Opini
Nasib Pilu Gaza, Kebutuhan akan Khilafah Makin Mendesak
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Gaza kembali menjadi saksi bisu kebiadaban rezim Zionis Israel. Dunia internasional kembali dikejutkan oleh tragedi terbaru: pembunuhan sejumlah jurnalis Palestina yang sedang meliput jalannya agresi militer. Media internasional melaporkan, “Sekjen PBB mengutuk pembunuhan jurnalis Palestina di Gaza” (Antaranews, 12-08-2025). Namun, kutukan yang dilontarkan lembaga internasional itu nyatanya tidak menghentikan derita. Israel tetap melanjutkan agresi, bahkan semakin brutal.
Di saat dunia masih berduka atas nyawa para jurnalis yang gugur, laporan lain menegaskan kondisi semakin memprihatinkan: lebih dari satu juta perempuan dan anak di Gaza menghadapi kelaparan massal akibat blokade dan serangan bertubi-tubi (Antaranews, 13-08-2025).
Fakta ini memperlihatkan, Zionis tidak hanya membunuh dengan peluru, tetapi juga dengan lapar. Ini adalah wajah nyata genosida.
Tak hanya rakyat Palestina yang menjadi korban. Lima jurnalis Al Jazeera turut menjadi target dan tewas akibat serangan udara Israel. CNN Indonesia (12-08-2025) menyebutkan, langkah itu dianggap sebagai upaya membungkam media agar tidak menyiarkan kejahatan perang yang tengah berlangsung. Ini menunjukkan bahwa Israel bukan hanya memburu fisik, melainkan juga memburu suara kebenaran. Seorang jurnalis yang seharusnya menjadi saksi dan mata dunia justru dipandang sebagai ancaman yang harus dilenyapkan.
Tindakan brutal Israel ini semakin menyingkap wajah asli rezim Zionis: negara yang berdiri di atas penjajahan, yang tak segan menginjak hukum internasional dan prinsip kemanusiaan. Media nasional pun mencatat, “Israel tewaskan 5 jurnalis Al Jazeera sebagai upaya membungkam laporan perang di Gaza” (Kompas, 12-08-2025). Dengan kata lain, pembunuhan jurnalis bukan sekadar tindakan keji terhadap individu, tetapi juga sebuah kejahatan sistematis untuk membunuh perjuangan rakyat Gaza dalam kesunyian.
Namun menariknya, di tengah kerasnya tembok kebiadaban, retakan mulai muncul dari dalam Israel sendiri. Warga Israel di Tel Aviv turun ke jalan menuntut diakhirinya perang di Gaza (Metrotvnews, 18-08-2025). Suara penolakan ini memperlihatkan bahwa bahkan sebagian rakyat mereka sudah muak dengan peperangan yang tak berkesudahan. Akan tetapi, justru Netanyahu semakin gila dengan ide relokasi massal warga Gaza—sebuah usulan yang ditolak mentah-mentah oleh Hamas (CNBC Indonesia, 18-08-2025).
Relokasi ini bukan solusi, melainkan bentuk lain dari kejahatan etnis: mengusir penduduk dari tanah mereka sendiri.
Semua fakta ini menunjukkan dua hal.
Pertama, Israel kian brutal karena tidak mampu mengalahkan rakyat Gaza secara kesatria di medan perlawanan. Mereka memilih jalan terkutuk: membunuh jurnalis, membantai perempuan dan anak, serta membuat rakyat kelaparan.
Kedua, penguasa negeri-negeri Muslim tetap diam membisu. Mereka seakan puas hanya mengutuk, tanpa langkah nyata mengirimkan bala pasukan untuk menghentikan genosida, padahal Allah Swt. berfirman:
"Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka wajiblah kamu menolong mereka...." (TQS Al-Anfal: 72).
Diamnya para penguasa Muslim bukanlah netralitas, melainkan pengkhianatan. Mereka terjebak dalam nasionalisme sempit, tunduk pada kepentingan dunia, dan terikat pada sistem internasional buatan Barat. Sementara itu, saudara-saudara mereka di Gaza berjuang dengan darah dan nyawa mempertahankan tanah yang Allah berkahi.
Perlu disadari, pembunuhan jurnalis dan blokade Gaza tidak akan pernah memadamkan api perjuangan. Justru setiap darah yang tumpah akan melahirkan gelombang perlawanan baru. Rakyat Gaza memahami kemuliaan yang Allah janjikan atas tanah Palestina. Mereka yakin, tanah yang diberkahi ini tidak boleh dikuasai penjajah. Seorang ibu yang kehilangan anak, seorang jurnalis yang gugur, seorang anak yang lapar—semua itu menjadi saksi bahwa perjuangan tidak bisa dihentikan dengan teror Zionis.
Kini, kewajiban terbesar ada pada umat Islam seluruh dunia. Tidak cukup hanya berempati dan memberi donasi. Umat Islam wajib menolong secara nyata dan mengobarkan perjuangan untuk membebaskan Palestina seutuhnya. Islam telah memberikan jalan jelas: jihad fi sabilillah dengan dukungan negara Khilafah. Tanpa Khilafah, umat akan terus tercerai-berai, lemah, dan hanya bisa mengutuk tanpa tindakan.
Khilafah bukan sekadar slogan, melainkan kebutuhan nyata. Dengan Khilafah, pasukan Muslim dapat digerakkan untuk menolong Gaza. Dengan Khilafah, diplomasi Islam akan berdiri tegak melawan hegemoni Amerika dan sekutu-sekutunya. Dengan Khilafah, suara umat Islam akan kembali bermakna, bukan sekadar ratapan.
Oleh karena itu, membangun kesadaran umat menjadi tugas mendesak. Dakwah yang mengajak kepada penerapan syariah dan penegakan Khilafah harus terus digelorakan. Aktivitas jamaah dakwah ideologis adalah kebutuhan, bukan pilihan. Tanpa kesadaran ini, penderitaan Gaza akan terus berulang, darah akan terus mengalir, dan anak-anak Palestina akan terus lapar.
Hari ini, Gaza berteriak. Teriakan mereka adalah panggilan untuk umat Islam. Apakah kita akan terus berdiam diri? Ataukah kita akan menjawab panggilan itu dengan menyiapkan langkah nyata untuk menegakkan Khilafah, satu-satunya jalan pembebasan Palestina?
Sejarah akan mencatat sikap kita. Semoga Allah menjadikan kita bagian dari barisan penolong agama-Nya, bukan dari golongan yang diam membisu ketika saudara kita disembelih.
Via
Opini
Posting Komentar