Opini
Gaji DPR 100 Juta: di Mana Hati Nurani Wakil Rakyat?
Oleh: Rizka Amalia
[Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok]
TanahRibathMedia.Com—Dalam satu bulan terakhir, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berbagai berita kontroversial yang datang dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Mulai dari kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak masuk akal, hingga besaran gaji fantastis yang diterima oleh para anggotanya. Bagaimana tidak mengejutkan, diketahui gaji anggota DPR dapat mencapai angka Rp 100 juta per bulan.
Fakta di atas, terasa menyakitkan bagi banyak warga, terutama dari kalangan menengah ke bawah, apalagi masih banyak rakyat yang belum memiliki rumah. Namun para anggota DPR justru mendapatkan tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan. Setiap pagi, rakyat harus berjibaku dengan kemacetan, berdesak-desakan di kereta, dan penuh sesak di kendaraan umum untuk mendapatkan gaji UMR. Di mana hati nurani wakil rakyat?
Tak heran, ketika rakyat mengetahui besarnya gaji dan tunjangan DPR yang fantastis, rasa geram pun muncul. Bahkan, beberapa masyarakat mulai menyuarakan wacana pembubaran DPR karena dinilai sudah terlalu jauh dari amanah rakyat.
Salah satunya pernyataan yang menyulut emosi publik datang dari anggota DPR, Adies, yang mengatakan, “Tunjangan-tunjangan beras kami cuma dapat Rp 12 juta dan ada kenaikan sedikit dari Rp 10 juta kalau tidak salah. Tunjangan-tunjangan lain juga ada kenaikan sedikit-sedikit, bensin itu sekitar Rp 7 juta yang tadinya kemarin sekitar Rp 4-5 juta sebulan.” (CNN Indonesia, 21-08-2025). Meski kemudian Adies meralat pernyataannya beberapa hari setelahnya, namun ucapannya sudah telanjur melukai hati banyak rakyat Indonesia.
Kesenjangan adalah hal yang tidak terelakkan dalam sistem demokrasi kapitalistik. Politik transaksional menjadi lumrah, karena materi menjadi tujuan utama. Mereka yang berkuasa justru menentukan sendiri besaran anggaran untuk kepentingan mereka, menjadikan jabatan sebagai alat untuk memperkaya diri. Empati terhadap rakyat yang diwakilinya pun kian memudar, dan amanah sebagai wakil rakyat menjadi terabaikan.
Kini, publik menuntut perubahan. Bukan sekadar reformasi administratif atau revisi anggaran, tetapi perubahan sistemik yang menyentuh akar permasalahan, bagaimana cara kita memandang kekuasaan dan amanah. Selama sistem yang berjalan saat ini masih memungkinkan elite politik mengatur gaji mereka sendiri tanpa kontrol publik yang ketat, ketimpangan ini akan terus terjadi.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan mendasar antara konsep wakil rakyat dalam sistem demokrasi dan dalam sistem Islam. Dalam Islam, asas yang menjadi dasar adalah akidah Islam. Syariat Allah menjadi pedoman, bukan akal manusia semata. Setiap jabatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, termasuk amanah sebagai anggota Majelis Umat.
Jabatan tidak digunakan untuk mencari keuntungan pribadi, karena keimanan menjadi penjaga agar tetap terikat pada aturan syariat. Bahkan, setiap Muslim wajib memiliki kepribadian Islam, termasuk anggota Majelis Umat, yang seharusnya menjalankan amanah dengan semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) demi kemaslahatan umat.
Via
Opini
Posting Komentar