Tausiah
Komunikasi Tengah Malam Suami Istri Memberi Ketenangan Batin
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
TanahRibathMedia.Com—Pernikahan itu kadang seperti grup WhatsApp keluarga besar. Banyak notifikasi, tapi isinya sering receh. Kadang ngarep suami peka, padahal dia bukan paranormal. Kadang ngambek karena dia nggak ngerti, padahal kita sendiri nggak ngomong.
Padahal ya sob, suami itu bukan dukun. Nggak bisa baca pikiran. Apalagi kalau kita cuma hmm, terserah, atau aku nggak papa kok. Waduh, itu sinyal bahaya level internasional. Tapi suami masih mikir, “Oke dia baik-baik aja.”
Maka dari itu, obrolan tengah malam tanpa suara anak itu bukan cuma nikmat duniawi, tapi juga bisa jadi pahala ukhrawi. Karena tengah malam, waktu emas yang sering terlupakan. Setelah anak-anak tidur, rumah mulai tenang.
TV dimatikan. HP ditaruh. Kita duduk berdua, kadang di kasur, kadang di meja kantor sambil nyemil buah dan mulai ngobrolin segala hal.
Gimana kerjaan?
Nulis apa hari ini?
Bulan depan bayar sekolah anak gimana ya?
Besok pagi mau sarapan apa?
Kenapa kaos kaki anak-anak selalu hilang sebelah?
Obrolan kayak gini emang receh, tapi menyelamatkan rumah tangga dari krisis komunikasi yang mencekam. Karena rumah tangga tanpa komunikasi itu kayak sayur tanpa garam, hambar, nggak nendang, dan bisa basi.
Dalam Islam, komunikasi baik sama dengan amal shalih
Rasulullah saw. bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Lihat deh, Rasulullah tuh komunikator ulung. Beliau ngobrol dengan istri, bercanda, dengar keluh kesah mereka. Bahkan dalam hadits Aisyah ra, beliau pernah ikut lomba lari bareng istrinya. Bayangin, pemimpin umat paling mulia, masih sempet ngajak istri lomba lari.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
“Mu’asyarah bil ma’ruf (bergaul dengan baik) termasuk akhlak yang mulia dalam rumah tangga. Termasuk di dalamnya berbicara dengan lembut, bersikap santun, dan mendengar pasangan.”
Jadi ngobrol bareng suami itu bukan sekadar aktivitas iseng, tapi ibadah kalau diniatkan untuk menjaga keharmonisan dan menata masa depan bersama demi ridha Allah.
Jadi, jangan andalkan insting, tapi gunakan komunikasi langsung dengan nada lembut. Ingat, banyak rumah tangga rusak bukan karena pihak ketiga, tapi karena pihak pertama (istri) dan pihak kedua (suami) nggak pernah bicara terbuka. Cuma mengandalkan sinyal emosi, seperti marah diem-diem, kode-kode halus, dan ekspresi menatap tembok. Lalu berharap pasangan tiba-tiba sadar dan peka, ngimpi.
Padahal udah dijelaskan para pakar, laki-laki itu makhluk visual dan literal. Dikasih kode malah mikir, “Loh, kenapa lampu kamar diganti merah? Romantis? Atau dia ngamuk?”
Maka dari itu, yuk mulai biasakan komunikasi yang jujur dan menyenangkan. Nggak perlu nunggu ribut dulu baru ngobrol. Nggak perlu nunggu ada drama sinetron dulu baru saling curhat.
Kadang, kita meremehkan pembicaraan receh. Padahal obrolan receh itu bisa memberi ketenangan batin. Ngobrolin harga beras, cucian baju, atau stok bumbu dapur. Semua diobrolkan. Nggak ada yang mengganjal. Nggak ada yang menduga-duga.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS. Ar-Rum: 21)
Tenteram itu bukan datang tiba-tiba. Tenteram itu hasil komunikasi yang baik, saling memahami, dan saling mempercayai.
Tujuan Pernikahan Mendapat Ridha Allah
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhan pi rahimahullah menyatakan,
“Tujuan utama dari pernikahan dalam Islam bukan semata pemenuhan naluri atau ikatan emosional, tetapi menjadikan rumah tangga sebagai sarana meraih ridha Allah, membentuk generasi beriman, dan menjaga keturunan dalam koridor syariat.”
Maka dari itu, komunikasi suami istri bukan cuma untuk menghindari salah paham, tapi juga sebagai alat sinergi menuju visi bersama, yaitu sama-sama ke surga.
Bayangin ya, kalau komunikasi lancar, bisa kompak dalam ibadah, dalam dakwah, dalam mendidik anak. Bahkan bisa saling mengingatkan,
“Mas, udah shalat hari ini?”
“Sayang, kita mau sedekah berapa bulan ini?”
Cinta dalam Islam tuh bukan cuma soal romantis, tapi soal berjuang bareng demi ridha-Nya.
Jadi, pernikahan bukan kompetisi siapa paling peka. Tapi kolaborasi dua insan yang saling bicara, saling menguatkan, dan saling menerima.
Jangan jadikan suami sebagai cenayang yang harus tahu isi hati istri setiap saat. Kalau lapar, bilang. Kalau capek, cerita. Kalau butuh peluk, tarik lengannya sambil bilang,
“Sayang, butuh recharge nih, peluk bentar ya.”
Karena ngobrol tengah malam tanpa suara anak itu anugerah. Bisa sambil becanda, bisa sambil curhat, bisa sambil merancang surga bersama. Dan kalau diniatkan karena Allah, maka ngobrol receh pun jadi berkah.
Via
Tausiah
Posting Komentar