruan tingggi turut menyumbang angka pengangguran.
Melihat kondisi tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) meluncurkan program magang berbayar fresh graduate sebagai salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari para pencari kerja khususnya fresh graduate, sehingga nanti setelah magang menjadi lebih terampil dan siap bersaing di dunia kerja.
Dikutip dari laman Kontan.co.id (13-10-2025), Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli mengatakan bahwa program magang berbayar bagi fresh graduate akan dibuka di instansi pemerintahan seperti Kementerian/Lembaga hingga pemerintah daerah. Yassierli kemudian memutuskan menambah kuota magang dari sebelumnya 20.000 peserta menjadi 100.000 peserta sampai di akhir tahun. Dengan penambahan kuota ini, pemerintah membuka lowongan menjadi dua tahap, yakni 20.000 peserta untuk tahap awal sampai pertengahan November, dan dilanjutkan pembukaan kedua sebanyak 80.000 kuota peserta hingga Desember 2025.
Cuci Tangan Pemerintah
Tentu saja program ini menjadi angin segar bagi para fresh graduate. Terlihat dari antusiasme peserta yang telah mendaftar bahkan lebih dari kuota yang disediakan oleh Kemenaker. Tetapi apakah benar program magang berbayar fresh graduate ini akan berdampak besar terhadap penurunan angka pengangguran? Atau hanya sekedar ilusi yang menyilaukan untuk mengalihkan perhatian akan ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan?
Karena fakta dilapangan menjawab, bahwasanya skill dan keterampilan selalu kalah dengan kekuatan orang dalam. Istilah 'ordal' dalam dunia pencari kerja sudah tidak asing lagi. Sudah menjadi rahasia umum, memiliki koneksi dan link menjadi pilihan bagi sebagian orang ketika bersaing di dunia kerja. Padahal, cara-cara seperti ini mengakibatkan adanya persaingan yang tidak sehat, juga mengakibatkan ketersediaan lapangan kerja hanya akan diisi oleh orang-orang dari keluarga/kelompok tertentu saja.
Kondisi semacam ini sudah menjadi sangat lumrah dan terkesan adanya pembiaran. Jika terus berlangsung lama seperti itu, maka program-program pemerintah yang bertujuan mengentaskan pengangguran seolah harapan palsu yang diumbar kepada para pencari kerja. Alhasil, pengangguran akan tetap ada dan kemungkinan angkanya akan terus bertambah. Bahkan per februari 2025 angka pengangguran mencapai 7,28 juta jiwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), naik sekitar 8 juta jiwa dari tahun 2024 yang berjumlah 7,20 juta jiwa.
Jadi, program magang berbayar fresh graduate tak ubahnya sebagai upaya 'cuci tangan' pemerintah untuk menutupi kegagalan dan ketidakmampuannya menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Rakyat yang sudah berada pada kondisi terhimpit seolah tidak memiliki pilihan, menjadi kelinci percobaan dari peluncuran program-program baru pemerintah yang perencanaannya terkadang tidak matang dan berujung kekecewaan namun tetap disambut dengan antusias seolah harapan baru untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Kapitalisme Menghendaki Pengangguran
Pengangguran adalah suatu keniscayaan yang pasti dalam sistem kapitalisme. Karena dalam sistem kapitalisme, kekuasaan hanya diisi oleh orang-orang yang punya kekuatan materi. Yang kaya semakin berkuasa, yang miskin semakin sengsara. Pengangguran ini sendiri akibat dari ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses dunia kerja tersebab mereka tidak punya kuasa.
Terlebih lagi, sistem kapitalisme tidak mengenal batasan dalam hal kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Contohnya saja SDA seperti tambang yang seharusnya dikelola negara dan hasilnya dikembalikan ke rakyat untuk kemaslahatan dan kesejahteraan, justru dikelola oleh perorangan/kelompok bahkan oleh investor asing yang tentu saja hasilnya akan dinikmati oleh segelintir orang. Selain itu, SDA yang melimpah seharusnya bisa menjadi lapangan kerja bagi rakyat. Bukan sebaliknya, diisi oleh para tenaga kerja asing (TKA).
Penerapan sistem kapitalisme ini sejatinya menjadi penyumbang terbesar terhadap carut-marutnya tata kelola negara. Bukan saja menciptakan pengangguran, tapi juga melanggengkan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang merugikan negara dan rakyat. Pada akhirnya akan muncul lagi masalah-masalah sosial ekonomi lainnya seperti kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang mana akumulasi kekayaan hanya akan berputar di tangan segelintir orang/kelompok tertentu. Sementara mayoritas rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar karena tidak bekerja.
Di sisi lain, abainya peran negara dalam memelihara dan mengurusi urusan rakyat termasuk dalam urusan ekonomi yaitu memastikan kekayaan terdistribusi secara merata keseluruh rakyat sehingga mengerucutkan gap antara si kaya dan si miskin gagal dilaksanakan. Jadi bisa dikatakan peran negara dalam sistem kapitalisme itu hanya sebatas regulator semata.
Islam Solusi Hakiki
Ketika menilik kembali, sistem seperti apa yang mampu menyelesaikan permasalahan yang tak selesai-selesai dan tak berujung yang dihasilkan oleh penerapan sistem rusak kapitalisme, jawabannya tentu saja adalah sistem Islam. Misalnya saja dalam urusan ekonomi salah satu prinsip mendasar sistem ekonomi Islam adalah keadilan (al-‘adl). Keadilan dalam Islam bukan hanya bersifat moral, melainkan merupakan pilar dalam setiap aktivitas ekonomi. Sistem Islam yang sempurna memiliki jaminan terhadap kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, ada beberapa hal yang tentunya akan terlaksana dalam penerapan sistem Islam:
Pertama, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan primer rakyat (sandang, pangan, dan papan) Hal itu dilakukan dengan mewajibkan laki-laki mencari nafkah untuk keluarganya, tentu saja dengan lapangan kerja yang telah disediakan oleh negara. Apabila tidak bisa, maka kewajiban tersebut diserahkan pada kerabat dekat. Jika tidak ada kerabat dekat, baru akan diambil alih oleh negara. Rakyat yang kaya akan didorong untuk membantu rakyat miskin. Mereka melakukannya atas dorongan keimanan sehingga tidak ada rasa keterpaksaan dan merasa terbebani.
Kedua, Islam akan membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan negara. Individu bebas mendapatkan harta asalkan caranya tidak melanggar hukum syara'. Kepemilikan umum, seperti SDA, akan dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Swasta dilarang memilikinya. Kekayaan negara akan dikelola oleh negara untuk keperluan kenegaraan.
Ketiga, negara wajib mendistribusikan kekayaan secara merata kepada seluruh rakyat tanpa ada unsur kepentingan tertentu karena setiap warga negara berhak mendapatkan pemeliharaan dari negara, seperti memberikan tanah pada siapa saja yang mampu mengelolanya.
Keempat, pembangunan ekonomi akan bertumpu pada sektor riil. Dengan begitu, kekayaan yang ada itu asli, bukan sesuatu yang tidak ada, tetapi diada-adakan.
Oleh karena itu dalam praktiknya, ketersediaan lapangan kerja, pemerataan kekayaan di tengah rakyat, dan pemenuhan kebutuhan dasar hidup (sandang, pangan, papan) menjadi urusan negara. Islam menolak sistem yang membuat harta beredar hanya di sekelompok orang kaya (QS Al-Hasyr [59]:7). Dalam Islam, negara bukan hanya sekedar simbol kepemimpinan yang berperan pasif atau sekadar regulator seperti dalam sistem kapitalisme.
Tentu saja cara-cara tersebut hanya akan mampu terlaksana di bawah penerapan sistem Islam yang mengatur seluruh kehidupan dengan sempurna yang bersumber langsung dari Al-Qur'an dan sunnah. Dengan penuh kesadaran sebagai seorang muslim sudah sewajarnya kita kembali pada Islam yang menyeluruh.
Via
Opini
Posting Komentar