Opini
Ke Mana Perginya Kekayaan Alam Indonesia?
Oleh: Mujiman
(Lulusan API 3/2025)
TanahRibathMedia.Com—Sebuah grafik yang beredar di media sosial menunjukkan fakta mencengangkan. 82,4 persen pendapatan negara Indonesia berasal dari pajak, mencapai Rp 2.309,9 triliun. Sementara itu, kontribusi dari kekayaan alam berupa emas, nikel, batu bara, dan minyak, justru sangat kecil. Ini bukan sekadar persoalan teknis anggaran, tetapi menjadi pertanyaan moral dan sistemik: ke mana sebenarnya kekayaan alam negeri ini mengalir?
Kaya Sumber Daya, Tapi Rakyat Dibebani Pajak
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang luar biasa. Menurut US Geological Survey (2023), cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta metrik ton—terbesar di dunia. Tambang Grasberg di Papua, yang dikelola PT Freeport Indonesia, merupakan salah satu tambang emas dan tembaga terbesar secara global.
Tak hanya itu, Indonesia juga termasuk tiga besar eksportir batu bara dunia dan memiliki cadangan minyak dan gas besar, khususnya di Sumatera dan Papua. Ironisnya, dalam Laporan APBN 2023 dari Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari SDA hanya sekitar Rp 159,8 triliun (5,7%), sementara pajak menyumbang lebih dari 80%. Rakyatlah yang diperas melalui berbagai jenis pajak dari penghasilan, pertambahan nilai, cukai, kendaraan, bahkan rumah tempat tinggal. Padahal, negeri ini kaya raya. Tapi rakyat tetap jadi tulang punggung pendapatan negara, bukan emas, minyak, atau batu bara.
Kapitalisme Akar Masalahnya
Mengapa kondisi timpang ini bisa terjadi? Jawabannya adalah sistem ekonomi kapitalisme yang selama ini diterapkan. Dalam sistem ini, negara bukan pengelola kekayaan alam, tapi hanya jadi regulator yang membuka peluang dan memberi izin kepada korporasi besar, termasuk asing, untuk mengeruk SDA melalui sistem konsesi, kontrak karya, dan lainnya.
Contohnya tambang Grasberg dulunya lebih dari 50% dikuasai oleh Freeport-McMoRan (AS). Meski kini sebagian telah diambil alih melalui Inalum, kendali teknologi, pemasaran, dan manajemen tetap di tangan asing. Tak heran, nilai ekspor tinggi, tapi penerimaan negara tetap kecil.
Lebih parah lagi, sektor SDA adalah salah satu sektor yang paling rentan korupsi. Menurut ICW (2022) dan Transparency International Indonesia (2023), praktik transfer pricing, izin palsu, penambangan ilegal, dan perusakan lingkungan sering terjadi. Semua demi keuntungan segelintir elit.
Maka jelas, kapitalisme telah gagal menjamin keadilan pengelolaan SDA. Rakyat hanya jadi korban, sementara segelintir elit dan korporasi mengeruk untung besar.
Rakyat Korban Pajak, Negara Gagal Sejahterakan
Pajak dalam sistem kapitalisme adalah nyawa negara. Target penerimaan terus dinaikkan. Jika tak tercapai, negara berutang. Ketika utang makin membebani, subsidi dipangkas, tarif listrik dan BBM naik, harga kebutuhan pokok melonjak.
Rakyat pun menanggung beban berlapis, bayar pajak tinggi tapi tetap hidup dalam kesulitan. Sekolah mahal, rumah sakit antre, lapangan kerja minim, transportasi terbatas. Semua ini terjadi di negeri yang katanya kaya SDA.
Lalu, muncul pertanyaan kritis. Kalau SDA tidak menopang negara, lalu untuk siapa semua kekayaan itu?
Islam Menjawab dengan Sistem Khilafah
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki sistem ekonomi yang adil dan solutif. Dalam Islam, SDA yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah milik umum (milkiyah ‘ammah).
Rasulullah ï·º bersabda:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud).
Artinya, energi, tambang, dan SDA tidak boleh dimiliki apalagi dikuasai asing. Pengelolaan wajib dilakukan oleh negara sebagai wakil umat dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam sistem Khilafah Islamiyah, negara tidak menyerahkan SDA ke swasta/asing, tidak memungut pajak tetap dari rakyat, hanya mengenakan pajak (dharibah) bersifat temporer dan sangat terbatas, hanya pada Muslim kaya dan saat darurat.
Islam memiliki sumber pendapatan stabil yakni zakat, fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, serta hasil kelola milik umum. Dengan sistem ini, negara bisa mandiri tanpa utang ribawi, dan rakyat tidak ditekan dengan pajak yang mencekik.
Bukan Teori, Ini Pernah Terjadi
Sistem ini bukan utopia. Dalam sejarah Khilafah, pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan gratis. Bahkan, di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat pernah tidak tersalurkan karena tidak ada lagi rakyat miskin yang layak menerima. Bandingkan dengan hari ini. Pajak merajalela, tapi rakyat tetap sengsara. Dalam Islam, negara tidak hidup dari rakyat, tapi menghidupi rakyat.
Data dan fakta ini menunjukkan jelas bahwa kapitalisme telah gagal. Rakyat hanya jadi objek pajak, sedangkan SDA dinikmati segelintir elit dan korporasi.
Solusinya bukan tambal sulam kebijakan. Bukan ganti presiden, tapi ganti sistem. Islam melalui Khilafah Islamiyah telah menawarkan solusi tuntas. Sistem ini bukan hanya ideal, tapi sudah terbukti membangun peradaban selama 13 abad.
Kini, sudah saatnya umat Islam menggali kembali warisan politik Islam dan berjuang menegakkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab.
📚 Referensi:
Kemenkeu RI. (2023). Laporan APBN 2023.
US Geological Survey. (2023). Mineral Commodity Summaries.
Indonesia Corruption Watch (ICW). (2022). Tren Korupsi SDA.
Transparency International Indonesia. (2023). Indeks Persepsi Korupsi.
Abu Dawud. Sunan Abi Dawud.
Taqiyuddin an-Nabhani. (1999). Sistem Ekonomi Islam. Hizbut Tahrir.
Via
Opini
Posting Komentar