Opini
Saat Dosa Besar Dinormalisasi Jadi Drama Rumah Tangga
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena perselingkuhan di Indonesia belakangan ini semakin marak dan sering kali menjadi konsumsi publik melalui berbagai pemberitaan media maupun yang viral di media sosial. Kasus-kasusnya tidak hanya menimpa kalangan biasa, tetapi juga melibatkan figur publik, aparat, hingga pejabat. Ironisnya, masyarakat cenderung melihat perselingkuhan hanya sebagai urusan pribadi yang tak perlu dibesar-besarkan. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap bahwa hal itu hanyalah kerusakan moral individu semata.
Padahal, normalisasi cara pandang semacam ini sangat berbahaya. Ia menumbuhkan sikap permisif, seolah perselingkuhan adalah hal yang lumrah dalam hubungan sosial. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan lahir masyarakat yang kehilangan arah moral dan merusak generasi dan sebuah negara.
Sebagai contoh, baru-baru ini publik dihebohkan dengan kasus di Tanjungbalai Karimun, Kepulauan Riau, yang melibatkan seorang ibu rumah tangga, siswi SMA, dan seorang oknum polisi. Sang ibu menuding siswi tersebut terlibat dalam hubungan terlarang dengan polisi berinisial AD yang sudah berumah tangga (Kompas.com, 6-9-2025).
Di tahun dan provinsi yang sama, tepatnya di Batam, seorang wanita muda menangis lantaran membongkar perselingkuhan suaminya di rumah mereka sendiri (Tribunnews.com, 7-7-2025).
Dua contoh kasus di atas hanyalah sekelumit dari banyaknya peristiwa serupa yang terus bermunculan. Hampir setiap bulan, selalu ada berita viral tentang perselingkuhan, baik di kalangan selebriti, pejabat, aparat, bahkan masyarakat biasa.
Mengapa perselingkuhan kian marak dan seolah dianggap lumrah? Jawabannya tak lepas dari sistem kehidupan yang berlaku saat ini. Perselingkuhan hanya dianggap sebatas urusan pribadi dan kerusakan moral individu. Tidak ada kesadaran bahwa perselingkuhan adalah dosa besar yang menodai kehormatan dan merusak sendi-sendi keluarga.
Fenomena ini sesungguhnya buah dari sistem sekuler-kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, standar perbuatan manusia tidak lagi merujuk pada wahyu Allah, melainkan pada selera individu, kebebasan pribadi, atau bahkan kepentingan materi.
Sekularisme menempatkan agama hanya di ruang ibadah ritual, sementara urusan sosial, politik, dan hukum dikendalikan logika pragmatis. Akibatnya, perilaku menyimpang seperti perselingkuhan, zina, hingga gaya hidup hedonis, dianggap biasa selama tidak “mengganggu” orang lain. Pandangan inilah yang membuat dosa seolah hilang makna, dan masyarakat kehilangan kontrol moral.
Media dan budaya populer juga berperan besar. Tayangan hiburan, konten drama, bahkan iklan sering kali menormalisasi hubungan bebas, percintaan terlarang, atau pengkhianatan dalam rumah tangga. Alih-alih menumbuhkan rasa malu dan takut kepada Allah, media justru membentuk masyarakat permisif yang menganggap perselingkuhan sebagai hiburan semata.
Berbeda dengan sekularisme, Islam menutup rapat pintu menuju zina dan perselingkuhan. Solusi Islam bukan hanya menegur individu, tetapi membangun sistem kehidupan yang menjaga masyarakat dari kerusakan moral.
Dari segi pendidikan, pendidikan di dalam Islam tidak hanya mengejar kecerdasan akademik, tetapi juga membentuk kepribadian Islam. Sejak dini, anak-anak ditanamkan rasa takut kepada Allah, kesadaran bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan, serta kecintaan pada syariat.
Dari sisi pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan, Islam menetapkan batasan yang sangat jelas dengan adanya kewajiban menutup aurat, perintah menundukkan pandangan, larangan ikhtilat (campur baur bebas), serta larangan khalwat (berdua-duaan dengan non-mahram). Aturan ini dibuat bukan untuk mengekang, melainkan melindungi kehormatan manusia dari peluang terjadinya perselingkuhan maupun perzinaan.
Dari segi hukum, dalam sistem khilafah, negara menetapkan hukuman tegas bagi pelaku zina dan perselingkuhan. Sanksi ini berfungsi sebagai efek jera sekaligus penjaga moral masyarakat. Tidak ada ruang bagi permisivitas karena setiap pelanggaran akan ditindak secara adil dan transparan.
Kemudian dari sisi media, negara juga memastikan media hanya menyajikan konten yang mendidik dan memperkuat akidah. Tayangan yang merusak moral, seperti pornografi, glorifikasi perselingkuhan, atau gaya hidup hedonis, tidak diberi ruang. Sebaliknya, media diarahkan agar membentuk generasi bertakwa.
Maraknya kasus perselingkuhan di Indonesia adalah cermin nyata dari kerusakan moral akibat sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Selama perselingkuhan terus dianggap urusan pribadi, fenomena ini akan terus berulang dan semakin merusak sendi keluarga dan masyarakat.
Islam menawarkan solusi komprehensif dengan menutup pintu menuju zina, mendidik generasi dengan akidah Islam, mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, menerapkan sanksi tegas, hingga mengontrol media agar tidak merusak moral publik. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, perselingkuhan tidak lagi dipandang remeh. Ia bukan sekadar drama rumah tangga, melainkan dosa besar yang harus dicegah, ditegakkan sanksinya, dan dijadikan pelajaran agar masyarakat kembali kepada jalan Allah.
Melihat dua perbedaan yang cukup jauh tersebut, maka sudah selayaknya kita umat Islam sadar dan turut berjuang untuk menegakkan syari'at Islam. Tidak hanya untuk menutup pintu perselingkuhan, namun juga demi masa depan anak cucu yang gemilang.
Via
Opini
Posting Komentar