IBRAH
Cinta nan Istimewa
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Malam itu, jarum pendek sudah bertengger di angka 11.00, tapi entah kenapa mataku tak kunjung dihampiri kantuk. Lisanku mungkin terus bershalawat, tapi relungku terbang menyusuri setiap sudut waktu yang sudah terlewat.
Akhirnya, relung ini hinggap di satu momen penting yang lolos dari jerat runcingnya penaku. Ya, momen itu adalah hari ulang tahun pernikahan kami, yang jatuh pada tanggal 22 Agustus 2025.
Satu pekan sebelumnya, aku sudah merencanakan segala sesuatu yang akan kupersembahkan kepada manusia penyempurna hidupku itu. Dari mulai makanan hingga ribuan kata yang sudah lama membeku dalam sanubariku.
Ingin rasanya kucairkan beribu kalimat yang lama membeku ini dihadapannya. Bahwa akhir-akhir ini, ada banyak hal yang terlalu sering dia lakukan yang kurang aku setujui, banyak tingkahnya yang membuat aku marah, tetapi aku tidak mampu mengutarakannya. Kadang kami saling diam membungkam kata. Semua itu membuatku terluka.
Aku sudah tak sabar menanti tanggal itu. Naskah tentang pernikahan sudah mulai kurangkai. Namun, takdir berkata lain. Tiga hari menjelang momen itu, aku digempur demam. Tak ayal, naskah yang baru sebagian pun tak bisa kurampungkan. Karena, jangankan untuk menulis naskah sampai tamat, bangun pun kepala ini terasa berat.
Alhamdulillah, ketika angka kalender pas di 22 Agustus, aku sehat. Pagi buta tanpa membuat suami curiga, aku menyiapkan segalanya, karena memang hobiku memberi kejutan kepada siapapun, apalagi kepada suami tercinta. Tidak membuat sesuatu yang mewah, hanya membuat bolu cake berbentuk hati, dan nasi tumpeng yang berbentuk hati juga.
Dalam beberapa carik kertas hati, sudah tertulis beribu bait uneg-uneg yang siap ditumpahkan. Sambil menanti kekasih pulang dari shalat Jumat, aku rapikan makanan sedemikian rupa, kuharap sang pujaan merasa suka cita.
Ketika sedang asik menata, ingatanku mundur ke beberapa waktu perjalanan pernikahan. Beberapa momen mengharukan dari suamiku mampir di pikiranku. Ketika makanan tinggal sedikit, dia mengalah, lebih baik dia tidak memakannya asalkan perutku kenyang. Ketika aku sakit dan dirawat inap, dia rela pulang tengah malam dari tempat kerjanya, dan langsung ke Rumah Sakit. Tidak malu dan tidak ragu memeluk badanku yang terbaring lemah, padahal ada beberapa orang di kamar pasien, dan momen yang paling penting dalam hidupku adalah, ketika aku divonis akan susah mendapatkan keturunan. Dia, suamiku, tidak mundur satu langkah pun, jangankan meninggalkan, mendua pun dia tidak melakukan. Padahal dia laki-laki tampan, dan uang bisa dicari untuk menikah lagi. Mungkin, jika berniat dia mudah mendapatkan perempuan yang segalanya lebih dari aku.
Namun, dia bergeming, tetap utuh di sampingku. Selain itu, pelan, perlakuan-perlakuan romantisnya kepadaku mulai bermunculan menyapu bersih kesalahan-kesalahannya yang baru-baru ini dia lakukan.
Pipiku mulai dibanjiri tetesan-tetesan hangat. Aku beristighfar, betapa bodohnya aku, kenapa hanya lalainya saja yang selalu aku ingat, sedangkan 24 tahun kesetiannya aku lupakan.
Jika suamiku saja bisa bertahan erat menggandeng tanganku, sabar menemaniku, tidak pernah menghakimi walau aku tidak sempurna seperti perempuan lain, padahal mungkin dia juga ingin seperti laki-laki pada umumnya, mempunyai banyak buah hati, tapi dia bertahan. Dia berkorban menyampingkan rasa, demi menjaga keutuhan rumah tangga, dan mnjaga hati istri tercinta agar tidak terluka.
Lantas dengan alasan apa aku harus marah hanya karena kesalahan-kesalahan yang satu atau dua kali dia lakukan? Betapa egoisnya aku. Penglihatanku pun berkabut lagi.
Biarlah, hati yang sedikit tergores ini, menjadi penebus semua kekuranganku dan kesalahan-kesalahanku kepadanya.
"Assalamualaikum", suamiku datang, dan langsung duduk di ruang tamu.
"Waalaikumussalam", aku menjawab salamnya dengan nada pelan karena tenggorokanku serasa tercekat. Aku bergegas menghampirinya sambil membawa semua yang telah kupersiapkan. Maasyaa Allah, suamiku begitu tegap, wajahnya bersih disertai sunggingan yang menawan. Seketika hatiku luluh. Menyesal, selama ini egoku selalu meninggi.
"Selamat ulang tahun pernikahan...", ucapku sambil sedikit memberi senyuman. Kuraih, dan kukecup ta'dzim punggung tangannya. Ternyata, beribu bait uneg-uneg itu tak mampu keluar sepotong pun dari lisanku, karena seketika hilang lenyap tertiup angin setianya.
Dia kelihatan senang dengan kejutan yang aku berikan. Tak ada satu pun ucap yang meluncur dari lisannya. Hanya rentangan kedua tangannya dan senyumannya, serta butiran embun yang ditahan agar tidak meluncur bebas ke pipinya.
Dalam pelukan, aku tak kuasa berkata, hanya sesenggukan tanda ingin dimaafkan. Kami saling berterimakasih atas kebersamaan yang genap berusia 24 tahun ini.
Kami menyadari, bahwa tidak ada pasangan yang sempurna, tidak ada rumah tangga yang bebas dari prahara.
Aku sadar, suamiku bukan tidak punya kesalahan. Namun, sepuluh kesalahannya lenyap seketika tersapu beribu-ribu angin kebaikan.
Aku mulai belajar menjadi istri yang bersih hati. Memberi perhatian kepada suami tanpa pamrih itu dan ini. Belajar memberi kasih tanpa mengharap kembali kasih. Belajar tulus memberi cinta, tanpa berharap balasan yang sama.
Karena cinta yang murni dan istimewa, adalah memberi, bukan menerima.
Terimakasih lelaki baikku, aku betah bersamamu.
Because, you are my home and you are my heart.
I love you.
Wallahu a'lam bisawwab.
22 - 08 - 2001/22 - 08 - 2025.
Via
IBRAH
Posting Komentar