Opini
Kurikulum Cinta Kemenag: Proyek Deradikalisasi Sejak Dini
Oleh: Prayudisti S P
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kementerian Agama (Kemenag) RI baru-baru ini meluncurkan terobosan baru dalam sistem pendidikan nasional: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Menurut Menteri Agama Nasaruddin Umar, KBC dirancang sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih inklusif, humanis, dan spiritual. Kurikulum ini diklaim menjadi jawaban atas krisis kemanusiaan, intoleransi, dan kerusakan lingkungan yang kian memburuk (Republika, 25 Juli 2025).
Dengan slogan “Cinta sebagai basis pendidikan,” Kemenag mengusung narasi besar: menghapus intoleransi dan radikalisme dari dunia pendidikan sejak dini. Namun, di balik retorika indah dan narasi cinta ini, tersembunyi proyek besar yang sejatinya menjauhkan generasi Muslim dari Islam kaffah dan menggiring mereka pada sekularisme halus yang menyesatkan.
Wajah Lembut, Agenda Keras
Sekilas, Kurikulum Cinta terdengar sangat ideal: mengajarkan kasih sayang, empati, dan kedamaian dalam pendidikan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, KBC mengandung agenda deradikalisasi yang berbahaya. Kemenag secara terang-terangan menyebut bahwa KBC lahir sebagai strategi untuk menangkal paham ekstremisme dan radikalisme sejak dini (Kemenag.go.id, 24 Juli 2025).
Narasi ini bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, deradikalisasi memang telah menjadi proyek besar negara yang didukung penuh oleh lembaga internasional. Namun yang menjadi persoalan adalah standar ganda yang digunakan. Mereka yang ingin menerapkan syariat Islam secara total justru dicap sebagai “radikal”, sementara yang mengikuti narasi Barat dipuji sebagai “moderat”.
Muslim yang menyuarakan Islam kaffah, menolak sekularisme, menolak pluralisme agama, atau mengkritisi ide-ide Barat seperti demokrasi dan HAM liberal, diberi label ekstrem, intoleran, bahkan menjadi target pembubaran majelis ilmunya. Di sisi lain, sikap toleran berlebihan terhadap pemeluk agama lain terus digalakkan: rumah ibadah dijaga negara, perayaan hari raya dirayakan bersama, bahkan ajaran mereka diakomodasi di ruang publik.
Padahal dalam Islam, cinta dan kasih sayang tidak boleh mematikan sikap tegas terhadap kebatilan. Islam mengajarkan kasih sayang antarsesama Muslim dan kepada non-Muslim, namun tetap berlandaskan pada prinsip loyalitas dan batas akidah (al-wala’ wal bara’).
Sekularisme di Balik Kurikulum Cinta
Kurikulum ini sejatinya dibangun di atas asas sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Dalam dokumen resminya, Kemenag menyatakan bahwa KBC adalah upaya untuk “menumbuhkan nilai-nilai spiritualitas universal” tanpa menyebutkan secara eksplisit keterikatan pada akidah Islam sebagai fondasi (Antara News, 24 Juli 2025).
Dengan kata lain, kurikulum ini mengabaikan peran agama sebagai sumber hukum dan pedoman hidup, dan menggantinya dengan nilai-nilai moral universal buatan manusia. Akal dijadikan hakim tertinggi dalam menilai baik dan buruk, bukan lagi wahyu Allah Swt. Ini sangat berbahaya.
Dalam Islam, sekularisme adalah ide yang batil, karena bertentangan dengan tauhid. Allah adalah satu-satunya pembuat hukum, dan manusia wajib tunduk secara total kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 208). Maka, bagaimana mungkin sebuah kurikulum Islam justru tidak berlandaskan pada akidah Islam?
Islam Menetapkan Kurikulum Berbasis Akidah
Islam memiliki sistem pendidikan yang khas, yaitu kurikulum yang berlandaskan akidah Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam bukan sekadar membentuk manusia baik menurut standar moral universal, tetapi membentuk pribadi Muslim yang taat kepada Allah secara menyeluruh, berpikir dan bersikap berdasarkan syariat-Nya, dan siap melanjutkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Imam Al-Ghazali berkata, “Pendidikan adalah proses mengalihkan manusia dari sifat-sifat kebinatangan menuju sifat-sifat malaikat.”
Artinya, pendidikan bukan hanya membentuk perilaku luar, tapi mengakar pada pemahaman dan komitmen akidah.
Maka dari itu, kurikulum Islam tidak netral nilai, tapi jelas berpihak kepada Islam. Di dalamnya diajarkan akidah, fiqih, sirah Nabi, adab Islam, serta keterampilan hidup yang mendukung pelaksanaan syariat dalam semua aspek kehidupan.
Negara dalam Islam wajib menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mengokohkan keimanan dan ketakwaan, bukan alat deradikalisasi atau proyek depolitisasi Islam.
Akidah Kuat, Radikalisme Sirna
Yang perlu dipahami adalah bahwa radikalisme dalam makna kekerasan fisik bukanlah bagian dari ajaran Islam. Namun, menjadikan akidah Islam sebagai musuh juga merupakan kesalahan fatal. Solusi yang ditawarkan Islam terhadap penyimpangan pemahaman bukanlah dengan sekularisasi, tapi dengan penguatan akidah yang benar.
Ketika generasi dididik dengan akidah Islam, mereka akan mengenal Tuhannya, mencintai Rasul-Nya, dan terikat pada syariat-Nya. Mereka akan tahu batas-batas interaksi sosial, memahami tujuan hidup, serta mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan dengan parameter wahyu, bukan logika Barat.
Pendidikan Islam juga membentuk pribadi tangguh yang tidak mudah goyah oleh arus materialisme dan ideologi sesat. Maka solusi terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, bahkan kerusakan moral, bukanlah kurikulum cinta ala Kemenag, tapi kurikulum Islam berbasis akidah yang kuat dan menyeluruh.
Jangan Tertipu Nama Indah
“Cinta” adalah kata yang sangat indah. Namun, dalam konteks Kurikulum Berbasis Cinta yang diluncurkan Kemenag, kita perlu waspada. Di balik nama manis itu tersimpan agenda sekularisasi dan deradikalisasi yang justru akan menjauhkan generasi Muslim dari Islamnya sendiri.
Pendidikan adalah senjata strategis dalam membentuk arah peradaban. Maka, jika generasi dididik dalam sistem sekuler, jangan berharap mereka tumbuh menjadi pejuang Islam. Islam tidak anti cinta, tapi cinta dalam Islam adalah cinta yang lahir dari akidah, dibingkai syariat, dan ditujukan untuk menguatkan umat, bukan melumpuhkannya.
Sudah saatnya umat Islam sadar: kita tidak butuh Kurikulum Cinta yang menjauhkan kita dari agama, tapi kita butuh kurikulum Islam yang melahirkan generasi beriman, bertakwa, dan siap menerapkan Islam secara kaffah.
Via
Opini
Posting Komentar